Jumat, 18 Maret 2016

Rangkuman Novel Jingga dan Senja BAB 1-3




JUDUL              : JINGGA DAN SENJA
ISBN                : 9789792254310
PENULIS           : ESTI KINASIH
PENERBIT         : GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA 
TERBIT TAHUN  : 2010
HALAMAN         : 312


Kali ini Saya akan merangkum novel yang berjudul Jingga dan Senja, Saya akan merangkum dan mengupload per-BAB.


BAB 1

Tari meluruskan diri dengan barisan di depannya, lalu berdiri dengan tertib. Diperiksanya rok dan baju seragam, kaus kaki, sepatu, juga semua aksesori yang dipakainya. Jam tangan, anting-anting, gelang, cincin, dan ikat rambut yang semua bernuansa oranye. Setelah yakin penampilannya rapi, cewek itu tersenyum puas.
Ini upacaranya yang kedua sebagai anak SMA. Upacara kedua dalam balutan seragam putih abu-abu. Jadi ia masih patuh dan tertib, juga masih bersemangat meskipun matahri kelihatnnya bakalan terik.
Jam tujuh tepat bel berbunyi, tanda upacara akan dimulai.

@@@
Jam tujuh tepat!
Ari melompat turun dari bus yang ditumpanginya.sambil merutuki motornya yang sudah dua hari masuk bengkel dan taksi kosong yang tidak juga lewat meskipun dia sudah berdiri lebih dari setengah jam di pinggir jalan, cowok itu berjalan dengan langkah cepat menuju gedung sekolah, meskipun dia tahu sudah terlambat. Upacara sudah dimulai. Tapi masih ada waktu kira-kira lima menit sebelum Bu Sam –guru yang doyan banget patrol ke barisan belakang setiap kelas , yang kalau sudah ngomel bisa bikin kuping budek – sampai di kelas yang akan ditujunya. Nggak tahu kelas sepuluh berapa, yang pasti kelas itu berada tepat di depan jeruji pagar sekolah yang bisa dicopot.
Sebenarnya Ari bisa saja menyelinap ke barisan kelasnya sendiri, meskipun kelas-kelas dua belas berbaris tepat di depan barisan para guru.soalnya, dating terlmbat sudah sering dilakukannya baik disengaja ataupun tidak. Tapi pagi ini dia sedang malas mendengarkan ceramah Bu Sam, guru yang palinh terobsesi pada tata tertib, kepatuhan, dan keteraturan.
Apalagi di sekolah itu juga da guru model Bu Ida, yang nggak kawin-kawin juga padahal umurnya –menurut rumor yang beredar – sebentar lagi mau lima puluh. Makanya tu guru sering ngomong bahwa murid-muridnya sudah dianggapnya kayak anak sendiri. Yang artinya, Bu Ida akan ngomel, yang menurut dia, selayaknya ibu kandung mereka di rumah.
Yang terakhir ini yang bikib anak-anak SMA Airlangga,sebisa mungkin di luar jam pelajaran biologi, mending nggak berrusan dengan Bu Ida. Soalnya dia kalau ngomel lebih cerewet, lebih heboh, dan lebih lama daripa ibu mereka di rumah. Malah banyak yang bilang suara Bu Ida juga lebih nyaring.
Menjelang mendekati pagar sekolah, Ari berjalan dengan punggung sedikit membungkuk dan berusaha tidak menimbulkan suara, langsung ke tempat yang dituju. Dengan cermat dipandanginya besi-besi jeruji pagar di depannya dan dengan cepat dia menemukan yang dicari.
Suara gemerisik semak membuat siswi-siswi yang berada di barisan belakang menoleh. Mereka tercengang mendapati seorang cowok sedang menarik salah satu jeruji pagar dengan paksa, kemudian menyelinap masuk ke halaman.
“Liat apa!?” Tanya Ari galak.
Cewek-cewek itu tersentak dan seketika memalingkan kembali muka mereka ke depan. Ari menahan senyum. Setelah mengembalikan jeruji itu ke tempatnya, ia menyembunyikan tasnya di dalam kerimbunan asoka yang tumbuh di sepanjang tepi halaman. Kemudian dengan cepat cowok itu menyelinap ke tengah barisan, berusaha mencapai bagian depan tanpa kentara.
Kebijaksanaan sekolah, cowok-cowok harus berbaris di bagian depan. Cewek-cewek di belakang. Alasannya, cowok tukang bikin rebut. Alasan yang kontan bikin semua siswa cowok protes keras. Cewek juga sama. Coba aja denger kalo mereka lagi nggosip sambil cekikikan. Berisiknya malah lebih parah daripada cowok.
“Mundur dong!” bisik Ari ke cewek terdepan. Tari, cewek yang berambut panjang dan penuh nuansa oranye itu, menoleh kaget dan langsung mundur selangkah. Nada otoritas dalam suara Ari membuatnya patuh tanpa sadar. Cewek-cewek yang berbaris di belakangnya terpaksa mengikuti. Ari segera mengisi tempat kosong itu.
“Thanks.” Sesaat Ari menoleh ke belakang dan tersenyum. Tari membalasnya dengan ragu.
Kayaknya pagi ini matahari sedang bersemangat melaksanakan tugasnya. Upacara baru berjalan kira-kira dua puluh menit, tapi setiap siswa yang sedang berbaris di lapangan mersa sedang berdiri persis di depan kompor.
Ari menoleh ke belakang. Dilihatnya Tari sedang menunduk dalam-dalam, menghindari sengatan matahari sebisanya. Mukanya sudah merah, sementara keringat mengalir deras di kedua pelipisnya. Ari mundur selangkah. Dihalanginya sinar matahari itu dengan tubuhnya. Sekali lagi dia menoleh ke belakang, meyakinkan diri bahwa cewek di belakangnya telah terlindungi sepenuhnya. Terkejut, Tari mengangkat muka. Ditatapnya Ari dengan pandangan bertanya. Cowok itu cuma tersenyum datar dan mengangkat kedua alisnya.
Jam delapan kurang sedikit, upacara bendera selesai. Pada cewek yang selama hampir satu jam ini telah dilindunginya dari panas matahari, Ari menatapnya sesaat kemudian pergi.
Pada tubuh tinggi dibalut kemeja yang kini basah kuyup karena keringat, yang telah melindunginya dari panas matahari selama hampir satu jam tadi, Tari terus menatap kepergiannya dalam ketersimaan.

@@@
Tari memperhatikan salah satu contoh soal di buku yang terbuka di hadapannya dengan serius. Namun, keseriusan itu hanya mampu bertahan beberapa detik. Detik berikutnya pikirannya kembali melayang ke peristiwa tadi pagi.
“Ck!” dia menggeleng keras-keras lalu mencoba kembali memusatkan perhatian pada buku di depannya. Tetapi, lagi-lagi dia hanya mampu bertahan beberapa detik dan peristiwa tadi pagi kembali mengambila alih.
“Aduuuh, kok gue jadi nggak bisa konsen gini sih?” diketuk-ketuknya dahinya dengan pensil, jadi kesal sendiri.
Sekali lagi dipaksanya otaknya berkonsentrasi pada buku di depannya. Bukan apa-apa. PR matematika yang berjumlah du puluh soal itu belum satu pun dikerjakannya. Sementara kalau mau dikerjakan di sekolah, nyontek punya temen gitu, datangnya kudu subuh-subuh karena pelajaran Pak Yakob, guru matematika, mengatakan bahwa itu PR perkenalan makanya sengaja dia berikan dalam jumlah bejibun.
“Perkenalan apaan? Ini sih PR permusuhan,” dengus Jimmy dengan suara pelan, membuat seisi kelas meringis lebar.
Awalnya berhasil. Hampir lima menit Tari sanggup memusatkan perhatiannya pada deretan angka di depannya tanpa interupsi. Sampai kemudian tanpa dia sadari, satu pikiran menyelinap perlahan dan tercetus keluar dalam bentuk bisikan tanpa sadar.
“Tuh cowok cakep ih. Sayang gue nggak tau nama sama kelasnya.”
Tari langsung tercengang.
“Ya ampuuuuun!” serunya sambil bangkit berdiri. Dengan gemas dibantingnya pensil mekaniknya. “Kok gue jadi mikirin dia mulu sih? Hiiih! Kacau nih!” dengan jengkel ia memukul dahinya dengan telapak tangan.
Kemudian Tari memejamkan mata. Berusaha menenangkan diri dan mengenyahkan bayangan cowok tadi secepat mungkin. Belum lagi usaha itu membuahkan hasil, ponselnya berdering. Ada SMS masuk dari teman sebangkunya, Fio.
Bsk gw mo cr tau sapa tu cowok. Gw pnsrn!
Tak lama masuk lagi satu SMS. Dari Maya, cewek yang duduk di belakang Fio. Isinya hampir sama dengan SMS Fio.
Tar, bsk mo gw slidikin sapa tu cwok. Gw pnsrn! Bnran lo gak knl dy?
Beberapa saat kemudian masuk lagi satu SMS. Sekarang dari Sari.
Gw pnsrn sm tu cwok! Bsok mo gw slidikin. Bnran lo gak knl tar?
Tari jadi bengong. Baru saja akan dibalasnya SMS-SMS itu, masuk lagi satu SMS baru. Yang ini dari Lia.
Dy gbtan lo ya ta? Kok diem2 aj siy? CRITA DWOOOONG!!!
Masuk lagi satu SMS baru. Dia Utari. Yang punya nama panggilan sama dengan dirinya, Tari juga.
Nm kt kan hmpr sm tuh. Mdh2an aja ntr dy slh kira. Gw tu lo, huehehehe…
“Apaan lagi ni anak?” desis Tari saat membaca SMS Utari itu. Masuk lagi satu SMS baru. Dari Devi.
Masa siy lo gak knl dy? Boong lo! Blg aja lo gak mo knlin dy ke kt2.
“Iiiih!” Tari berseru kesal. “Pada nggak percayaan amat sih? Orang gue udah bilang gue nggak kenal tu orang,” Tari mengomel sambil memelototi layar ponselnya.
Tadi pagi begitu upacara selesai, Tari memang langsung dikerumuni cewek-cewek teman sekelasnya. Dengan nada nyaris histeris mereka berebut nanya, “Siapa, Tar!? Siapa, Tar!?” padahal jelas-jelas Tari sedang ternganga-nganga menatap cowok jangkung yang berjalan meninggalkan lapangan tanpa menoleh ke belakang sama sekali itu. Yang artinya, Tari nggak kenal juga.
Makanya Tari jadi kesal dan memutuskan untuk tidak menjawab SMS beruntun dari teman-teman sekelasnya itu. Percuma, bakalan cuma buang-buang pulsa.
Besok paginya, begitu memasuki kelas, Tari langsung di sambut protes.
“Kok SMS kami nggak lo bales sih, Tar?” Tanya Maya, mewakili yang lain.
Tari berjalan menuju bangkunya sambil melirik teman-temannya, agak kesal.
“Ya lagian sih, kemaren kan udah gue bilang berkali-kali, gue nggak kenal tu cowok. Eh, ditanyain lagi.” Tari memasukkan tasnya ke laci lalu sepasang matanya mencari-cari Devi. Ketika dia temukan temannya itu, diangkatnya alis tinggi-tinggi. “Asli, gue ggak kenal siapa tu cowok. Bukannya nggak mau ngenalin ke elo.”
Devi meringis.
“Iya, gue tau, sori. Abis gue penasaran banget.”
“Sama. Gue juga penasaran.”
“Kalo gitu, ayo kita cari tau!” seru Devi dan langsung mendapatkan sambutan sangat antusias dari teman-temannya. Semuanya juga langsung sepakat bahwa cowok itu pasti anak kelas sebelas atau kelas dua belas. Nggak mungkin kelas sepuluh, karena dia bisa masuk ke barisan kelasnya sendiri waktu terlambat datang pas upacara itu. Kelas sepuluh memang satu-satunya angkatan yang berbaris di depan pagar sekolah. Barisan kelas sebelas sejajar dengan barisan kelas sepuluh, tapi sebuah tembok yang tinggi tidak memungkinkan siapa pun yang datang terlambat bisa memanjat dari luar lalu melompat ke dalam tanpa ketahuan.
Sementara posisi paling nggak pewe adalah kelas du belas. Berhadapan dengan barisan para guru! Jadi jangankan terlambat dating, nyengir aja keliatan.
Sejak hari itu, setiap pagi sebelum pelajaran jam pertama dimulai dan setiap jam istirahat setelah kembali dari kantin, Tari dan cewek-cewek teman sekelasnya berdiri di sepanjang tepi koridor. Tubuh mereka menempel erat di tembok pagar pembatas dengan kepala terjulur panjang-panjang, mengamati deretan kelas di lantai dasar. Seluruh kelas sebelas memang berada di lantai dasar gedung berbentuk L itu.
Mereka berusaha menemukan cowok yang menyelinap masuk barisan saat upacara bendera waktu itu. Tapi sampai hampir seminggu mereka melakukan pencarian, sampai leher jadi sakit gara-gara tiap hari dijulurkan sepanjang mungkin, cowok itu tidak juga ditemukan.
Dengan lesu gerombolan pengintai gagal itu melangkah menuju bangku panjang di luar kelas mereka dan menjatuhkan diri di sana. Tidak berapa lama Nyoman muncul di ujung koridor dan langsung menghampiri teman-temannya dengan langkah tergopoh.
“Gue udah tau siapa tu cowok!” katanya dengan ekspresi muka tegang.
“Siapa!? Siapa!?” semuanya langsung menegakkan badan dan bersery bersamaan.
“Lo semua pasti nggak bakalan nyangka deh. Gue aja kaget banget begitu tau siapa tu cowok!”
“Emang tu cowok siapa?” lagi-lagi kalimat Nyoman membuat semua temannya melontarkan pertanyaan bersamaan.
“Wah, pokoknya elo semua nggak bakalan nyangka deh. Untung aja selama ini kita nyari taunya Cuma dengan cara ngelongok ke kelas-kelas sebelas di lantai bawah. Nggak pake nanya-nanya untuk cari informasi. Kalo sampe kayak gitu, trust u cowok sampe tau, abis deh kita.” Nyoman menjelaskan panjang-lebar tanpa menjawab pertanyaan teman-temannya. “Untung! Untung!” dia lalu menepuk-nepuk dada dengan ekspresi lega.
“Jadi dia itu siapa Mamaaan?” Tanya Fio kesal. Nyoman langsung cemberut. Tu cewek emang sering diledek teman-temannya dengan panggilan “Maman”.
“Ya udah deh. Nggak gue kasih tau.” Nyoman langsung ngambek.
“Ya jangan dooooong!” semuanya berseru bersamaan.
“Elo sih, Fi,” Tari menyikut teman semejanya itu. “Minta map gih.”
“Taelah, Man. Gitu aja marah. Map deh. Map ya, Man? Man-nya Nyoman nih, bukan Maman. Alo jadi rancu bukan salah gue, kan?”
Nyoman melirik Fio, masih dengan tampang kesal. Tapi sesaat kemudian ekspresinya kembali normal.
“Nih, dengerin lo semua pada ya? Pasang kuping.” Nyoman memandang teman-temannya lalu terdiam. Ditariknya napas panjang-panjang, bikin semua temannya jadi semakin semakin tegang. “Dia itu cowok yang namanya Ari, tau!”
“HAAA!!!?” lagi-lagi semuanya berseru bersamaan. Ekspresi-ekspresi kaget seketika muncul dalam waktu yang bersamaan. Semuanya menatap Nyoman dengan mulut ternganga. Suasana kontan jadi hening. Kesenyapan total merayap di antara cewek-cewek itu.
Ari. Nama ngetop di SMA Airlangga. Biang onar sekolah. Salah satu panglima perang saat tawuran, yang berani memimpin teman-temannya sampai ke jalan raya, bahkan menyerang sekolah yang dianggap cari gara-gara.
Siswa yang paling sering menyebabkan para guru terserang sakit kepala, migraine, atau darah tinggi. Juga sering membuat gruu yang sedang menjalankan ibadah puasa Senin-Kamis atau puasa-puasa yang lain, buka jam 12 siang, habis zuhur, gara-gara baru saja memarahi Ari sampai tenggorokan kering kerontang. Bukan hausnya yang jadi masalah, tapi tampang nggak peduli Ari itu yang membuat guru yang bersangkutan jadi ingin melanjutkan marah-marahnya.
Setahun lalu, beberapa guru yang relatif masih muda dan belum punya pengalaman, guru-guru cewek pastinya, malah dibikin nangis sama Ari!
Ari juga membuat MOS jadi neraka untuk siswa-siswa baru, nggak cewek nggak cowok, meskipun MOS itu dimana-mana emang neraka. Tapi Ari itu beda. Tu cowok terkenal nggak jelas. Tidak mengerjakan apa-apa yang dia perintahkan, belum tentu akan mendapatkan hukuman. Sebaliknya, mengerjakan semua yang diperintahkan, dengan patuh dan nyaris tanpa kesalahan, malah bisa membuat Ari ngamuk dan langsung menyiapkan sederet hukuman.
Tampang cantik bisa bikin Ari jadi galak. Tapi cewek yang tampangnya pas-pasan, kalo nggak tega mau bilang jelek, malah pernah bikin tu cowok jadi baiiik banget.
Kathy, cewek paling cantik di kelas sebelas, dulu waktu MOS dibantai sama Ari. Sampai sekarang, katanya, Ari males banget kalo udah ngeliat dia. Padahal cowok-cowok lain justru bersikap sebaliknya. Bingung, kan?
Setelah MOS selesai, dari info yang nggak sengaja didapat dari sana-sini, Tari dan teman-teman sekelasnya baru tahu bawa angkatan mereka beruntung banget. Karena pada saat MOS Ari masih ada di Lombok, traveling bersama teman-temannya. Tapi akibatnya, mereka jadi nggak tau tampang tu cowok. Makanya mereka sama sekali nggak nyangka kalau yang menyeruak barisan pas upacara waktu itu adalah Ari.
“Tapi waktu itu dia baik banget kok. Nggak kayak yang diceritain. Lo semua juga liat, kan?” pembelaan Tari memecah keheningan.
“Ya iyalah. Waktu itu kan lagi upacara, bukan lagi MOS,” kata Devi.
Kembali semuanya membisu. Suasana di antara mereka kembali menjadi hening. Nyoman menghadapkan diri kearah teman-temannya, berdeham tiga kali, lalu berbicara dengan nada khidmat.
“Teman-teman, mulai detik ini marilah kita bersama-sama melupakan perasaan cinta ini. Demi kebaikan diri kita sendiri.”
Kalimatnya membuat teman-temannya jadi meringis. Semuanya lalu menganggukan kepala hampir bersamaan, sambil ketawa-ketawa. Antara geli dan agak-agak nggak ikhlas. Kemudian mereka berjalan masuk kelas karena bel sudah berbunyi.
Tari masih berdiri di tempatnya. Masih nggak percaya. Fio merangkul bahu Tari lalu membawa teman semejanya itu memasuki kelas.
“Bener tuh Nyoman bilang. Lupain aja. Naksir cowok kayak gitu cuma cari penyakit, lagi.”


