Rabu, 13 April 2016

Rangkuman Novel Jingga dan Senja BAB 7-9 Part 1

Bab 7 (1)

Keesokan harinya Ari berangkat dengan emosi dan hati yang lebih tenang, karena Angga tidak lagi dipandangnya sebagai ancaman serius. Dan ternyata kali ini Dewi Fortuna ganti berpihak padanya, setelah kemarin-kemarin sang Dewi menjadi pendukung Angga yang fanatic. Begitu memasuki kelas, Ridho langsung menyambutnya dengan satu kabar baik yang bisa dibilang surprise.
“Ada kejutan buat elo,” ucap Ridho pelan.
“Apa?”
Ridho nggak langsung menjawab. Dirangkulnya Ari lalu dibawanya menjauhi pintu.
“Sepupunya Angga ada di kelas sepuluh. Cewek,” jawabnya kemudian.
Kedua alis Ari kontan terangkat tinggi, kemudian dia bersiul keras. “Info dari mana?” tanyanya kaget.
Ridho menyeringai, tidak menjawab. Dia lepaskan rangkulannya. Beberapa detik Ari menatapnya dengan mata menyipit, kemudian teringat sesuatu. Ada anak kelas sepuluh yang naksir temannya ini, dan termasuk kategori cewek berani. Soalnya, berkali-kali Ari melihat cewek itu berdiri di dekat pintu gerbang saat pulang sekolah, sengaja menunggu Ridho muncul. Dan ketika Ridho melintas, pendar-pendar cinta di kedua mata cewek itu bahkan bisa dilihat semua orang.
Sayangnya Ridho termasuk tipe laki-laki sejati, alias lebih suka berburu daripada diburu. Jadi, cewek tipe kayak gitu jelas jadi alternative terakhir untuknya. Itu pun dengan syarat, terjadi bencana dahsyat dan cewek yang selamat tinggal tu cewek doang.
“Gimana caranya lo bisa dapet ni info?” tanya Ari.
“Lo nggak usah tau deh.” Ridho malas membahas. Ari menatapnya lurus. “Pasti dari cewek yang naksir lo itu, kan?”
“Yes!” Ridho meringis sumir. “Cewek yang naksir gue itu temen semeja sepupunya Angga. Bisa dibilang mereka akrab. Namanya Anggita. Panggilannya Gita.”
“Gita ini siapa? Sepupunya Angga atau cewek yang naksir elo itu?”
“Ya jelas sepupunya Angga laaah. Ngapain juga gue ngasih tau elo nama cewek yang bikin gue sakit mata itu,” jawab Ridho agak kesal.
Ari menyeringai lalu tertawa geli. “Sekarang gue perlu tau namanya karena dia udah berjasa.”
Ridho berdecak. “Sarah,” jawabnya malas.
“Sadis juga tu cewek!” Ari geleng-geleng kepala. Tapi dia nggak terlalu heran. Pengkhianatan untuk cinta. Satu kejahatan, kalau bisa dibilang begitu, yang umurnya sudah setua peradaban manusia.
“Konsekuensinya apa? Lo jalan sama dia, gitu?”
“Itu sih bisa diatur. Nggak masalah. Demi elo nih.” Ridho mengubah arah tubuhnya, tidak lagi menghadap Ari. Dia mengelak untuk menjawab.
“Nggak. Nggak. Gue nanya serius nih. Lo jalan sama tu cewek?” Ari mengahadapkan kembali tubuh Ridho padanya.
“Iya. Dia ngancem mau ngasih tau The Scissors soal ini. Aturan lo bisa jadiin si Gita itu pion, bisa jadi mentah lagi urusannya, kan? Gara-gara tu cewek diapa-apain gerombolannya si Vero itu.”
“Emang ada urusan apa tukang-tukang gunting itu sama si Gita?”
“Nggak tau. Mungkin juga nggak ada uusan apa-apa. Tapi kalo udah menyangkut elo, Vero pasti bakalan…”
“Iya, tau. Tau,” potong Ari dengan nada malas. Kemudian tatapannya berubah serius.