Bersambung



BAB 2

Tari berjalan santai menyusuri trotoar menuju sekolahnya. Trotoar itu lengang karena saat ini jam pelajaran sedang berlangsung. Dia terpaksa madol jam pelajaran pertama dan kedua karena harus ke dokter gigi. Menemani adiknya, Geo, yang sudah dua hari teriak-teriak sakit gigi tapi tetap nggak mau diajak ke dokter.geo takut gigi yang sudah senut-senut itu dibor atau malah dicabut sekalian.
Setelah Mama mengancam akan mencabut sendiri dengan tang milik Papa, baru Geo mau diajak ke dokter. Itu juga dengan syarat Kak Tari juga ikut. Dia nggak mau kalau cuma diantar Mama, karena katanya, Mama kejam. Jadilah pagi ini Tari madol dua jam pertama.
Tari melihat arlojinya. Masih duapuluh menit lagi sebelum bel ketiga. Enaknya nongkrong diaman ya? Gumamnya pelan.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh orang-orang berlari. Tari balik badan dan terpana. Segerombolan besar cowok-cowok SMA Brawijaya, musuh bebuyutan sekolah Tari , muncul dari tikungan. Beberapa orang dengan tongkat kayu tergenggam di tangan kanan. Beberapa orang membawa kantong plastik hitam. Tari tahu pasti apa isinya. Batu!
Refleks, Tari bersembunyi di balik sebatang pohon peneduh jalan tidak jauh darinya. Disapukannya pandangannya berkeliling dengan panic. Dia harus mencari tempat bersembunyi yang aman secepatnya, karena pohon itu terlalu langsing. Soalnya pernah ada cerita bahwa anak-anak Brawijaya menyerang cewek juga. Bukan dibikin bonyok sih, tapi untuk memancing cowok-cowok SMA Airlangga keluar dari area sekolah dan menjawab tantangan mereka. Dijadiin sandera gitu deh. Tantangan itu langsung dijawab karena kebetulan yang disandera waktu itu ceweknya ketua OSIS.
Sayangnya, satu-satunya tempat bersembunyi yang paling dekat cuma bak sampah yang terletak di depan pagar sebuah gedung instansi milik pemerintah, yang memang bersebelahan dengan gedung sekolahnya, yang posisinya kebetulan sejajar dengan tempatnya bersembunyi.
Tidak ada pilihan. Mumpung mereka masih lumayan jauh, Tari buru-buru berlari ke bak sampah itu lalu meringkuk dalam-dalam di sebelahnya. Dipeluknya kamus Bahasa Inggris-nya erat-erat di dada. Cewek itu makin menciutkan tubuh sekecil-kecilnya saat gerombolan cowok-cowok Brawijaya berlarian melewatinya, meninggalkan gemuruh suara yang membuat Tari mati-matian berdoa semoga tidak ada satu pun dari mereka yang melihatnya.
Tapi sial, cowok yang berlari paling belakang memergokinya. Cowok itu tidak sengaja menoleh dan seketika menghentikan larinya. Keduanya sama-sama tertegun. Tari langsung bersikap waspada. Cowok itu melirik cepat pada badge di lengan kanan baju seragam Tari. Nama SMA musuh yang tertera di sana membuat cowok itu berdecak. Dengan langkah lebar dan tergesa dihampirinya Tari. Tubuhnya kemudian membungkuk seiring tangan kanannya yang terulur.
“Lo pergi cep…”
Kalimatnya tidak sempat selesai. Tari mendadak berdiri. Dengan kamus Inggris-Indonesia-nya yang tebal, dipukulnya cowok itu sekuat tenaga. Cowok itu tersentak kaget dan tidak sempat mengelak. Tubuhnya terhuyung. Cepat-cepat dia menyambar bibir bak sampah dan mencengkeramnya erat-erat karena Tari memukulinya bertubi-tubi dengan kamus tebal tadi.
“Heh, sst! Denger!” cowok itu berseru tertahan sambil berusaha mengelak dari setiap serangan Tari. Tapi Tari yang sedang ketakutan jelas tidak mengacuhkan kata-kata itu. Serangannya makin membabi buta.
Cowok itu jadi gusar. Direbutnya kamus itu dari tangan Tari lalu dilemparnya ke tanah. Tari tertegun. Serangannya kontan terhenti. Tapi detik berikutnya dia membuka mulut, siap menjerit sekeras-kerasnya. Cowok itu langsung merengkuhnya. Dipeluknya Tari dengan tangan kiri sementara tangan kanannya membekap mulut Tari kuat-kuat.
“Diem, bego! Lo mau temen-temen gue kesini!?” bisiknya. Tapi kalimatnya justru membuat Tari tambah panik dan ketakutan.
“Diem!” bentak cowok itu. Dia perketat pelukannya.
“Hhmmff! Hhmmff!” Tari berontak mati-matian.
Cowok itu mulai kewalahan. Dengan paksa ditariknya Tari ke sisi lain bak sampah, sementara matanya menatap ruas jalan di depan SMA Airlangga yang sudah menjadi arena pertempuran. Suasana riuh oleh pekik dan teriakan, juga butiran batu yang melayang dari dua arah. Raut muka cowok itu terlihat lega saat menyadari tidak ada satu pun mata terarah pada mereka berdua saat ini.
Namun, akibatnya cowok itu jadi lengah. Pelukannya sedikit mengendur. Tari langsung memanfaatkan kesempatan itu tanpa buang waktu. Digigitnya tangan yang membekap mulutnya. Cowok itu memekik. Seketika dekapan dan bekapan kuatnya merenggang.
Tari buru-buru melepaskan diri. Dia berlari ke sisi lain bak sampah, meraih kamusnya yang tergeletak di tanah, kembali ke tempat semula, lalu memukuli cowok itu tanpa ampun. Sekuat tenaga, membabi buta, dan hampir-hampir di luar kesadaran. Cowok itu sampai kewalahan menghindari setiap serangan Tari hingga akhirnya jatuh terjerembap ke tanah.
“Cukup!”
Tiba-tiba dua buah tangan terulur dari arah belakang dan mencengkeram kedua tangan Tari. Cewek itu menoleh dan terpana. Cowok itu cowowk yang telah melindunginya dari matahari saat upacara. Ari!
Tanpa sadar Tari menjatuhkan kamusnya. Bukan hanya karena kedatangan Ari yang tiba-tiba, tapi juga karena genggaman kedua tangan cowok itu. Dan yang paling membuat Tari jadi menahan napas, karena tanpa sadar Ari sudah merengkuhnya. Dia bisa merasakan tubuh cowok itu menempel di punggungnya. Posisi itu juga membuat tatapan cowok SMA Airlangga itu jadi menajam.
Sementara itu Ari menatap ke ruas jalan di depan sekolahnya. Tanpa sadar genggaman kedua tangannya pada Tari menguat saat menyadari situasi di sana semakin kacau. Jalan yang dibuka teman-temannya tadi, yang membuatnya bisa mencapai tempat ini, telah tertutup. Dilihatnya anak-anak SMA Brawijaya sudah hampir mencapai area di depan pintu gerbang. Pasti para guru sudah menutup gerbang dalam, mengantisipasi agar tidak semakin banyak siswa yang terlibat tawuran. Akibatnya, kelompok SMA Airlangga jadi kalah jumlah.
Bagi Ari, tawuran bukan hal baru. Tapi sekarang ada cewek bersamanya. Dia tidak bisa tidak peduli. Jadi, mau tidak mau mereka harus masuk sekolah lewat gerbang samping yang jaraknya lumayan jauh karena selain harus memutari gedung sekolah, mereka juga harus memutari gedung milik pemerintah yang berdiri tepat di samping area sekolah.
Anak-anak SMA Brawijaya tidak pernah menyerang dari gerbang samping. Karena selain temboknya tinggi –jadi diperlukan keahlian sekelas atlet lempar lembing untuk bisa melemparkan batu sampai melewatinya –juga karena guru-guru selalu langsung bersiaga disana.
“Cepet pergi dari sini!” bisik Ari di telinga Tari. Dia melepaskan rengkuhannya, lalu tangan kanannya menggengggam pergelangan tangan kiri Tari. Sebelum meninggalkan tempat itu, Ari menoleh ke arah cowok Brawijaya yang sudah bangkit berdiri dari posisi terjerembap. Sesaat kedua cowok yang jadi pentolan sekolah masing-masing itu saling tatap. Tepat di manic mata masing-masing.
Kemudian Ari menarik Tari ke arah perempatan jalan. Dengan tatapan yang semakin menajam, cowok Brawijaya tadi mengikuti kepergian keduanya sampai hilang dari pandangan.
Pontang-panting Tari berusaha menyamai langkah-langkah Ari yang panjang dan tergesa. Begitu mereka telah menikung dan cowok Brawijaya yang tadi dipukulinya habis-habisan sudah tidak terlihat lagi, baru ketakutan Tari pecah.ditariknya tangannya dari genggaman Ari sampai terlepas.
“Balik lagi yuk? Tadi tu cowok saya pukulin kenceng banget. Takut dia kenapa-napa.”
Sesaat Ari tertegun menatap wajah pucat Tari yang sarat kecemasan dan ketakutan. Kedua mata Tari mulai digenangi butiran air bening, yang menempel di bulu-bulu mata saat kedua mata itu mengerjap. Ari lalu mendengus geli, hampir tertawa.
“Tenang aja. Tu anak nggak bakalan kenapa-napa. Lo kira yang tadi lo pukulin itu siapa?” Ari menatap Tari dengan kedua alis terangkat tinggi. “Pentolannya anak Brawijaya, tau!”
Kecemasan pekat yang tadi menyelimuti muka Tari kontan lenyap. Ditatapnya Ari dengan kedua mata terbelalak. Sekali lagi cowok itu mengangkat kedua alisnya.
“Kalo elo balik, kayaknya elo yang nanti bakalan kenapa-napa deh.”
Suara riuh yang samar-samar terdengar menandakan anak-anak Brawijaya telah pergi dari depan sekolah SMA Airlangga.
“Cepet lari. Mereka kesini!” refleks Ari meraih tangan Tari. Keduanya berlari cepat menyusuri trotoar. Tari sudah merasa seperti terbang, karena Ari menggenggam erat tangannya dan setengah menariknya. Tari terpaksa mengerahkan seluruh tenaga untuk menyamai kecepatan cowok itu.