“Kalo lo nggak suka, jangan maksa. Si Vero itu urusan gue. Berani macem-macem, liat aja dia.”
“Itu sih gampang. Bisa gue atur. Yang penting urusan lo dulu dikelarin.”
“Nggak. Nggak. Jangan. Kalo lo nggak suka, jangan maksa,” Ari tetap menolak.
“Ck, udahlah.” Ridho menepuk pundak sobatnya. “Setelah gue pikir-pikir, sebenernya nggak rugi-rugi amat. Disbanding elo yang naksir cewek yang jelas-jelas enek sama elo…” Kalimat Ridho membuat Ari tertawa mendengus.
“Sialan lo!”
“Masih mending gue. Penyerahan total tanpa pamrih. Gue nggak perlu maksa dan nggak perlu merasa bersalah. Sepertinya sebentar lagi hidup gue bakalan asyik nih.”
“Gila lo!” Ari menepuk puncak kepala Ridho. “Janganlaaah.”
Ridho menyeringai. “TAkutnya ue yang dipaksa, man,” kilahnya. Dia dan Ari tertawa keras.
Ari langsung gerak cepat. Besok siangnya, begiut jam sekolah usai dan setelah mengganti baju seragam dengan T-shirt putih, bersama Oji dan Ridho yang menggunakan satu motor, Ari meluncur menuju SMA Brawijaya. Di sebuah jalan kecil yang rimbun dengan pepohonan di kiri-kanannya – yang terletak tidak jauh dari sekolah Angga – ketiganya berhenti.
“Lo berdua tunggu di sini.” Ari menatapkedua temannya bergantian, sambil menyelubungi kepalanya dengan tudung jaketnya yang berwarna putih, yang sengaja dibelinya untuk keperluan hari ini.
Cowok itu kemudian berjalan menuju tepi jalan raya di seberang gedung SMA Brawijaya. Oji dan Ridho mengikuti langkah Ari dengan tatapan cemas. Dengan posisi tubuh menyamping dan sikap waspada, Ari mengawasi situasi di area depan sekolah musuh bebuyutannya itu. Karena bel pulang baru saja berbunyi, kini tempat itu seperti lautan manusia berseragam putih abu-abu.
Ari memang sngaja memilih saat bubaran sekolah, karena lebih mudah baginya menyelinap di antara banyak orang. Beberapa gerobak penjual makanan berjajar di depan pagar, tidak jauh dari pintu gerbang.
Dengan langkah cepat Ari menyeberangi jalan lalu menyelinap masuk ke tenda penjual mi ayam, gerobak nomor dua dari pinggir. Dipilihnya tempat duduk di tepi bangku panjang. Pada mas penjual mi ayam yang dengan sgap menanyakan pesanan pada setiap orang yang memasuki tendanya, Ari memesan seporsi mi ayam dan segelas es the manis.
Dengan sikap santai, sesekali menghirup lalu mengaduk-aduk es the manisnya dengan sedotan tapi tanpa menyentuh mi ayamnya sama sekali, ari mengawasi pintu gerbang SMA Brawijaya dan keadaan sekitar dengan kewaspadaan yang bertolak belakang dengan sikap santai yang dia tunjukkan. Ingat dirinya pernah berlutut di pintu gebang itu membuat kedua rahang Ari mengeras tanpa sadar.
Tak lama orang yang dicarinya muncul. Sendirian. Sikap santai Ari langsung menghilang. Diawasinya Angga lekat-lekat. Pada salah seorang dari dua orang cewek yang duduk di depannya, yang sedang menunggu pesanan mi ayam mereka, Ari emmajukan duduknya lalu bicara dengan suara pelan.
“Tau cowok yang lagi berdiri di gerbang? Yang pake ransel biru tua.”
“Kak Angga.” Cewek itu mengangguk. Dari cara dia menyebut “Kak”, ketahuan kalau cewek di depannya itu pasti baru kelas sepuluh. Karena begitu naik kelas sebelas, biasanya cewek-cewek jadi kurang ajar dan ogah lagi memanggil senior cowok mereka dengan sebutan “Kakak”.