Ketika trotoar itu menikung ke arah gerbang samping sekolah, mendadak Ari menghentikan larinya. Dua orang guru yang sedang berjaga di sana adalah formasi yang paling menyebalkan: Bu Sam dan Bu Ida.
Tari yang tidak mengira Ari akn berhenti, tak ayal menbraknya keras. Nyaris saja dia jatuh tersungkur kalau saja Ari tidak buru-buru menangkap tubuhnya.
“Balik! Balik!” bisi Ari.
“Kok…?” Tari menatapnya bingung.
“Yang jaga Bu Sam sama Bu Ida. Repot urusannya kalo sama mereka. Gue sih nggak pa-pa. Udah bad record lama. Elo tuh, baru kelas sepuluh, cewek pula.”
“Tapi saya kan nggak ikut tawuran?”
“Nggak ada bukti lo nggak iktu tawuran. Apalagi nongolnya bareng gue.”
“Tapi saya izin kok. Izin mendadak sih. Tadi sama Mama udah dibikinin surat.”
“Gitu? Oh, kalo gitu sih nggak pa-pa. Ya udah, yuk!”
“Ya ampun…!” seru Tari tiba-tiba. “Suratnya ada di dalam kamus!”
“Hm!” Ari memutar kedua bola matanya. “Berarti, no choice. Ya udah, buruan balik. Ntar keburu mereka ngeliat.”
Mereka balik arah, menuju bagian belakang sekolah. Pembangunan tembok tinggi itu belum selesai. Jadi sedikit pagar besi yang tersisa masih berdiri. Kebetulan posisinya ada di belakang tembok ruang-ruang laboratorium, jadi kemungkinan kepergok guru sangat kecil. Kecuali kalau memang lagi sial. Ari segera memanjat pagar itu.
“Cepet naik!” dia ulurkan kedua tangannya. Tari langsung geleng kepala kuat-kuat.
“Saya nggak bisa manjat pagar.”
Ari berdecak tak sabar. “Kalo nembus pagar, bisa nggak?”
“Ya nggaklah…,” Tari menjawab agak kesal.
“Nyabut pagar sampe lepas dari beton?”
“Nggak.” Tari menggeleng.
“Ngerayap di tembok kayak Spiderman?” kejar Ari.
Tari mnggeleng lagi, kali ini tidak mengeluarkan suara.
“Berarti nggak ada pilihan, kan?”
“Ng…”
“Cepetan!” Ari nyaris membentak saking tidak sabar lagi. Tari menatap pagar di depannya dan menelan ludah. Pagar itu tinggi, jadi nggak mungkin dipanjat tanpa mengangkat rok tinggi-tinggi juga. Ari tahu apa yang berkecamuk di dalam kepala Tari. Cowok itu menatapnya lurus-lurus.
“Nggak usah mikir yang macem-macem deh. Ini emergency. Cepet. Keburu ada guru yang patrol nih!” Cowok itu mengulurkan kedua tangannya rendah-rendah.
Terpaksa Tari menyingsingkan roknya lalu memanjat besi-besi pagar itu dengan bantuan Ari.
“Pegangan yang kenceng.” Setelah Tari berada di puncak pagar, Ari melepaskan pegangannya perlahan karena bisa dia rasakan tubuh cewek di sebelahnya itu gemetar. Kemudian dia melompat turun ke halaman sempit di sebelah dalm. “Lompat!” perintahnya sambil merentangkan kedua lengannya. Belum lagi Tari sempat melompat, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
“HEI, KALIAN BERDUA!” Seorang guru melangkah cepat ke arah mereka.
“Ck, pas banget, lagi!” desis Ari sambil menoleh sesaat ke asal suara. “Loncat cepet!” cowok itu semakin merentangkan kedua lengannya lebar-lebar.
Tanpa sempat berpikir lagi, Tari melompat turun. Dengan sigap Ari menangkap tubuh yang melayangtanpa kestabilan untuk mendarat itu.
“Lari!” perintahnya sambil meraih satu tangan Tari. “Itu Pak Arman. Guru anak IPS. Aman kalo dia sih. Rabun jauh.”
“ARI! BAPAK TAU KAMU ARI! BERHENTI!” seru Pak Arman.
“IYA, PAK! INI SAYA!”Ari balas berseru, tapi tetap sambil terus berlari.
“BERHENTI KAMU!!!” bnetak Pak Arman dengan suara makin keras.
“IYA, PAK! NTAR! TANGGUNG NIH!” Ari menjawab tanpa rasa takut.
“Tapi dia kenal Kakak?” tanya Tari di sela napas yang tersengal.
“Siapa sih yang nggak kenal gue?”
Begitu mereka sampai di tempat sepi dan Pak Arman tertinggal di belakang, Ari menghentikan larinya. Tari mengikuti. Cewek itu menepuk-nepuk dadanya yang terasa sakit karena kehabisan napas.
“Lepas semua pernak-pernik lo yang serba oranye itu,” perintah Ari.
“Emangnya kenapa?” Tari menatapnya dengan kening berkerut.
“Mencolok, tau? Percuma aja dari tadi berusaha menghindar kalo akhirnya kecatet juga di black list. Elo, bukan gue.”
“Katanya dia rabun jauh?”
“Iya. Tapi dia nggak buta warna. Kita bukan cuma mau menghindari Pak Arman, kita mau ngelewatin ruang guru nih.”
Tari menurut. Dilepasnya semua pernak-pernik yang dipakainya. Ari terpaksa ikut turun tangan setelah memperhitungkan akan makan waktu lumayan lama kalau tidak dibantunya cewek penggila aksesori ini.
“Wali kelas lo siapa?” Tanya Ari setelah pekerjaan mereka selesai dan Tari sedang memasukkan semua aksesori ke dalam salah satu kantong tasnya.
“Bu Pur.”
Ari kontan bersiul.
“Kebeneran. Dulu ibu guru cantik itu juga wali kelas gue. Gampang kalo gitu. Ntar gue yang ngomong.”
“Kakak mau nganter sampe kelas?” Tari tercengang.
“Trus lo mau ngomong apa? Masih bawa-bawa tas gitu. Kalo nongol bareng gue, tuduhannya akan ke gue. Kecil itu sih.”
“Ntar saya ngomong terus terang aja sama Bu Pur deh. Pasti dia ngerti.” Tari berusaha menolak dengan cara halus. Bukan apa-apa. Menurutnya, nongol bersama Ari justru urusannya bakalan lebih ribet ketimbang nongol sendirian.
“Udah, ikutin aja. Lo tuh cerewet banget ya.” Ari tidak peduli penolakan Tari, membuat Tari menghela napas panjang-panjang.
“Bu Pur pasti udah kenal banget sama Kakak deh.”
“Yang lebih tepat, udah tobat!” Ari menyeringai lalu terkekeh geli.
Seisi kelas X-9 menatap dengan muka terpana, ketika terdengar ketukan pintu dan mereka dapati Ari dan Tari berdiri di ambangnya.
“Ada apa kamu kesini?” Tanya Bu Pur dengan nada tajam.
“Nganterin anak Ibu,” jawab Ari dengan nada manis. Tari melangkah masuk dengan kepala tertunduk dan muka pucat.
“Maaf, Bu. Saya…”
“Duduk!” perintah Bu Pur dingin. Tari langsung tutup mulut dan berjalan ke bangkunya dengan kepala tetap tertunduk. Ari menatapnya dengan senyum tipis.
“Ini salah saya, Bu. Bukan…”
“Ibu sudah tau kalau itu. Pasti ulah kamu!” Bu Pur mamotong ucapan Ari. Cowok itu meringis lebar.
“Ibu tuh mengerti banget saya , ya? Jadi terharu. Ibu kenapa nggak ngajar kelas dua belas sih? Kan bisa jadi wali kelas saya lagi.”
“Nanti kalau kamu sudah lulus!” jawab Bu Pur getas. Ari kadi tertawa, pelan tapi geli.
“Kalo gitu saya nggak usah lulus deh. Ntar pas UAN jawabnya asal-asalan aja. Biar ngulang setaun lagi. Tapi janji ya, Ibu jadi wali kelas saya?”
Bu Pur menatap Ari dengan tatapan dingin yang mulai menyimpan kemarahan. Dia tersinggung karena merasa wibawanya telah dilecehkan. Apalagi di depan murid-murid yang belum genap satu bulan bergabung di SMA Airlangga, yang menyaksikan peristiwa itu dengan ternganga-nganga. Meskipun berusia muda dan masih lajang pula, statusnya tetaplah guru!
Ari menghentikan tawanya melihat muka marah guru cantik di depannya itu. Bu Pur memang terkenal di kalangan murid cowok. Selain cantik, ibu guru satu ini punya bentuk betis yang sempurna. Bak bulir padi!
“Kalo gitu saya permisi, Bu. Selamat pagi.” Masih sambil menahan senyum, Ari membungkukkan tubuhnya lalu berjalan keluar kelas dengan langkah-langkah tenang. Benar-benar tipikal murud pembuat masalah.
“Teruskan catatan kalian!” perintah Bu Pur galak, ketika dilihatnya murid-murid di depannya masih ternganga-nganga memandangi pintu. Satu setengah jam kemudian bel berbunyi. Pelajaran kimia itu berakhir.
“Laper banget,” desah Tari sambil menutup buku-bukunya. Tapi impiannya melahap siomay di kantin langsung musnah begitu mendengar perintah Bu Pur.
“Tari, kamu ikut Ibu ke ruang guru!”
Dan di ruang guru itu, Tari kemudian diceramahi Bu Pur habis-habisan. Meskipun dia sudah menceritakan kejadian yang sebenarnya, alasan keterlambatannya, dan bahwa pertemuannya dengan Ari bersifat insidental, murni faktor kebetulan, wali kelasnya itu tidak peduli.
“Kalau nggak mau dapet masalah, kamu harus jaga jarak dengan Ari!” perintah Bu Pur dengan nada final. “Ngerti, Tari?”
“Iya, Bu.” Tari mengangguk patuh.
Begitu Tari keluar dari ruang guru, bel tanda jam istirahat telah berakhir, berbunyi. Nggak ada lagi kesempatan ke kantin buat ngisi perut. Terpaksa dia menahan lapar sampai jam istirahat kedua tiba.
Istirahat kedua, sambil melahap siomay, Tari dipaksa menceritakan lagi kronologi kejadian tadi pagi. Kali ini di depan teman-teman cewek sekelas dan beberapa teman cowok yang tertarik dengan peristiwa itu. Berbeda dengan Bu Pur, teman-teman Tari berpendapat kisah pertemuan keduanya dengan Ari yang lagi-lagi insidental itu keren banget. Dan romantis. Lebih romantis daripada cerita-cerita dongeng atau film.
“Gila ih! Lebih menggetarkan dibandingin film-film Korea. Gue sampe merinding dengernya,” desah Devi. Kedua tangannya tertangkup di depan dada. Yang lain langsung setuju.
“Apa kata elo deh,” ucap Tari masa bodo. Dia masih shock dengan rentetan kejadian pagi tadi yang di luar dugaan. Tari jadi malas memikirkan reaksinya teman-temannya.
“Ntar certain lagi ya, Tar?”
“Ogah!”