“Iya, dia. Suruh dia liat kea rah sini. Ntar gue bayarin mi ayam lo.”
Cewek itu berdiri lalu mengampiri Angga. Beberapa saat kemudian Angga menoleh. Ari menurunkan sedikit tudung jaketnya, sekadar agar Angga tahu siapa yang sedag mencarinya. Seketika Angga terpana.
Tanpa menunggu lagi, Ari bengkit berdiri. Dikeluarkannya selembar uang lima puluh ribuan lalu diletakkannya di bawah gelas es teh manis cewek yang disuruhnya itu. Kemudian dia berjalan keluar tenda.
“Thanks,” ucapnya pelan, saat bepapasan dengan cewek itu.
Ari berjalan mendekati Angga lalu berdiri di sebelahnya, bak dua orang kawan. Dibalasnya tatapan tajam Angga tepat di manik mata.
“Ada yang mau gue omongin,” ucapnya. Pelan tapi tandas, dan tanpa basa-basi. “Kami Cuma bertiga,” sambungnya.
Masih sambil menentang tatapan tajam Angga, Ari menaikkan kembali tudung jaketnya. Dan diikuti tatapan tajam Angga, diseberanginya kembali jalan raya di depannya menuju tempat kedua temannya menunggu.
Begitu melihat kedatangan Ari, Oji dan Ridho langsung siaga. Tak lama Angga muncul bersama Bram dan dua orang teman mereka yang lain. Keempatnya langsung menghampiri Ari cs. Mereka berhadapan. Tiga lawan empat.
Tak ada satu pun dari keempatnya yang membuka mulut. Namun, empat pasang mata menghunjam Ari dan kedua temannya seperti bara yang siap meletup. Tetapi ketiganya tetap tenang, karena mereka memegang kartu As yang bisa menjamin keamanan walaupun berada di kandang lawan. Ari maju dua langkah. Menempatkan diri lurus di depan Angga dan Bram.
“Anggita Prameswari. Kelas sepuluh tiga.”
Kalimat yang amat singkat, diucapka ari dengan intonasi datar cenderung santai, namun sanggup membuat muka Angga dan Bram seketika memucat. Bam menggeram dan sudah akan menerjang Ari. Angga buru-buru menahannya dengan mencekal satu bahunya.
Reaksi Bram yang begitu spontan dan jadi reaksi yang pertama, diam-diam mengejutkan Ari. Sepertinya ada dua kepentingan di sini. Persaudaraan milik Angga, dan hati milik Bram. Ari bersiul keras dalam hati. Si Anggita ini ternyata benar-benar umpan yang multiguna.
“Lo apain dia!?” desis Bram, yang masih berada dalam cekalan Angga.
“Gue apain?” Ari mengangkat kedua alisnya. Ditatapnya cowok yang sudah memaksanya berlutut itu, tepat di bola mata. Seketika Bram sadar, mulai detik ini bukan hanya Angga yang terlibat perang pribadi dengan Ari, dirinya telah berdiri di posisi yang sama. Ari tersenyum tipis. Puas saat mengetahui Bram telah menyadari situasinya.
“Baru gue liat aja, kayak apa tampangnya,” lanjut Ari, tetap dengan nada santai. “Sayangnya ada lagi yang tahu,” tamnbahnya kemudian. “Mereka menamakan diri The Scissors.”
Sepasang mata Angga dan Bram menyipit, menatap Ari dengan tanya. Tapi Ari tidak ingin bersusah payah menjelaskan, karena itu bukan problemnya.
“Yang perlu diketahui, gue nggak pernah tertarik untuk ikut campur urusan cewek. Tapi akan gue buat pengecualian. Untuk elo berdua.”
Cuma itu. Kemudian Ari balik badan dan berjalan kea rah motornya. Sambil menatap Angga dan Bram bergantian, cowok itu menstater motornya. Bersama Oji dan Ridho, dia tinggalkan tempat itu.