***
Kemunculan Ari di kelas, apa yang sudah dilakukannya untuk Tari, juga sikap kurang ajarnya pada Bu Pur, membuat keputusan yang telah dibuat Tari dan teman-temannya untuk memetieskan nama Ari waktu itu dianulir.
Bukan hanya karena cowok itu terlalu ganteng untuk cuma dianggap sebagai angin lewat, tapi juga karena banyak hal menarik muncul kalau sudah menyebut satu nama itu.
Nyoman yang paling getol nyari info tentang Ari. Soalnya emang cuma dia yang punya beberapa teman di kelas sebelas, angkatan yang jelas tahu banyak tentang Ari. Dan dengan girang cewek itu akan menyampaikan setiap info baru yang dia dapatkan kepada teman-temannya.
Seperti siang ini, Tari dan semua teman-teman cewek sekelas tetap berkumpul di kelas pada saat jam istirahat, karena Nyoman punya info baru tentang Ari yang sangat-sangat penting dan sanga-sangat perlu untuk diketahui.
Saking krusialnya info itu, cewek-cewek itu sampai rela nggak makan. Mereka membeli satu kantong plastik gorengan dari kantin dan satu gelas air mineral per orang.
“Pasti mau ngomongin Ari lagi,” kata Jimmy sambil berjalan ke pintu.
“Tau aja. Kalo lo sekong, lo boleh ikutan,” kata Nyoman. Jimmy menyeringai. “Mending gue sama lo aja deh, Man. Biar jelek, lo cewek tulen.”
“Kurang ajar!” Nyoman mencomot sepotong bakwan dari kantong plastik lalu melemparnya ke arah Jimmy. Dengan sigap cowok itu berkelit. Disambarnya bakwan itu sesaat sebelum mendarat di lantai dan langsung dilahapnya sambil berjalan ke pintu.
“Thanks!” katanya sebelum menghilang.
“Kurang ajar tuh si Jimmy,” gerutu Nyoman dengan tampang cenberut. Dia tersinggung. Jelaslah. Mana ada cewek yang nggak bakal marah kalo dibilang jelek, meskipun kenyataannya emang jelek.
“Bercanda doang dia, Man,” hibur Tari.
“Iya. Tapi nggak lucu.” Nyoman mencomot bakwan lagi dari kantong plastik di tengah meja, lalu melahapnya bersama cabe rawit. “Ntar ya, gue makan dulu. Takutnya gue bakalan terus ngomong sampe jam istirahat kelar. Elo-elo mah tinggal dengerin doang,” katanya saat dilihatnya tatapan-tatapan tak sabar di sekelilingnya.
“Oooh, okeeee.” Teman-temannya mengangguk mengerti. Mereka langsung ikutan makan juga. Takut nanti keselek kalau ternyata info yang akan disampaikan Nyoman benar-benar mencengangkan.
“Jadi begini…” Nyoman memulai konferensi pers nggak resmi itu, setelah melahap sepotong bakwan dan seotong tahu isi. “Gue nggak bisa memulai dari info yang nggak penting. Karena info-info yang gue dapet semuanya penting dan uuh… pokoknya mencengangkan deh!”
“Lo dapet dari temen-temen lo yang anak kelas sebelas itu lagi?” sela Maya.
“Ya iyalah. Kalo gue nyari infonya ke kelas dua belas mah mati konyok namanya, May.” Nyoman menatap Maya, seolah-olah temannya itu manusia paling bego di seluruh jagat raya.
“Iya, iya, sori.” Maya meringis.
“Jadi begini…” Nyoman menatap berkeliling dengan ekspresi muka yang sekarang jadi sangat serius. “Ari itu ternyata waktu baru-baru masuk udah menunjukkan gejala bakalan jadi tukang rusuh. Waktu MOS, dia tuh kayak anak-anak baru yang lain. Nurut disuruh apa aja. Begitu MOS kelar, baru deh keliatan kalo dia suka ngelawan. Kalo dimintain duit seribu-dua ribu, dia masih mau ngasih. Lebih dari itu, dia pilih ribut.”
Nyoman menghentikan sejenak ceritanya untuk minum.
“Anak-anak kelas sebelas mulai nggak seneng tuh sama Ari. Terus mereka bikin rencana mau gencet dia. Tapi dari situ jadi ketauan, Ari tuh kalo udah marah banget, bisa kalap. Bisa kayak orang nggak sadar atau kesurupan gitu. Pertama kali ketauan waktu dia dikeroyok anak-anak kelas sebelas di belakang, pas pulang sekolah. Dia di jemput di kelas trus di bawa ke belakang sekolah. Disana dia dihajar. Tau nggak? Si Ari emang babak belur parah. Sampe masuk rumah sakit. Tapi anak-anak kelas sebelas yang ngeroyok dia babak belurnya juga sama. Kayaknya dia ngelawan mati-matian sebelum akhirnya pingsan.”
Nyoman berhenti sejenak untuk minum lagi.
“Nah, abis itu namanya mulai ngetop tuh. Anak-anak kelas sebelas mulai mikir kalo mau ngapa-ngapain dia. Soalnya pernah sekali lagi Ari di keroyok, tapi di luar sekolah. Dia dicegat di jalan gitu. Dihajar sampe babak belur lagi. Tau nggak? Begitu dia sembuh, anak-anak kelas sebelas yang ngeroyok dia, dia datengin satu-satu. Satu anak dia hajar di toilet sekolah. Pas tu anak lagi sendirian. Satu dia datengin ke rumahnya pas lagi kosong, trus dia tarik ke halaman dan dia hajar disana. Tiga anak dicegat di jalan, trus…”
Nyoman berhenti untuk mengingat-ingat sementara teman-temannya menatap dengan muka terkesima.
“Oh, yang dia datengin ke rumahnya ada dua orang ding. Satu dia hajar di ruang tamu. Di deoan nyokap tu cowok! Abis itu Ari jelasin kenapa dia mukulin anaknya. Yang paling keren, ini menurut gue ya, salah satu cowok yang dia cegat di jalan lagi boncengan berdua sama ceweknya. Anak sekolah kita juga. Sama Ari tu cewek disuruh turun dari motor trus dicegatin taksi. Sopirnya dikasih ongkos trus dia suruh nganterin tu cewek sampe depan rumah. Baru setelah itu cowoknya dia hajar abis-abisan. Gentle, kan? Menurut gue, dari kasus ini, Ari tuh gentle banget.”
Untuk yang kesekian kali, Nyoman berhenti bercerita lagi. Kali ini untuk membuka segelas air mineral lagi. Para pendengarnya penasaran, tapi nggak mau mendesak. Mereka menunggu dengan sabar.
“Dan ini ceritanya kenapa Ari itu bisa jadi pentolan sekolah kita kayak sekarang ini,” lanjut Nyoman. “Waktu itu dia masih kelas sepuluh juga. Pas pulang sekolah anak-anak Brawijaya nyerang. Kayak kemaren itu. Tiba-tiba aja mereka udah sampe di depan gerbang gitu. Ari ngeliat ada satu anak sekolah kita yang diculik. Diseret ke mobil trus dibawa pergi. Langsung Ari ngejar pake motor. Tu cowok bawa besi. Tau nggak, besinya dari mana?” Nyoman memandang teman-temannya yang serentak menggelengkan kepala tapi nggak satu pun mengeluarkan suara. “Dari pagar depan yang bisa dicopot itu. Yang dia pake menyelinap pas upacara itu. Yang terus dia berdiri di depan elo, Tar.”
“Ooooooh!” semuanya ber-oh bersamaan.
“Gitu, ya?” Tari mengangkat kedua alisnya.
“Iya, jadi nggak tau deh, apakah tu besi emang tadinya udah copot, atau dicopot sama Ari. Katanya sih mobil anak Brawijaya itu dipukulin sampe ringsek sama Ari. Kacaunya abis. Ya gitu, dia ngamuk kayak kesurupan. Ternyata cowok yang diculik itu anak kelas dua belas, udah gitu sahabatnya pentolan sekolah kita waktu itu. Abis itu Ari langsung dijadiin anggota kelompok mereka. Pastinya kelompok perusuh di sekolah. Dan dia bergaulnya jadi sama anak-anak kelas dua belas. Sejak itu anak-anak kelas sebelas nggak berani ngusik Ari lagi. Nah, waktu kelas du belas lulus, hierarki kepemimpinanya lompat tuh. Langsung ke Ari. Kelas sebelas yang naik kelas dua belas dilewatin. Tapi mereka nggak berani protes. Soalnya beberapa anak kelas sebelas yang naik kelas dua belas itu udah jadi anggota gerombolannya Ari.”
Lagi-lagi Nyoman berhenti bercerita sesaat. Kali ini untuk menarik napas panjang-panjang.
“Dan ini info yang paling penting. Yang gue berani jamin lo-lo pada bakalan kaget.” Nyoman menatap teman-temannya dengan senyum puas terkembang lebar-lebar.
“Apaan tuh?” semuanya bertanya serentak. Nyoman tersenyum-senyum lagi sebelum menjawab.
“Lo-lo pasti nggak percaya kalo gue bilang Ari tuh nggak pernah, selama ini ya, punya pacar!”
“BOHONG!!!” semuanya berseru bersamaan.
“Tul, kaaan?” Nyoman terkekeh-kekeh.
“Bohong lo, Man! Nggak mungkin! Ngarang!” kata Tari. Kedua matanya yang menatap Nyoman membulat maksimal.
“Bener!”
“Nah, terus itu, cewek-cewek yang sering bareng dia itu, siapa?”
“Bareng gerombolannya, maksud lo?” ralat Nyoman.
“Ya apalah. Mereka itu siapa?”
“Ya cewek-cewek yang naksir Ari. Sama kayak kita-kita ginilah.”
“Elo doang, kaleeee!” kata-kata Nyoman langsung disambut koor bantahan. Cewek itu meringis.
“Urusan elo-elo deh kalo mau nyangkal. Kalo gue sih ngaku, gue suka tu cowok. Cakep sih. Tinggi, lagi. Masalah dia bendel, cowok yang bener tuh emang kudu bandel, lagi.”
“Serius, Man?” Tari masih penasaran, mewakili rasa yang menghinggapi semua teman-temannya yang mendengar cerita itu.
“Iya!” Nyoman menjawab tegas.
“Perasaan, banyak banget ceweknya. Gue malah jarang banget ngeliat nggak ada cewek di sebelahnya.”
“Tapi ganti-ganti, kan?”
“Iya sih.”
“Itu dia. Ari tuh nggak peduli kalo ada cewek yang mau bergabung di gerombolannya. Silakan aja. Meskipun tujuannya jelas-jelas buat pedekate ke dia, tu cowok tutup mata. Belagak nggak ngeh. Buntutnya tuh selalu cewek-cewek itu yang akhirnya nggak tahan trus pada pergi. Sambil patah hati biasanya. Ari tetep nggak peduli.” Nyoman terkekeh-kekeh. Kelihatan girang banget dia.
“Jangan-jangan dia homo?” kata Okta.
“Nggak mungkin!!!” semuanya membantah dengan seruan nyaring.
“Lo nggak inget waktu dia nggodain Bu Pur? Bu Pur mukanya sampe merah gitu.” Nyoman memelototi Okta. “Kalo homo, nggak bakalan dia mau godain Bu Pur, tau!”
“Maksud gue homo sapiens,” jawab Okta sambil nyengir.
“Itu lebih nggak mungkin lagi. Manusia purba mana ada yang ganteng sih? Mulutnya kan pada monyong-monyong.” Ada juga yang menanggapi candaan Okta, si Devi.
“Atau nggak, dia pernah ngalamin patah hati yang sampe parah. Jadinya trauma, trus nggak mau punya pacar lagi,” giliran Maya mengajukan hipotesis. Nyoman langsung membantah.
“Kapan pacarnnya? Waktu SMP gitu? Taelah… sampe segitunya. Se-broken heart-broken heart-nya anak SMP, paling seminggu-dua minggu. Abis gitu juga lupa.”
“Gue nggak,” Maya membantah. “Waktu putus sama cowok gue, pas kelas delapan, gue patah hatinya sampe empat bulanan.”
“Elo bego!” cela Nyoman. “Ngapain, lagi? Rugi!”
“Kok jadi ngomongin Maya sih?” sela Okta. “Jadi kenapa dong si Ari nggak pernah punya cewek?”
“Itu dia yang masih jadi pertanyaan besar!” Nyoman menjentikkan jarinya keras-keras. “Ad saru lagi yang lo-lo juga pasti bakalan kaget. Percaya nggak? Nggak ada satu orang pun yang tau dimana Ari tinggal.”
“Haaa? Masa sih?” lagi-lagi info Nyoman itu membuat teman-temannya tercengang.
“Beneran!”
“Temenya segitu banyak bejibun. Masa nggak ada satu aja yang tau di mana rumahnya?” Tari mengerutkan keningnya rapat-rapt.
“Nggak ada, makanya, aneh kan?”
“Nggak ada yang coba nanya atau cari, gitu?”
“Gue nggak tau kalo itu. Ntar deh, gue cari info lagi.”
Saking mencengangkannya semua info tentang Ariyang dibawa Nyoman, cewek-cewek itu sampai tidak mendengar bel masuk sudah berbunyi. Mereka bahkan juga tidak menyadari bahwa Pak Yakob sudah ada di depan kelas.
“Sedang rapat apa kalian?” tanya Pak Yakob dengan suara keras sambil mengetuk-ngetuk whiteboard dengan spidol.
Cewek-cewek itu tersentak dan menoleh ke depan bersamaan. Mereka langsung bubar dan kembali ke tempat masing-masing.
“Rapat apa?” ulang Pak Yakob.
“Rapat soal Ari, Pak!” Jimmy yang menjawab. Kontan cewek-cewek itu menoleh ke arahnya dengan tampang kesal.
“Oh, mau ikut-ikutan bandel, begitu ya?” tampang Pak Yakob langsung berubah galak. “Buka buku catatan kalian!”
Tari kembali ke bangkunya dengan pikiran berkecamuk hebat. Pak Yakob dan uraiannya yang panjang-lebar terabaikan karena Tari nggak bisa mengenyahkan Ari dari dalam kepalanya. Meskipun info yang disampaikan Nyoman tentang Ari serbagelap, serbaseram, dan bikin ngeri, entah kenapa Tari merasa cowok itu sebenarnya baik. Hanya saja sisi baiknya itu sepertinya sengaja dia tidurkan.
Karena, Tari sempat merasakannya, ketika sisi baik Ari sesaat menyeruak di antara sisi buruknya yang lebih aktif dan dominan. Mungkin karena dia pernah merasakan pertolongan Ari. Mungkin karena dia juga telah merasakan perlindungan yang diberikan cowok itu. Genggaman tangannya, sekilas tatapan lembutnya, rasa kuatir yang terselip di antara nada tajamnya, dan di balik sikapnya yang sering kurang ajar, cowok itu juga punya batas kesopanan.
Pasti ada yang salah dengan informasi yang tadi dikatakan Nyoman. Atau bisa jadi, semua info itu memang benar, tapi ada sesuatu yang tidak diketahui siapapun kecuali Ari sendiri.