Angga dan ketiga temannya masih berdiri di tempat, bahkan beberapa saat setelah Ari dan kedua temannya hilang di ujung jalan. Kelamnya muka Angga dan amarah yang tergambar jelas di sana – kondisi yang sama juga melingkupi Bram – membuat kedua teman mereka enggan mengusik.
***
Gita memucat di sofa ruang tamunya. Di depannya Angga dan Bram berdiri dengan muka keruh.
“Kan gue udah bilang berkali-kali, jangan cerita ke siapapun. Jangan sampe ada yang tau kalo lo itu sepupu gue.”
Untuk ketiga kalinya Angga mengatakan kalimat yang sama dalam kurun waktu kurang dari sepuluh menit, sejak dia sampai di rumah Gita. Kalimat yang sarat ungkapan rasa marah dan kecewa. Dan yang terutama, Angga merasa dikhianati oleh sepupunya itu.
Gita masih terdiam. Dia tahu dia sudah melakukan kesalahan. Tapi dia hanya cerita ke satu orang. Sarah, teman semejanya. Pertama, karena dia yakin Sarah akan menjaga rahasianya. Kedua, Gita yakin di sinilah letak kesalahannya, dia bangga karena banyak cewek di sekolah yang bilang Angga itu cakep. Dan mereka menyayangkan statusnya yang sebagai musuh.
Malah Gita pernah nggak sengaja dengar langsung dari mulut Zhi – cewek paling cakep di kelas sepuluh. Zhi ngomong kalo dia naksir berat sama Angga. Sayangnya Zhi nggak tahu mesti nyari info tentang Angga ke mana.
Gara-gara denger Zhi ngomong begitu, Gita nggak bisa lagi menahan diri dan langsung cerita ke Sarah. Gita sama sekali nggak menyangka Sarah akan berkhianat.
“Jadi, sekarang gue mesti gimana?” tanyanya kemudian dengan suara lirih. Kedua matanya menatap Angga penuh penyesalan. Angga berdecak, lalu menghela napas dan mengembuskannya kuat-kuat.
“Lo nggak bisa apa-apa. Makanya gue larang lo cerita karena lo itu nggak bisa apa-apa. Yang ada malah bakalan kenapa-napa!” jawabnya dengan nada tinggi.
Bram langsung meletakkan tangan kirinya di satu bahu Angga untuk menenangkannya. Gita menundukkan kepalanya.
“Maaf,” ucap Gita dengan suara semakin lirih. Dengan suara terbata diceritakannya kenapa dia sampai nggak bisa menahan diri dan akhirnya cerita ke Sarah. Kedua bola mata Angga kontan melebar, tapi itu tidak menyebabkan kemarahannya jadi berkurang.
“Yang gue incer si Tari itu, tau!”
“Kak Ari juga naksir dia.”
“Makanya gue jadi kalah gara-gara identitas lo ketauan! Haaahh, sialan!” dengan geram Angga memukul dinding dengan kepalan tangan. Kembali Bram meletakkan satu tangannya di bahu Angga, kali ini dengan disertai sedikit tekanan. Angga menghela napas lalu menjatuhkan diri ke salah satu sofa.
“The Scissors itu apaan sih? Grup musik? Chearleaders?” tanyanya.
“Kok lo tau The Scissors?”
“Ari bilang mereka tau.”
“Iya!?” Gita terenyak. Mukanya kembali memucat. Dengan lemas kemudian dia ceritakan siapa itu The Scissors kepada Angga dan Bram. Begtu penuturannya selesai, ganti kedua cowok itu yang lemas. Mereka sadar, kini mereka dalam posisi yang membuat mereka tidak bisa memberikan banyak perlawanan.
“Tapi masa iya sih Kak Ari kayak gitu?” Gita masih sangsi.
“Kayak gitu gimana? Pengecut, maksud lo?” Angga menatap sepupunya dengan jengkel. “Nah lo liat aja buktinya. Sekarang dia bawa-bawa cewek untuk ngancem gue. Masih juga lo panggil dia Kak Ari. Di rumah nih.”