Bersambung


BAB 3 (1)

Di dalam kamarnya yang sengaja dibiarkannya hening, tanpa alunan musik seperti biasanya, pentolan SMA Brawijaya itu, Angga, terduduk diam di depan meja belajarnya. Cowok itu menatap kamus di depannya, pada sebuah nama yang tertulis di lembar kosong pertama. TARI, X-9.
Banyak cewek di sekitar Ari. Sama seperti dulu. Ari yang dikenalnya selama tiga tahun di SMP. Namun, pada satu nama ini Angga mendapati ada yang beda dengan Ari. Sedikit. Samar. Namun bukan disembunyikan. Lebih karena Angga sendiri sepertinya juga tidak menyadari. Atau belum menyadari. Setelah dua tahun lebih akhirnya dia temukan juga sesuatu yang bisa direbutnya dari Ari. Sesuatu yang bisa digunakannya untuk ganti menyakiti cowok itu.
Ini memang dendam pribadi. Tidak ada hubungannya dengan permusuhan kedua sekolah mereka. Murni sakit di masa lalu. Murni karena ketidakberdayaannya pada saat itu. Mungkin Ari sudah lupa. Bahkan bisa jadi cowok itu tidak pernah menyadari apa yang sudah dilakukannya.
Tapi kini… kedua rahang Angga mengeras. Kedua matanya yang sedari tadi menatap dinding kosong di depan meja belajarnya namun tidak terfokus di sana, perlahan menyipit. Akan dibantunya Ari untuk ikut merasakan rasa sakit itu. Juga rasa kehilangan yang menyertainya. Yang bahkan tidak tersembuhkan meskipun dua tahun lebih telah lewat.
Tiba-tiba alarm ponsel Angga berbunyi, menarik benaknya dari pengembaraan ke masa lalu. Jam sebelas tepat. Ditariknya napas panjang-panjang. Harus secepatnya dicari kepastian supaya bisa dia tentukan tindakan apa yang harus diambil.
Disandarkannya punggungnya ke sandaran kursi. Kedua matanya menerawang menatap langit-langit kamar. Otaknya berputar. Tidak butuh waktu terlalu lama ketika satu ide muncul di kepala.
“Boleh juga.” Angga tersenyum tipis. Tinggal besok dilihat gimana hasilnya.
Angga meraih memo di depannya dan merobek lembar teratas. Setelah menulis satu kalimat pendek dan meletakannya di halaman pertama, ditutupnya kamus milik Tari itu. Setelah mengeset alarm tepat pada pukul lima pagi, cowok itu berdiri lalu mematikan lampu kamar.

***
Pulang sekolah Tari dan Fio berjalan menyusuri tepi lapangan basket menuju pintu gerbang, masih dengan pembicaraan seputar Ari. Info yang disampaikan Nyoman dua hari yang lalu rupanya membuat Ari tetap menjadi objek pembicaraan hangat sampai hari ini.
“Gue yakin dia tuh sebenernya baik, Fi.”
“Mungkin aja. Tapi kan nggak ada yang tau gimana dia sebenernya. Gue masih nggak percaya cerita Nyoman. Ajaib banget nggak ada yang tau di mana rumahnya.”
“Iya, ya…” Tari mengangguk. “Kenapa nggak ada yang nyoba ngikutin dia diem-diem gitu ya?”
“Gue rasa sih nggak ada yang berani. Atau nggak, menghargai hak dia untuk merahasiakan di mana dia tinggal.”
“Iya juga sih.” Tari mengangguk lagi.
Mendadak muka kedua cewek itu menegang. Pembicaraan tentang Ari juga langsung berhenti, karena sang objek pembicaraan berada tidak jauh di depan. Berdiri di trotoar di depan sekolah bersama teman-temannya.
“Sst, Ari!” bisik Fio.
“Udah tau!” balas Tari. “Jangan diliatin dong!”
“Siapa juga yang ngeliatin?”
Kedua cewek itu berjalan dengan tatapan lurus-lurus ke depan. Tapi Tari nggak mampu menahan diri untuk nggak melirik. Bahkan saat didapatinya cowok itu dengan sebatang rokok terselip di bibir, terang-terangan merokok di area sekolah, Tari tetap merasa sebenarnya Ari baik.
Tiba-tiba Ari menoleh. Tari terkesiap. Tatapan mereka bertumbukan tak terhindarkan. Muka Tari langusng merah. Tapi Ari terlihat tak acuh. Sambil mengisap rokoknya dengan tarikan panjang, cowok itu menatap Tari dengan sinar datar. Hanya sesaat, kemudian perhatiannya kembali ke teman-temannya. Tari menarik napas panjang diam-diam. Lega, tapi agak sedih juga. Dua kejadian yang telah membuat hati dan pikirannya kacau ternyata bagi Ari sepertinya bukan apa-apa.
“Ya ampun!” seru Fio tiba-tiba, seketika berhenti melangkah. “Buku cetak matematik gue tadi kan dipinjem Nana, anak kelas sebelas. Belom dibalikin. Gawat! Besok ada matematik juga. Mana ada PR, lagi. Lo tunggu di sini bentar ya, Tar. Kali aja tu anak masih ada.”
“Telepon aja dulu. Ntar nggak taunya udah pulang, lagi. Dia kan pulangnya lewat pintu belakang.”
“Oh iya.” Fio segera mengeluarkan ponselnya lalu menekan sederet angka. “Masih ada. Dia nunggu di gerbang belakang,” katanya kemudian. “Bentar ya, Tar.” Fio langsung balik badan dan berlari kembali ke halaman sekolah.
Tari terpaksa menunggu. Cewek itu menatap jalan di depannya dengan gelisah, karena Ari hanya berjarak kira-kira sepuluh meter dari tempatnya berdiri. Teman-temannya sudah pergi. Tinggal tersisa satu orang yang bediri tepat di depan Ari. Kedua cowok itu sedang terlibat pembicaraan serius.
Tiba-tiba sevuah motor berhenti di depan Tari. Begitu sang pengendara membuka kaca helmnya, kedua bola mata Tari kontan terbelalak. Cowok pentolan SMA Brawijaya itu!
“Hai,” cowok itu menyapa dan tersenyum. “Mau balikin kamus.” Diturunkannya risleting jaketnya. Kamus Bahasa Inggris-Indonesia milik Tari langsung menyembul dalam posisi berdiri bersandar di dada cowok itu. “Nih.” Diambilnya kamus itu kemudian dia ulurkan kepada sang pemilik.
Tari langsung teringat lagi peristiwa pemukulan membabi buta yang dilakukannya. Diterimanya kamusnya dengan muka yang sekarang jadi merah.
“Eeeh… itu… waktu itu maaf ya? Maaf banget,” ucapnya terbata-bata.
“Nggak pa-pa.” Angga tersenyum lunak. “gue ngerti kok. Waktu itu lo pasti refleks, kan?”
“Iya.” Tari tersenyum malu.
Di tempatnya berdiri, Ari langsung menghentikan isapan rokoknya begitu dia mengenali wajah terbungkus helm itu. Kedua matanya langsung menajam. Angga pura-pura nggak melihat. Namun, lewat sudut mata dipantaunya setiap gerak-gerik Ari dengan waspada.
“Kepala lo nggak sampe benjol, kan? Apa tulang-tulang lo ada yang patah?” Tanya Tari dengan nada cemas. Cowok di depannya menggeleng.
“Nggak, cuma kata dokter, gue agak-agak kena gegar otak ringan,” jelasnya dengan muka serius.
“Iya!? Sumpah lo!?” Tari terpengarah. Seketika ekspresi penyesalan muncul di mukanya. Benar-benar terlihat jelas, membuat Angga jadi ketawa geli.
“Bercanda. Bercanda. Nggaklah. Cuma kamus Inggris doing. Sempet nyut-nyutan sih. Tapi cuma sebentar kok. Sekarang udah nggak pa-pa.”
“Gue serius nanyanya. Lo tuh ya, nakutin aja.” Tari menarik napas lega. Cowok di depannya menyeringai.
Menyaksikan keakraban itu, Ari jadi geram. Dibantingnya rokoknya ke trotoar jalan. “Kurang ajar tu anak. Gue udah sengaja diem biar nggak bonyok, malah nantang!” desisnya.
Ari mengahmpiri keduanya dengan langkah-langkah panjang. Angga segera menghidupkan mesin motornya. Bukannya takut, tapi tindakannya ini memang atas nama pribadi dan ditujukan untuk Ari pribadi. Sama sekali bukan dari SMA Brawijaya untuk SMA Airlangga.
“Gue balik ya, Tar.”
“Sori ya,” sekali lagi Tari meminta maaf.
“It’s okay. Nggak usah dipikirin.” Angga tersenyum sambil mengacungkan jempol kanannya, kemudian melesat pergi. Satu seringai lebar menghiasi bibirnya, menggantikan senyum yang tadi diberikannya untuk Tari.
“Ngapain dia?!” tiba-tiba saja Ari sudah berada tepat dibelakang Tari. Cewek itu menoleh kaget.
“Ngembaliin kamus,” jawab Tari spontan.
Tanpa merasa perlu minta izin, Ari mengambil kamus itu dari tangan Tari lalu membukanya. Selembar kertas kecil meluncur dari sana. Dengan cepat Ari menahannya dengan satu jari. Keningnya sedikit mengerut membaca tulisan yang tertera di sana.
Hai, Tari. Salam kenal ya. Gue Angga. Anggada.
Tari melirik takut-takut. Dia sendiri belum sempat memeriksa kamusnya, untuk mencari surat izin yang dituliskan mamanya untuk diserahkan pada Bu Pur. Jadi dia tidak tahu bahwa cowok tadi menyelipkan secarik kertas di dalamnya.
“Dia ngajak kenalan,” kata Ari pendek. Tapi tidak dia tunjukkan kertas itu kepada pemilik sahnya. “Jadi nama lo Tari?”
“Ng…. iya.” Tari mengangguk. Rasa takut yang perlahan merayap membuat dadanya berdebar. Ari mengangguk-angguk.
“Tau nama gue, kan?”
“Iya.” Tari mengangguk lagi.
“Bagus. Jadi gue nggak perlu memperkenalkan diri.”
Tari tetap yakin cowok yang berdiri di belakangnya sebenarnya baik, tapi tetap aja Ari adalah biang keroknya SMA Airlangga. Tari tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak merasa waswas.
“Nih.” Ari mengembalikan kamus yang dipegangnya pada Tari, tapi tidak lembar kertas itu. Dia melipatnya lalu memasukkannya ke saku kemeja. Cowok itu kemudian pergi begitu saja. Meninggalkan Tari yang menatapnya dengan mulut ternganga. Cewek itu sudah akan mengucapkan “Tu kertas kan buat gue?” , tapi urung.
Biarin aja deh. Daripada ntar urusannya malah jadi runyam. Tak lama Fio muncul.
“Payah tu si Nana. Dasar pikun. Masa dia lupa udah pinjem…,” kalimatnya nggak sempat selesai, karena Tari keburu menarik satu tangannya dan berbisik di telinganya dengan nada tegang.
“Yuk, pulang cepetan! Ada yang mau gue certain!”
Keduanya berjalan menyusuri trotoar dengan langkah cepat. Tari dengan muka tegang, Fio dengan tampang tegang.