Gita menunduk mendapati muka marah Angga.
“Takutnya nanti di sekolah keceplosan manggil Ari-Ari doang. Gue bisa abis ntar.”
“Ck! Fuuuh!” Angga berdecak lalu menarik napas panjang. “Lo bikin kacau aja, Git!”
“Maaf. Gue juga bener-bener nggak nyangka Sarah bakalan tega kayak gini.”
“Lagian bokap-nyokap lo itu ada-ada aja. Mentang-mentang mereka alumni SMA Airlangga, ketemu cinta pertama di sana, nggak nyangka bisa pacaran awet sampe merit, trus semua anaknya diwajibin sekolah di sana juga,” sekarang Angga menyalahkan orangtua Anggita, yang notebene oom dan tantenya. “Padahal ada yang mengharapkan elo masuk sekolah gue, lebih daripada gue. Sangat-sangat mengharapkan malah. Sadar nggak sih lo?”
“Maksudnya?” Gita menatap Angga tak mengerti.
Angga tidak menjawab. Diliriknya Bram. Teman karibnya itu seketika memalingkan muka, menatap halaman lewat pintu yang terbuka. Kemudian cowok itu melangkah keluar.
“Kalo yang mau lo omongin udah selesai, bali deh,” ucap Bram tanpa menoleh. Angga menatap punggung Bram sambil menahan senyum.
“Maksudnya apa sih?” Gita mengulang pertanyaannya.
“Udahlah, nggak usah dibahas.” Angga bangkit berdiri. “Kami balik dulu.”
“Maaf ya, Ga?” sekali lagi Gita meminta maaf.
“Ati-ati aja lo di sekolah. Gue nggak bisa nolong,” pesan Angga sebelum pergi, tidak mengcuhkan permintaan maaf tu. Kemudian dia berjalan keluar, menyusul Bram yang saat itu sudah duduk di atas jok motornya.
Anggita mengikuti kepergian kedua cowok itu dengan tatapan mata dan kerut-kerut bingung di keningnya. Satu kalimat Angga meninggalkan tanda tanya yang menggantung di kepalanya.
***
Begitu Angga muncul keesokan paginya, Bram memojokkannya di salah satu sudut kelas dan langsung bertanya, “Lo yakin lo bener-bener naksir tu cewek?”
Angga tersentak, tapi buru-buru menetralkan kembali air mukanya sebelum Bram sempat menangkapnya.
“Emangnya kenapa?”
“Lo yakin lo naksir si Matahari itu, atau karena tu cewek diincer Ari?” Bram mengulang pertanyaannya.
Angga menentang dua manic hitam yang menatapnya lurus-lurus itu. Milik Bram. Teman terdekat yang diperolehnya saat mereka berdua sama-sama dibantai para senior saat MOS dulu. Namun, ternyata ada yang harus dia sembunyikan dari sahabatnya ini. Bahwa Tari sama sekali bukan soal hati. Tapi dendam.
Keduanya saling tatap. Lewat sorot mata, Angga berusaha keras meyakinkan Bram tentang perasaannya pada Tari. Sengaja dia menghindar untuk membuka mulut, agar tidak perlu dibohonginya Bram dengan terang-terangan.
Bram mengangguk. Percaya kesungguhan sorot kedua mata sahabatnya itu.
“Sementara lepasin dulu dia, Ga. Daripada sepupu lo kenapa-napa. Sama sekali bukan untuk kepentingan gue nih. Nanti kita pikirin cara lain.”
“Gue tau.” Angga mengangguk. Diam-diam merasa lega karena kebohongannya tidak terbaca.
“Nanti gue bantu.” Bram menepuk bahu Angga lalu balik badan, berjalan ke pojok belakang tempat cowok-cowok teman sekelas mereka duduk bergerombol dan mengobrol dengan riuh.
Angga menatap punggung yang menjauh itu. Dihelanya napas diam-diam. Dalam hati dia meminta maaf atas kebohongan yang terpaksa dia lakukan. Karena dia tahu persis sikap Bram yang anti melibatkan cewek dalam urusan cowok. Meskipun Ari melakukannya, itu tidak akan membuat Bram melakukan hal yang sama.