***
Penyerangan itu terjadi saat pulang sekolah. Tanpa prasangka, siswa-siswa SMA Airlangga berjalan keluar dari gerbang sekolah mereka. Sampai tiba-tiba dari arah perempatan berhamburan anak-anak SMA Brawijaya, musuh bebuyutan mereka, yang berlari kea rah sekolah mereka dengan teriakan dan lemparan-lemparan batu.
Seketika suasana menjadi kacau. Siswa-siswa SMA Airlangga yang masih berada dekat gerbang sekolah seketika berhamburan kembali ke dalam area sekolah. Sementara yang sudah terlalu jauh dari gerbang, tidak mungkin kembali, berlarian dengan panic ke segala arah. Jerit dan teriakan terdengar di sana-sini. Yang pertama kali merespons serangan itu jelas anak-anak kelas dua belas, yang udah terbiasa terlibat tawuran, yang tidak peduli risiko apa pun yang menanti di depan. Sementara yang nggak pengin terlibat, pilih menunggu tawuran usai di dalam ruang-ruang kelas.
Ari yang saat itu berada tidak jauh dari gerbang sekolah segera mengoordinasi teman-temannya. Yang pertama dia perintahkan untuk menyambut serangan itu adalah sekelompok cowok yang disebut “Pasukan Kamikaze”. Sekelompok cowok yang bangga balik ke sekolah dalam keadaan benjol, memar-memar, babak-belur, bahkan berdarah-darah, tidak peduli sanksi apa pun yang akan mereka terima dari pihak seklah nantinya. Mereka rata-rata penembak jitu, alias timpukan batunya jarang meleset.
Mereka di-backup seksi perlengkapan tempur, yang segera mengeluaran bom-bom Molotov padat alias batu, dari tempat-tempat penyimpanan rahasia di dalam dan di sekitar area sekolah.
Kemudian Ari memerintahkan junior-juniornya yang masih kelas sepuluh untuk masuk ke ruang-ruang kelas. Mereka belum lama menjadi anggota keluarga baru di SMA Airlangga, jadi bisanya baru panik doing. Sama seklai nggak berguna dan cuma bikin repot. Sementara siswa-siswa kelas sebelas yang telah terdoktrin atau terjangkit virus patriotisme salah kaprah menyambut serangan itu bersama senior-senior mereka.
Ari memandang berkeliling. Area depan sekolah yang terdiri atas dua lapangan futsal, satu lapangan voli, dan satu lapangan basket itu sudah clear. Hanya berisi anak-anak yang akan menggantikan mereka yang kembali dalam keadaan luka-luka.
Sementara itu para guru hanya bisa menatap dari mulut koridor utama tanpa bisa berbuat apa-apa. Dalam situasi tawuran, beberapa anak didik mereka seperti Ari dan teman-temannya itu memang sama sekali tidak mempan bentakan, teriakan, pukulan penggaris besi, bahkan ancaman hukuman dari skala ringan sampai sangat berat.
Ari segera menggabungkan diri ke kancah pertempuran. Berlari menembus kekacauan dan hujan batu. Tiba- tiba langkahnya terhenti. Kedua matanya menyipit, menatap tajam ke kejauhan.
Tari dan Fio berdiri saling merapat dengan wajah pucat pasi. Keduanya terjebak di tempat yang sangat strategis. Trotoar jalan antara sekolah dan perempatan, tepat di pertengahan jarak. Rasa takut—terlebih-lebih panik karena ini untuk pertama kalinya mereka berada tepat di tengah-tengah tawuran—membuat keduanya tidak melihat peluang untuk melarikan diri yang sebenarnya sangat besar, lari secepat-cepanya kembali ke sekolah.
Mereka berdiri rapat di balik satu-satunya pelindung, kalau bisa disebut begitu. Sebatang pohon peneduh jalan yang belum lama ditanam. Yang batangnya Cuma sedikit lebih besar dari butiran batu-batu yang beterbangan. Singkat kata, Tari dan Fio berdiri di tempat yang paling pewe. Ditimpuk batu dari arah mana pun dijamin kena.
Ari langsung mengenali Tari yang memang selalu penuh dengan nuansa oranye.
“Sial! Si oranye itu kena kutuk, kali ya? Lagi-lagi kejebak tawuran!” desisnya. Ari lalu menoleh ke arah teman-temannya. “WOI! COVER-IN GUE!” teriaknya.
Teman-temannya langsung mengerti. Dengan perlindungan teman-temannya, Ari berlari menembus hujan batu, berusaha mencapai tempat Tari dan Fio berdiri. Bukan apa-apa. Dia paling malas kalau ada cewek yang terlibat, apalagi terjebak tawuran. Soalnya mereka sering jadi korban, tapi lebih sering lagi dijadikan sandera. Akibatnya, Ari dan teman-temannya terpakasa mengaku kalah. Harga kompensasi agar cewek yang dijadikan sandera tidak diapa-apakan. Yang terakhir itu yang selalu membuat Ari kesal.
Sementara itu dari arah berlawanan, juga dengan perlindungan beberapa temannya, Angga berlari cepat menuju titik yang sama.
Tiba-tiba cowok yang berada di sebelah kanan Ari roboh. Satu lemparan batu yang benar-benar jitu membuatnya terkapar di aspal jalanan dengan lengan kanan berdarah. Beberapa orang segera maju untuk melindunginya, juga melindungi Ari yang posisinya jadi sedikit terbuka. Sementara dua orang segera menarik cowok yang roboh itu sampai berdiri lalu memapahnya menuju sekolah.
Tapi, seberapa cepat pun usaha penyelamatan itu dilakukan, mereka tetap kehilangan waktu. Begitu Ari menoleh karena teriakan beberapa orang temannya, dilihatnya Angga sudah hampir mencapai tempat Tari dan Fio. Dua orang teman Angga dengan mengendarai motor, membayanginya di kiri-kanan.
“MAJU! MAJU!!!” teriak Ari keras.
Serentak seluruh anak-anak Airlangga yang berada di posisi depan berlari kencang ke arah lawan. Sementara yang berada di posisi tengah semakin gencar menghujani lawan dengan lemparan batu supaya teman-temannya bisa maju lebih cepat. Sayangnya mereka sudah kalah jarak.
Angga bersama kedua temannya yang mengendarai motor sudah sampai di depan Tari dan Fio. Melihat itu Ari dan teman-temannya berlari seperti kalap. Namun jarak yang masih terbentang cukup jauh, membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa saat kedua cewek itu diseret ke motor dan dipaksa naik. Jerit dan pemberontakan mereka sama sekali sia-sia. Kedua motor itu segera melesat pergi, dengan Tari dan Fio di boncengan masing-masing.
Di tengah hujan batu, di tengah teriakan, di antara teman-temannya yang siap melindungi, Angga berdiri menyongsong Ari. Kedua alisnya terangkat tinggi-tinggi. Senyum mengejek bercampur kemenangan tercetak di bibirnya, yang bahkan bisa dilihat Ari dari jarak yang cukup jauh. Membuat kemarahannya semakin menggelegak.
Angga yang bisa melihat kemarahan Ari memuncak, semakin menikmati kemenangannya. Dia berdiri tenang dengan kedua tangan terlipat di depan dada dan senyum tercetak semakin lebar di bibirnya. Meskipun demikian, cowok itu tetap waspada. Menjelang Ari mencapai jarak yang dianggapnya batas siaga, Angga memerintahkan teman-temannya untuk mundur.
Serentak seluruh cowok-cowok SMA Brawijaya itu balik badan, berlari ke arah perempatan dan menghilang di sana. Ari dan teman-temannya tersentak dan semakin mempercepat lari mereka. Tapi saat sampai di perempatan jalan dan berbelok ke kanan, mereka hanya melihat sisa-sisa anak-anak Brawijaya masuk ke sebuah jalan kecil. Tak lama kemudian delapan unit mobil melesat keluar dari sana, dengan teriakan dan tawa kemenangan yang bisa didengar Ari dan teman-temannya.
Mereka terpaksa menghentikan pengejaran. Ari berdiri di tempat dengan kedua rahang terkatup rapat. Mati-matian menahan kemarahannya agar tidak semakin membludak. Kemudian dia balik badan.
“Oji, ambil motor gue!” serunya sambil melempar kunci. Oji menangkap kunci itu dan segera berlari ke sekolah. Anak-anak yang lain, yang rata-rata juga membawa kendaraan ke sekolah, langsung mengikuti. Tak lama terdengar deru nyaring di kejauhan. Tapi yang kembali Cuma Oji.
“Semua kendaraan ketahan, Ri,” lapor Oji sambil menyerahkan motor itu pada sang pemilik. Kemudian dia ulurkan jaket yang diambilkan Rido, salah seorang teman mereka, dari kelas.
“Udah tau,” jawab Ari pendek sambil mengenakan jaket hitamnya. Setiap kali terjadi tawuran, pihak sekolah memang selalu langsung menutup kedua akses ke sekolah. Alasan kenapa motor itu bisa lolos adalah karena motor itu milik Ari, plus ancaman ke mas-mas sekuriti yang berjaga di gerbang depan.
“Nanti kalo Ari ngamuk, Mas yang tanggung jawab ya?”
“Jadi gimana nih?” Oji menatap Ari, menunggu instruksi selanjutnnya.
“Biar gue sendiri yang ke Brawijaya.”
“Gila lo!” Oji melotot. “Jangan! Jangan! Tunggu bentar deh. Anak-anak lagi nyetop taksi.”
“Bego! Mana ada taksi yang mau ngangkut anak-anak yang mau tawuran? Usul siapa sih?”
“Hehe, gue.” Oji meringis malu.
“Ck! Duduk di sebelah gue nggak ada gunanya ya?” sesaat Ari menatap Oji dengan lirikan tajam. Kemudian cowok itu menggas motornya dan langsung melesat pergi.
“WOI, ARIIIII!!!!” teriak Oji, melengking keras. Jelas sia-sia.
Ari memacu motornya, membelah kepadatan lalu lintas Jakarta dengan kecepatan tinggi. Berbagai macam dugaan buruk berkelebat di kepalanya. Untuknya, tawuran itu mutlak urusan cowok. Dari dulu dia pantang melibatkan cewek. Sepertinya Angga juga mempunyai prinsip yang sama. Karena itu Ari heran melihat Angga sampai melakukan ini. Karena kejadian ini baru yang pertama kali ini.
Angga memang bukan nama baru buat Ari. Cowok itu satu SMP dengannya, tapi tidak pernah satu kelas. Ari mulai merasakan kebencian Angga kira-kira dua atau tiga bulan menjelang lulus-lulusan.
Sayangnya, kesibukan PM—pendalaman materi—dan seabrek kegiatan tambahan untuk menghadapi ujian akhir yang dipaksakan pihak sekolah membuat Ari tidak sempat lagi memikirkan keanehan Angga itu. Tahu-tahu mereka sudah merayakan acara lulus-lulusan kemudian berpencar ke sekolah lanjutan tujuan masing-masing. Masalah itu pun terlupakan.
Sampai pada suatu hari Ari menemukan Angga di antara anak-anak SMA Brawijaya yang menyerang sekolahnya. Masih dengan tatap kebencian yang sama. Dan sama seperti dirinya, masih berstatus junior yang tentu saja harus mematuhi setiap perintah para senior. Ketika Ari telah menjadi pentolan di sekolahnya, Angga ternyata juga berdiri diposisi yang sama. Sudah tidak mungkin lagi untuk bertanya baik-baik.
Karena itu sejak dulu Ari selalu merasa serangan-serangan anak-anak Brawijaya yang dipimpin Angga secara pribadi ditujukan untuk dirinya.
Sementara itu di salah satu ruang kelas di SMA Brawijaya, Tari dan Fio duduk saling merapat. Satu tangan mereka saling menggenggam kuat. Tak lama pintu terbuka. Angga berjalan masuk dan langsung menghampiri keduanya.
“Hai,” sapanya ramah. Tidak ada sahutan. Angga menatap keduanya. Cowok itu kemudian berjalan ke pintu dan berseru keluar dari sana.
“Ben, ambilin air mineral gelas, dua!”
Tak lama seorang cowok muncul. Dia mengulurkan dua air mineral kemasan gelas pada Angga sambil melirik ke arah Tari dan Fio.
“Nggak lo apa-apain kan tadi?” tanya Angga pada Benny, cowok yang membawakan air mineral itu.
“Nggak. Cuma gue liatin doang. Abis cakep-cakep sih.”
“Itu udah termasuk lo apa-apain, lagi. Kan gue udah bilang, tampang preman terminal lo itu bikin cewek ketakutan.”
“Hehe…” Benny meringis. “Yang penting kan nggak dicolek-colek.”
“Ya udah, sana!” Angga menggerakkan dagu, menyuruh Benny keluar. Sekali lagi Benny menatap Tari dan Fio, kemudian menghilang di ambang pintu. Kembali Angga menghampiri kedua cewek itu.
“Minum dulu deh. Biar kalian agak tenang,” ucapnya lembut. Diulurkannya kedua air mineral gelas itu dengan sedotan yang sudah dia tusukkan hingga menembus penutup kemasan. Ragu-ragu Tari dan Fio menerima uluran air mineral itu.
“Sori cara gue tadi ya,” Angga meminta maaf. “Tapi tadi posisi kalian berdua tuh bahaya banget. Gue udah minta temen-temen gue untuk ati-ati supaya nggak salah timpuk. Tapi tetep dalam situasi kayak gitu kemungkinan salah timpuk gede banget. Entah dari temen-temen gue, atau bisa juga dari temen-temennya Ari. Jadi mendingan kalian diselamatkan untuk mencegah hal-hal yang nggak diinginkan.”
Angga menjelaskan panjang-lebar. Sebagian dari penjelasan itu jelas tidak benar. Dia memang sengaja menculik kedua cewek itu, terutama Tari, untuk memancing kedatangan Ari.
“Udah pernah ngerasain ketimpuk batu, belom? Apalagi kalo pas kena kepala.” Dia tersenyum dengan gaya lucu.
Cara Angga menjelaskan, nada ramah dalam suaranya dan sorot kedua matanya yang hangat, membuat rona ketakutan mengendur dari wajah Tari dan Fio. Keduanya tersenyum meskipun masih terlihat ragu dan takut-takut.
“Gitu dong!” Angga mengacungkan jempol kanannya.
“Tampang lo berdua tuh kayak gue mau apain aja. Oh, iya. Siapa nama temen lo ini, Tar?”
“Oh, ini Fio.” Tari menoleh ke Fio. “Kenalin, Fi, ini…” ganti Tari menoleh ke Angga. “Nama lo siapa sih?”
Seketika kedua alis Angga terangkat.
“Kan udah gue kasih tau? Di kertas kecil yang gue selipin di dalem kamus lo.”
“Eh, itu… kertasnya diambil Ari,” jawab Tari dengan perasaan nggak enak.
“Oh, ya?” Angga berlagak kaget. Tapi dalam hati dia bersiul puas. Ini lebih dari yang dia harapkan. “Ya udah. Nggak pa-pa. Gue Angga. Anggada.” Dia mengulurkan tangan kanannya pada Fio. “Salam kenal ya.”
Fio menyambut uluran tangan itu.
“Salam kenal juga. Gue Fio. Temen semeja Tari,” katanya sambil menyunggingkan senyum.
“Oke.” Angga bals tersenyum. Kemudian cowok itu duduk di meja sebelah Tari.
Tak lama dua orang cowok pengendara motor yang menculik Tari dan Fio muncul di pintu dan langsung mengahmpiri mereka. Salah seorang menenteng tas kresek hitam. Muka Tari dan Fio langsung tegang lagi. Angga yang bisa melihat itu jadi menahan senyum.
“Ini Mokoginta, panggilannya Moko. Dan ini Bambang Wijatmoko, panggilannya Bako,” Angga memperkenalkan keduanya. ‘Yang tadi bawain air mineral namanya Benny.”
“Sori tadi kami terpaksa ngebut. Soalnya takut kalian loncat,” ucap Moko dengan senyum lebar. Dia letakkan tas kresek yang ternyata berisi minuman kaleng dingin ke tengah meja. Kemudian cowok itu duduk di bangku depan Fio, sementara Bako duduk di bangku depan Tari.
“Baru kelas sepuluh, ya?” Bako bertanya sambil mengeluarkan minuman kaleng itu dari dalam plastik lalu membaginya satu orang satu.
“Kok tau?” Tari balik bertanya dengan nada terdengar masih malu-malu.
“Mukanya masih kayak anak SMP sih,” jawaban Bako membuat Angga dan Moko ketawa. “Selain itu masih bego pula,” lanjut Bako. “Udah tau lagi ada tawuran, bukannya menghindar, kabur ke mana kek gitu, malah diem di tempat.”
“Mau kabur ke mana?” kali ini Fio yang bicara. “Orang jalannya lurus gitu. Nggak bercabang. Udah gitu tawurannya kan dari dua arah. Mau lari ke mana?”
“Bercanda. Bercanda.” Bako menyeringai.
Ketiga cowok itu ternyata asyik banget diajak ngobrol. Sekejap kemudian Tari dan Fio larut dalam pembicaraan seru, tanpa menyadari bahwa Angga memang sengaja menciptakan situasi itu.
Musik, film, anime berikut soundtrack-nya, komik jepang, dan topik-topik lain, membuat kedua cewek itu lupa bahwa mereka berada di tempat yang paling diharamkan.
Selama obrolan itu diam-diam Angga mengamati Tari. Mencoba menemukan apa yang membuat Ari tertarik pada cewek satu ini. Manis, sudah pasti. Tidak perlu harus menatapnya lekat-lekat dan dari jarak dekat untuk menyadari fakta itu.
Senyum membuat cewek ini jadi semakin manis lagi. Bulu matanya panjang. Lurus dan hitam. Yang membuat Tari eyes-catching adalah pernak-perniknya yang serbaoranye.
“Lo suka warna oranye ya? Fanatik malah, menurut gue,” tanya Angga.
Tari meringis. Terlihat jadi semakin manis, juga jadi bikin gemas. Angga jadi ingin mengulurkan tangannya untuk mencubit satu saja pipi di depannya.
“Soalnya itu warna matahari terbenam. Gue kan lahirnya sore, pas matahari mau tenggelam. Kata Nyokap, waktu gue lahir pantulan matahari yang mau tenggelam itu bikin ruangan jadi berwarna oranye, jingga,” Tari menerangkan dengan nada riang. Dia memang bangga dengan nama dan latar historis momen kelahirannya. Jadi setiap kali ada yang bertanya tentang namanya yang unik, cewek itu akan bercerita panjang-lebar.
“Oh, gitu.” Angga mengangguk-angguk, jga kedua temannya. “Jangan-jangan nama lengkap lo ada kata jingganya?”
“Emang,” Tari mengangguk. “Jingga Matahari.”
Jingga Matahari!
Angga tersentak, tapi cepat-cepat menutupinya. Akhirnya dia temukan alasan utama kenapa Ari menyukai cewek ini. Persamaan nama.
Sepertinya ini bukan soal hati. Hanya soal sepele. Persamaan nama. Tapi masa iya Ari semelankolis itu? Pasti ada hal lain. Tapi tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu saat ini. Yang jelas, dati reaksi Ari tadi, berlomba dengannya untuk mencapai tempat Tari berdiri, Angga yakin ada apa-apa di antara mereka berdua.
Berarti harus benar-benar direbutnya cewek ini dari Ari. Soal hati, itu urusan nanti. Pasti mudah untuk jatuh hati pada cewek manis seperti Matahari di depannya ini.
Di tengah-tengah obrolan ramai itu, Angga meninggalkan teman-temannya dan berjalan ke depan deretan jendela. Lima belas menit yang lalu dia menerima SMS yang melaporkan kedatangan Ari. Sekaran dia ingin melihat sampai di mana kemajuan yang dicapai teman-temannya.
Dan apa yang dilihatnya membuat bibir Angga seketika menyunggingkan senyum lebar. Segera dia kirimkan satu SMS singkat. Setelah menunggu beberapa saat, cowok itu kembali ke tempat Tari, Fio, dan kedua temannya duduk. Keempatnya masih terlibat pembicaraan seru.
Kali ini tentang Naruto. Fio ngotot bahwa si Samurai X, Kenshin Himura, lebih keren ke mana-mana daripada si Naruto njegrik itu. Padahal rambut Kenshin juga sama njegriknya. Di sebelahnya, Tari mengangguk-angguk mengiyakan.
Dengan bertelekan kedua telapak tangan, Angga mengangkat kedua tubuhnya ke meja yang tadi didudukinya dan kembali bersila di atasnya. Dia sudah mengatur posisi mereka berlima sedemikian rupa, sehingga ketika nanti Ari datang dan melihat dari luar jendela, cowok itu hanya berhadapan tubuh dengannya.