Sebenarnya prinsip yang sama juga dipegang Angga. Namun khusus untuk Ari, Angga tidak peduli cara apa pun walau harus melanggar prinsipnya sendiri. Demi seseorang yang pernah menangis di depannya dulu.
***
Siang itu Ari mengendarai motornya dengan benak penuh hal-hal yang berhubungan dengan kaputusan yang diambilnya, sehingga tidak disadarinya Angga muncul dari sebuah gang dan menguntit di belakangnya. Ketika Ari berbelok ke sebuah jalan kecil yang relative sepi, Angga langsung menambah kecepatan dan menjajari. Cowok itu memang sengaja memilih jalan kecil yang lengang untuk mengejar Ari, agar mereka berdua dan apa yang akan dilakukan nanti tidak menjadi perhatian.
Ari kaget saat mendadak muncul sebuah motor yang langsung mengambil posisi merapat di sebelah kanannya. Belum sempat dia berpikir, tiba-tiba pengendara motor itu menendang badan motornya. Seketika motor oleng hebat. Ari yang tidak berhasil menstabilkan motornya tak ayal terpelanting dari jok. Satu kondisi yang lebih baik karena kemudian motornya tetap melaju kencang tapi dengan posisi rebah. Meninggalkan jejak pecahan kaca akibat spion kiri menghantam aspal dengan keras, juga percikan bunga api akibat gesekan logam dengan aspal jalan.
Di tepi jalan tempat tubuhnya mendarat setelah terlempar dari atas motor, Ari tercengang-cengang menatap motornya yang akhirnya berhenti meluncur setelah menabrak sebatang pohon dengan keras. Cowok itu menegakkan punggungnya. Dia mengerang pelan karena benturan tubuhnya dengan tanah keras tadi menyebabkan sakit hebat di sekujur punggungnya.
Angga menepikan motornya tidak jauh dari tempat Ari terkapar. Dihampirinya cowok itu lalu berdiri tepat di depannya. Ari tidak terlalu kaget saat mengetahui siapa yang telah menghancurkan motornya dan membuatnya celaka.
Keduanya saling tatap. Angga mengulurkan kedua tangannya. Dicekalnya kerah kemeja Ari lalu dengan paksa ditariknya cowok itu sampai berdiri. Ari tidak berusaha melawan karena kemenangan sudah di tangannya. Di depannya ini Cuma cowok kalah yang sedang kalap. Malah diberinya musuhnya itu sebentuk senyum. Yang pasti senyum mengejek. Bukan di bibir, tapi di kedua mata. Membuat emosi Angga makin mendidih.
“Jangan bikin gue cedera. Nanti lo yang repot,” Ari memperingatkan dengan nada tenang.
“Ini urusan lo sama gue. Cuma antara kita berdua!” desis Angga dengan gigi gemeretak. “Jangan bawa-bawa cewek!”
“Gue juga nggak suka ngelibatin cewek. Info lo punya sepupu di kelas sepuluh bukan karena gue atau temen-temen gue yang nyari tau. Ada yang sukarela ngasih tau. Dan si informan ini cewek.”
“Gue udah tau!” potong Angga. “Temen semeja Gita. Tu cewek urusan gue!”
“Ck, fuuuuhh,” Ari berdecak lalu menarik napas dan mengembuskannya panjang-panjang. “Tadinya gue pikir elo tuh pinter lho,” ucapnya kemudian, dengan nada dibuat prihatin. “Ternyata! Pake otak lo dong. Jangan emosi doang. Lo pikir kalo lo aniaya temen semejanya yang jadi pengkhianat itu, terus nggak berimbas ke sepupu lo, gitu? Kalo merasa terancam, tu cewek jelas tambah ‘nyanyi’ kemana-mana, lagi.”
Angga agak tersentak begitu disadarkan akan kemungkinan itu.