Bersambung


Bab 3 (2)

Ketika Ari sampai di depan SMA Brawijaya, suasana terlihat sepi. Hanya beberapa anak yang masih tersisa. Dan mereka bukan dari jenis yang doyan tawuran. Tapi di pintu gerbang, beberapa teman Angga yang sudah dikenalnya terlihat berjaga-jaga. Begtu melihat kemunculan Ari, mereka langsung bersikap siaga.
Ari menepikan motornya lalu melangkah menghampiri mereka. Dua orang segera menyambutnya dengan tatapan yang benar-benar terfokus padanya, sementara sisanya menatap ke are sekitar dengan kewaspadaan yang sama tingginya.
“Gue dateng sendiri!” tegas Ari, menatap cowok di depannya yang kayaknya orang kepercayaan Angga, tepat di manik mata.
“Bersikap kayak tamu dong. Mana sopan santun lo?” cowok itu membalas tatapan Ari sama tajamnya.
“Apa?!”
“Jangan angkat dagu lo tinggi-tinggi gitu. Lo bikin gue marah, tau? Tundukin kepala lo!”
Dengan kedua rahang terkatup erat, Ari menuruti perintah itu.
“Buka jaket lo. Kan gue udah bilang tadi, kalo bertamu yang sopan!” bentak cowok Brawijaya itu. Sekali lagi sambil merapatkan kedua rahangnya, Ari menuruti perintah itu. Dia lepaskan jaket hitamnya. Sepasang mata cowok di depannya langsung bergerak ke sisi kanannya. Dia mendesis tajam.
“Ini lepas!” tiba-tiba cowok itu mengulurkan tangan kanannya. Dan dengan sekali entakan, badge nama sekolah yang terjahit di lengan kanan baju Ari terlepas. Cowok itu kemudian maju selangkah dan mengacungkan badge itu tepat di depan muka Ari.
“Lo nantang?” tanyanya. Kedua matanya menusuk tajam. Ari membalas tatapan itu tapi pilih tidak menjawab. Cowok itu kemudian membanting badge di tangannya ke tanah. Mati-matian Ari menahan gelegak kemarahannya saat bedge itu kemudian diinjak kuat-kuat.
Cowok Brawijaya itu kemudian mundur selangkah menjauhi Ari. Utnuk pertama kalinya dia mengalihkan tatapanntya ke tempat lain.
“Lo tau, gue paling seneng nonton film yang setting-nya zaman kerajaan. Tau adegan favorit gue?” cowok itu menoleh dan menatap Ari dengan kedu alis terangkat. “Adegan berlutut!”
Penghinaan kali ini benar-benar sudah menyentuh harga diri Ari. Tapi dengan adanya dua orang sandera di tangan mereka, Ari tahu tidak ada jalan lain baginya selain bersikap kooperatif. Di samping itu, saat ini dia berada di kandang lawan, sendirian pula. Jadi lebih baik sadar diri dan menghentikan niat untuk berlagak ala superhero. Karena selain akan berakhir konyol, itu sia-sia pula. Melihat keterdiaman Ari, cowok Brawijaya itu mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi.
“Lo perlu info soal dua cewek itu, kan?”
“Gimana mereka?” tanya Ari dengan desisan dan gigi-gigi terkatup.
“Eeem…” cowok itu berlagak berpikir. Kemudian dia geleng kepala. “Nggak tau. Waktu mereka dibawa ke dalem, gue nggak ikut. Soalnya gue kebagian jadi satpam sih, jadi kudu satndby di gerbang.”
Dia menerangkan seolah-olah itu percakapan biasa. Dan dinikmatinya raut muka cemas yang muncul di muka Ari, terang-terangan.
“Cepet bayar harganya supaya bisa cepet gue cari informasinya.”
Penghinaan itu sudah tidak bisa lagi dihindari. Dengan mengatupkan kedua rahangnya kuat-kuat, dengan mengepalkan kesepuluh jarinya erat-erat, Ari berusaha menahan agar katup kemarahannya tidak sampai terbuka.
Dengan sepasang mata terarah lurus-lurus pada cowok di depannya, perlahan Ari menekuk lutut kirinya. Dan seiring dengan itu, tubuhnya merendah. Dan sempurnalah kerendahan cowok itu saat kemudian Ari menekuk lutut kanannya.
Cowok Brawijaya itu menatap teman-temannya lalu bersiul keras. Seketika sorak kemenangan bercampur tawa cemooh untuk Ari berkumandang di gerbang SMA Brawijaya.
Fakta bahwa Ari berlutut bukan di depan Angga, tapi di depan salah satua anak buahnya, adalah kekalahan yang benar-benar telak. Karena berlututnya Ari adalah juga berlututnya SMA Airlangga!
Berdiri di depan jendela di salah satu ruang kelas, Angga menyaksikan peristiwa itu dengan senyum puas yang tersungging lebar-lebar. Dia memang sudah meminta teman-temannya untuk jangan menghajar Ari, karena penghinaan lebih tepat… dan lebih menyenangkan untuk dilakukan!
Senyum Angga mengembang semakin lebar. Berarti dia harus mendapatkan kehormatan yang lebih besar daripada apa yang didapatkan anak buahnya. Cowok itu lalu mengeluarka ponselnya dan mengetik satu SMS singkat.
Diabadikan dong. Kejadian langka tuh!
Cowok Brawijaya yang sedang menghadapi Ari kembali bersiul keras saat membaca SMS itu. Kemudian dia memanggil salah satu temannya sengan jentika jari dan menyerahkan ponsel itu padanya.
“Rekam!”
Dan terabadikanlah kekalahan itu!!!
“Terima kasih banyak untuk kerandahan hati lo.” Cowok itu menyeringai, lalu balik badan dan berjalan ke arah deretan ruang-ruang kelas.
Ari menatap kepergian cowok Brawijaya itu sambil bangkit berdiri. Dan terciptalah satu dendam baru. Angga dan cowok itu kan jadi target utamanya. Tak lama cowok itu kembali.
“Ikut gue,” katanya sambil menggerakkan dagu. Ari berjalan mengikutinya menuju deretan ruang kelas dan berhenti di luar salah satunya.
Apa yang dilihatnya membuat Ari diam-diam menarik napas lega. Tari dan temannya itu baik-baik saja. Malah lebih dari baik-baik saja. Keduanya sepertinya lupa bahwa ini markas besar musuh bebuyutan sekolah mereka. Mereka lupa bahwa ada begitu banyak orang yang mengkhawatirkan kondisi mereka saat ini. Dirinya bahkan telah berlutut demi terjaminnya keselamatan mereka.
Tapi Ari tidak menyesal telah melakukan itu, karena dia tidak tahu perlakuan apa yang akan diterima kedua cewek itu seandainya perintah itu tidak dia patuhi. Dan dia tidak mau gambling untuk sesuatu yang sangat serius seperti kehormatan, karena dia tidak mau menanggung rasa bersalah seumur hidup.
Setelah kecemasannya akan keselamatan kedua cewek itu mereda, baru Ari menyadari ada sepasang mata yang lekat mengawasinya sejak dia muncul di depan jendela. Mata milik Angga.
Menembus bening kaca jendela, kedua bola mata hitam itu menusuk tepat di kedua matanya. Sarat dengan kebencian yang bagi Ari selalu jadi tanda tanya.
Kedua cowok itu saling tatap. Tepat di manik mata lawan masing-masing. Ari yakin Angga tahu perlakuan apa yang telah dia terima di gerbang sekolah tadi, bahkan bisa jadi semua itu atas perintahnya. Dan sebagai ganti, Ari minta kepastian atas keselamatan kedua sandera.
Sementara itu empat orang di dekat Angga tetap asyik dengan obrolan seru mereka. Tari dan Fio memang tidak menyadari posisi duduk mereka membuat kedatangan Ari tidak mereka ketahui.
Sementara kedua teman Angga jelas menyadari kehadiran sosok menjulang yang berdiri di luar ruangan itu. Tapi sesuai perintah Angga, keduanya tidak mengacuhkan sama sekali. Kemudian Angga menggerakkan dagunya, memerintahkan temannya untuk membawa Ari pergi.
“Time is up!” kata cowok yang berdiri di sebelah Ari.
Ari bergeming. Sekali lagi lewat sorot mata yang menembus bening kaca jendela, Ari meminta kepastian pada Angga atas keselamatan Tari dan Fio. Namun cowok di sebelahnya memetahkan pandangan Ari dengan berdiri tepat di depan jendela. Tatapan mata yang tadi ditujukan Ari untuk Angga otomatis kini jadi tertuju pada cowok di depannya. Terhalang punggung temannya, Angga menahan senyum kemenangan agar tidak tercetak di bibir, karena diapastikan itu akan berkembang jadi tawa.
“Kalo lo mau tu cewek-cewek tetep cuma diajak ngobrol doang, lo pergi sekarang!” cowok yang berdiri di depan Ari memberi perintah dengan nada tegas.
“Lo bisa kasih jaminan?” ada nada ancaman dalam suara Ari.
“Cewek yang namanya Tari, nanti Angga yang nganter pulang.”
“Satunya?”
“Gue yang nganter.”
“Bisa ngasih jaminan tu cewek dua selamet sampe rumah masing-masing?”
“Atas nama Angga… iya!” cowok itu menjawab, lagi-lagi dengan nada tegas.
Atas nama Angga. Satu kalimat pendek itu akhirnya meyakinkan Ari, ini memang urusan pribadi antara dirinya dan cowok itu. Sayangnya, dia tidak tahu akar permasalahannya.
Akhirnya tidak ada lagi yang bisa dilakukan Ari selain sepenuhnya bergantung pada janji itu. Dia mengangguk meskipun kecemasan masih menggantung di dada dan kepalanya. Cowok di depannya menggerakkan dagu ke arah gerbang, kemudian berjalan pergi. Ari kembali bisa melihat ke dalam ruangan.
Angga masih duduk bersila di atas meja yang sama. Kali ini dengan sebatang rokok terselip di bibir. Amat sangat sadar dengan kemenangannya. Lagi-lagi Ari hanya mampu menatapnya dengan menekan seluruh kemarahannya kuat-kuat. Ari kemudian mengarahkan pandangannya pada Tari dan Fio, yang masih belum juga menyadari kehadiran pentolan sekolah mereka.
Dengan perasaan berat Ari terpaksa memalingkan muka dan menyusul cowok tadi, berjalan ke arah pintu gerbang SMA Brawijaya. Ditinggalkannya sekolah itu dengan perasaan yang semakin berat lagi, karena sepenuhnya dia hanya bisa menggantungkan pada janji lawan.
Ari tidak tahu pasti apa motivasi Angga terhadap Tari. Mungkin soal hati. Kalu dilihat dari kenekatannya mendatangi sekolahnya seorang diri, bahkan sampai benar-benar sampai ke depan sekolah. Hanya untuk mengembalikan kamus milik Tari.