“Lo pikir gue yang ngegosip ya, jadi cewek-cewek The Scissors itu pada tau?” Ari mengangkat kedua alisnya. “Bukan,” ucapnya kemudian dengan nada kalem. “Makanya gue cari elo, karena The Scissors itu geng cewek yang paling ditakutin di sekolah.”
“Waktu itu lo ngancem gue,” dengan nada tajam Angga mengingatkan.
“Terserah apa pendapat lo. Yang jelas, tu cewek udah ngomong dan lo udah nggak bisa apa-apa.”
Tersadar akan ketidakberdayaannya, dengan geram Angga mengetatkan cekalan jari-jarinya di kerah kemeja Ari.
“Jangan bikin gue cedera. Nanti elo yang repot.” Untuk kedua kalinya Ari mengingatkan, tentu saja dengan maksud mengejek sang lawan. Meskipun sebenarnya dia bisa melepaskan cekalan Angga itu dengan mudah, karena kedua tangannya bebas. Tapi mengejek musuh tetap lebih menyenangkan.
Angga melepaskan cekalannya dengan sentakan keras, membuat Ari terdorong mundur beberapa langkah.
Ari tersenyum tipis. Dia melangkah mendekati musuhnya, lalu berdiri tepat di hadapannya. Kali ini sikapnya serius. “Karena sekarang Cuma kita berdua, akan gue pertegas.” Ditatatapnya Angga tepat di manic mata. Sesaat keduanya saling tatap tanpa bicara. “Lepasin Tari!” ucap Ari kemudian. Tandas. “Seberapa aman sepupu lo, akan tergantung dari seberapa besar lo bisa ngelepas dia.”
Angga mengatupkan kedua rahangnya. Namun, kemarahan membuat gigi-giginya yang saling beradu itu mengeluarkan bunyi gemeletuk. Tiba-tiba saja Angga mengulurkan kedua tangannya. Kembali dicekalnya kerah kemeja Ari dengan kesepuluh jari, tapi Ari tetap berusaha tenang.
“Lo… bangsat!” desis Angga tepat di muka Ari. Kemudian dia lepaskan cekalannya. Dari awal cowok itu sudah tahu, pertemuan satu lawan satu ini tidak akan membuat embusan angin kemenangan berubah arah ke pihaknya. Keberadaan sepupunya di kandang lawan benar-benar sudah membuatnya lumpuh.
Sebe;um pergi, Angga melampiaskan kemarahannya dengan cara memukuli motor Ari dengan sebatang kayu yang tdiak sengaja dia temukan di pinggir jalan. Ari mendiamkannya karena kekalahan Angga sudah cukup telak. Dia nggak mau kemaruk, soalnya nanti malah kena karma.
Setelah puas menghancurkan spion yang masih utuh hingga sehancur pasangannya, membuat tangki bensin penyok dan beberapa jaruji roda bengkok, Angga pergi. Ari mengeluarkan ponsel dari saku celana panjangnya. Dikontaknya Raka, temannya yang punya bengkel motor.
“Halo, lo sibuk nggak, Ka?”
“Nggak sih.”
“Tolong jemput motor gue, man.”
“Kenapa emangnya?”
“Udah… jemput aja.”
“Oke deh. Dimana posisi lo?”
Ari menyebutkan lokasi tempatnya sekarang sedang berdiri. “Bawain gue smoke sekalian. Dekat-dekat sini nggak ada warung.”
“Oke.”
Dua puluh menit kemudian Raka datang dengan mengendarai pick-up. Cowok itu tercengang mendapati kondisi motor Ari.
“Kenapa motor lo?”
“Ditanrak delman,” jawab Ari kalem.
“Gue serius nih.” Raka menatapnya, agak kesal. Ari menyeringai geli, tapi tetap tidak berniat menceritakan.
“Bener. Delmannya ngebut, man. Kayaknya kudanya mantan kuda balap. Orang tadi gue sempet lihat, kursinya pake helm, man.”
Raka berdecak. Dia tidak bertanya lebih jauh, karena memang bukan sekali-dua kali motor Ari ringsek begini. Berdua mereka gotong motor itu dan meletakannya di bak belakang dengan hati-hati.