Kalau memang ini murni soal hati, dirinya tidak pernah peduli. Tapi belum tentu teman-temannya. Kalau mereka menganggap Tari pengkhianat karena pacaran dengan cowok dari sekolah yang jadi musuh bebuyutan, kemungkinan tu cewek bisa dipermak. Bukan oleh teman-temannya yang cowok, tapi yang cewek-cewek. Dan perseteruan sesama cewek sama sadisnya dengan perseteruan sesama cowok. Apalagi kalau senioritas ikut bicara. Sebab dan alasan tidak lagi penting. Kalau sudah begitu, dirinya tidak bisa menolong.
Di balik helmnya, Ari menarik napas panjang dan mengembuskannya melalui mulut dengan keras. Untuk sementara yang harus dia lakukan pertama kali adalah memastikan keselamatan Tari. Selanjutnya, kalau ini ternyata memang cuma soal hati, dia akan menyarankan pada cewek itu untuk menjaganya agar jangan sampai tercium di sekolah. Itu saja. Masalah selesai.
Setibanya Ari di sekolah suasana sudah sepi. Pintu gerbang juga sudah dibuka kembali. Diparkirnya motornya di tempat biasa. Tiba-tiba Oji muncul dari balik salah satu mobil yang terparkir dan menghampiri Ari dengan langkah cepat.
“Gimana tu cewek dua?” tanya Oji langsung.
“Ngapain lo ngumpet di situ?” Ari bertanya balik setelah melepas helmnya. Oji meringis.
“Males gue di sana. Bu Sam ngomelnya pake kalimat yang itu-itu melulu. Nggak inovatif tu guru.”
Ari tertawa mendengus mendengar kalimat itu. “Berapa orang yang keciduk?” tanyanya.
“Lumayan, man. Tapi yang berhasil kabur lebih banyak lagi.”
“Bagus deh. Jadi Bu Sam nge-print SP-nya nggak perlu banyak-banyak.”
“Gue belom dapet info tu cewek-cewek kelas berapa,” Oji melaporkan dengan perasaan sedikit bersalah.
“Gue udah tau,” jawab Ari pendek. Yang sangat dia perlukan adalah info tentang alamat rumah Tari berikut nomor teleponnya. Sayangnya memang tidak mungkin mendapatkan kedua info itu saat ini. Karena itu dia bisa memaklumi kegagalan Oji.
Ruang sekretariat tepat bersebelahan dengan ruang guru, bahkan ada pintu penghubung di antara kedua ruangan itu. Dan saat ini kedua ruangan itu pasti sedang digunakan untuk mengumpulkan siswa-siswa yang terlibat tawuran tadi. Siswa kelas dua belas di ruang guru, sedangkan siswa kelas sebelas di ruang sekretariat. Menanyakan alamat Tari hanya akan menimbulkan kecurigaan. Ari tidak ingin pihak sekolah mengetahui bahwa ada dua siswi yang disandera. Dan dia masih berharap Angga menepati janjinya.
“Jadi tu cewek dua nasibnya gimana?” Oji mengulang pertanyaannya.
“Sampe tadi gue tinggal sih masih baik-baik aja.”
“Lo dapet jaminan pasti, kalo tu cewek-cewek nggak bakal diapa-apain?”
Pertanyaan Oji itu membuat kedua rahang Ari mengeras.
“Kalo tu cewek diapa-apain, gue kejar si Angga biar sampe ke mana juga!”
Kening Oji berkerut. Tu cewek? Berarti singular, bukan plural. Jangan-jangan…
“Jadi gimana?” tanya Oji kemudian, setelah sejenak mengingat-ingat, sepertinya Ari memang sedikit peduli pada cewek bernuansa oranye itu.
“Sekarang nggak bisa apa-apa. Terpaksa tunggu besok. Lagi pada dikumpulin, kan?”
“Iya.”
“Lo udah kasih tau semuanyauntuk sementara jangan ngomong kalo ada cewek uang disandera?”
“Udah.” Oji mengangguk, lagi-lagi jadi heran karena Ari cuma menyebut “cewek” dan bukan “dua cewek” atau “cewek-cewek”?
“Tapi bener nggak apa-apa tuh?”
“Mudah-mudahan nggak. Yang diincer Angga tuh gue. Tu cewek cuma pion.”
Tuh, kan? Tu cewek lagi? Oji langsung membatin karena lagi-lagi mendengar kata yang merujuk pada jumlah tunggal. Sementara itu Ari nggak yakin dengan alasan yang dia ucapkan, tapi untuk saat ini lebih baik itu saja yang diketahui Oji. Dia enggan menceritakan yang sebenarnya. Bahwa kedua cewek itu lebih dari sekedar nggak apa-apa. Juga peristiwa dia berlutut demi meminta kepastian atas keselamatan keduanya. Soalnya, kedua hal itu dipastikan akan membuat permusuhan sekolah merek jadi makin meruncing. Kecuali kalau ini bukan soal hati seperti dugaan sementaranya.
“Yuk!” Ari mengajak Oji ke ruang guru. Keduanya meninggalkan area parkir menuju koridor utama sekolah.
Begitu berbelok ke koridor, mereka langsung melihat Bu Sam dan Bu Ida. Bu Sam berdiri di depan sekretariat. Kedua pintu ruangan itu tertutup. Senyum Ari mengembang, tapi kedua guru itu membalasnya dengan tatapan galak.
“Dari mana kamu?!” tanya Bu Sam begitu Ari sampai di depannya.
“Dari membela nama baik dan kehormatan sekolah, Bu,” jawab Ari dengan tenang. Di sebelahnya Oji berdiri dengan kepala sedikit tertunduk. Bu Sam tidak berkata apa-apa lagi. Pandangannya beralih ke Oji.
“Masuk kamu, Ji!” perintahnya sambil menggerakkan dagu.
“Iya, Buuu,” Oji mengangguk patuh. Dia berjalan ke pintu ruang guru, membukanya, lalu masuk. Ari mengikuti dengan senyum geli. Oji itu paling jago bersikap patuh, manis, dan penurut di depan paar guru. Sementara kalau sedang di arena tawuran, sikapnya akan berubah seratus delapan puluh derajat. Makanya para guru sering berpendapat, Oji itu sebenarnya anak yang baik, tapi sudah kena pengaruh dari teman-temannya yang nggak baik terutama, tentu saja, Ari.
“Kamu ditunggu Pak Rahardi,” ucap Bu Sam, lalu menyusul Oji ke ruang guru. Begitu Bu Sam masuk ruangan, Bu Ida masuk ke ruang sekretarian di depannya, setelah sebelumnya melancarkan pandangan sebal pada Ari.
Seperti biasa, Ari membalas pandangan itu dengan senyum, kemudian berjalan ke ruangan Pak Rahardi, sang kepsek. Ketiak melewati deretan jendela ruang guru, kemudian ruang sekretariat, cowok itu menyeringai ke arah wajah-wajah yang menatapnya dari dalam kedua ruangan itu. Teman-temannya kontan membalas dengan seringai juga.
Setiap kali terjadi tawuran, khusus untuk Ari memang selalu diisolasi ke ruang kepsek. Terpisah dari teman-temannya. Sama sekali bukan untuk kepentingan cowok itu, tapi lebih demi kepentingan siswa-siswa yang lain.
Pihak sekolah memang sudah menyerah terhadap siswa yang satu itu. Menghubungi pihak orang tua –dalam hal ini adalah ayah Ari, karena Ari hanya hidup berdua dengan sang Ayah- juga tidak banyak membantu.
Semua guru sudah tahu jurang yang terentang antara Ari dan ayahnya. Teramat dalam dan nyaris menjadikan mereka seperti dua orang yang tidak saling kenal. Para guru juga telah mengetahui penyebab terbentuknya jurang itu, karena ayah Ari telah menceritakannya. Meskipun singkat dan hanya garis besar, mereka akhirnya bisa memahami kenapa Ari bisa menjadi seperti sekarang ini.
Yang jadi masalah, ketenangan Ari dan ketidakpeduliannya terhadap hukuman apa pun yang kemudian dijatuhkan, menular. Ketenangan sang biang onar itu jelas membuat teman-temannya ikut tenang juga. Para siswa yang kerap telibat tawuran rata-rata memang siswa-siswa yang bermasalah di rumah. Namun, para guru berharap mereka masih bisa diselamatkan.
Sementara seluruh siswa yang terlibat tawuran diceramahi panjang-lebar selama hampir satu jam, Ari duduk santai di tuang kepsek. Baca koran. Pak Rahardi yang mondar-mandir di antara ruangannya dan ruang guru cuma bisa geleng-geleng kepala melihat itu.
Setelah ceramah selesai, hukuman pun dijatuhkan. Beberapa anak hanya mendapatkan peringatan lisan, beberapa yang lain mendapatkan peringatan tertulis yang dimasukkan dalam amplop tersegel dan harus diserahkan kepada orangtua masing-masing.
Sedangkan hukuman terberat yaitu skorsing, diberikan kepada siswa yang dianggap sebagai penghasut dan penggerak masa. Lima orang terkena hukuman ini, masing-masing selama dua hari. Termasuk Oji. Harapan para guru selain menimbulkan efek jera, juga supaya Oji tidak terlalu akrab lagi dengan Ari.
Para guru itu tidak tahu fakta yang sebenarnya. Oji itu bukan hanya sekedar akrab dengan Ari. Cowok itu sudah sampai pada taraf memuja Ari! Di mata Oji, Ari tuh keren banget. Nggak takut apa pun. Untuk katagori biang kerok sekolah dan langganan dipanggil ke ruang guru, prestasi akademiknya termasuk lumayan. Jarang keluar dari lima besar kelas. Ari punya banyak banget teman, doyan bercanda dan sangat aktif, tapi tetap misterius, karena tidak satu pun yang tahu di mana dia tinggal. Yang pasti, tu cowok tajir, karena selalu punya banyak duit.
Namun, seakrab apa pun hubungan Oji dengan Ari, cowok itu tidak pernah berhasil menembus sisi pribadi Ari. Privasi Ari terkunci sangat rapt. Ada sisi macan tidur dalam diri Ari yang bisa dirasakan oleh semua orang yang mengenalnya. Memaksa menembus area pribadinya sepertinya akan membangunkan sang macan tidur tersebut.
Hal lain yang juga misterius, Ari sering dikelilingi cewek dengan berbagai tipe, tapi tidak satu pun yang berhasil menembus pertahanannya. Di balik senyum dan tawanya, cowok itu gunung es yang kokoh.
Ada satu hal lagi yang membuat semua temannya juga bertanya-tanya. Bisa dibilang, Ari nyaris tidak pernah mendapatkan hukuman. Apa pun tindak kenakalan dan tindak pelanggaran yang dia lakukan, cowok itu selalu lolos. Paling-paling cuma mendapatkan omelan yang disambung dengan ceramah dan nasihat panjang-lebar, yang sering kali sia-sia.
Kenyataan itu memang tidak bisa dibantah. Tapi alasan utama pihak sekolah tidak pernah memberikan hukuman seperti Surat Peringatan adalah, karena hubungan Ari dan ayahnya tidak harmonis, jadi SP tersebut tidak akan membawa perubahan apa pun. Sementara hukuman skorsing hanya akan membuat cowok itu berkeliaran di luar tanpa terpantau.


Bersambung