“Bisa cepet, kan?” tanya Ari sambil menutup pintu di sebelahnya. Raka mendengus. Diputrnya kunci kontak.
“Selalu!” Raka menggerutu.
Ari menyeringai. Ditepuknya satu bahu Raka. “Thanks.”
***
Gw otw ke rmh lo. 15 mnt lg smp.
Tari membaca SMS Angga itu dengan kening berkerut. Dan nggak sampai lima belas menit kemudian cowok itu sudah sampai di depan rumah Tari. Raut mukanya keruh.
“Jalan yuk?” ajak Angga langsung.
“Sekarang?” Tari menatapnya bingung.
“Iya,” Angga mengangguk. “Ada yang mau gue omongin. Penting. Gue yang maintain izin ke nyokap lo deh.”
“Nggak bisa diomongin di sini?”
“Nggak bisa!” Angga menggeleng tegas.
“Bentar deh, gue ganti baju dulu.”
“Gitu aja, Tar. Nggak pa-pa. kita nggak pergi jauh kok. Pake jaket aja biar nggak dingin.”
Masih dengan sepasang mata yang menatap Angga dengan sorot tak mengerti, Tari mengangguk. Kemudian dia balik badan dan berjalan ke dalam. Tak lama dia muncul kembali, kali ini dengan tubuh terbungkus jaket jins.
“Nyokap mana? Mau minta izin.:
“Tuh.” Tari menggerakkan dagunya ke belakang. Tak lama kemudian mama Tari muncul.
“Selamat malam, Tante,” Angga menganggukkan kepala dengan santun. “Mau minta izin ngajak Tari keluar sebentar.”
“Ke mana?” tanya mama Tari dengan kening sedikit mengerut.
“Cuma deket-deket sini aja kok, Tan.”
“Jangan lama-lama ya?”
“Iya, Tan,” Angga mengangguk, kali ini sambil tersenyum. “Yuk, Tar,” ajaknya.
“Pergi dulu ya, Ma,” sambil mengikuti langkah Angga, Tari menoleh sesaat ke arah mamanya. Wanita itu mengangguk.
Mereka memang tdiak pergi terlalu jauh. Angga menghentikan motornya di tepi lapangan rumput tidak jauh dari mulut kompleks tempat tinggal Tari. Sedikit tempat terbuka yang masih tersisa di Jakarta yang mulai dipenhi hutan beton. Angga turun dari motor, setelah sebelumnya dibantunya Tari turun. Kemudian cowok itu maju beberapa langkah, meninggalkan Tari di belakang.
Butuh beberapa saat keterdiaman sebelum Angga sanggup mengatakan, karena ini adalah kekalahannya. Mengatakan terus terang pada seseorang yang harus dia lepaskan akibat kekalahan itu jelas telah membuatnya merasa lebih kalah lagi. Apalagi orang itu adalah satu-satunya pion yang dia miliki.
Angga mengertakkan giginya tanpa sadar. Satu kemenangan kecil tapi langsung diikuti satu kekalahan telak.
Tari tidak ingin mengusik. Dia sudah menduga pasti ada apa-apa, karena selama di atas motor tadi Angga juga Cuma diam. Sama sekali nggak ngomong.
Entah berapa menit sudah terlewat, ketika akhirnya Angga membalikkan badan sambil menarik napas panjang-panjang. Kemudian dihampirinya Tari, yang masih berdiri diam di sebelah motornya.
Berdiri menjulang di hadapannya, Tari bisa melihat keruhnya wajah Angga meskipun suasana di sekeliling mereka tidak terlalu terang.
“Mulai besok, gue nggak bisa jemput elo lagi, Tar. Maaf…,” ucap Angga dengan suara berat.
Kedua mata Tari langsung melebar. Tapi dia tidak membuka mulut. Hanya kedua matanya yang menatap Angga dengan pertanyaan besar. Melihat ekspresi Tari, diam-diam Angga mengertakkan kedua rahangnya kuat-kuat.
“Gue punye sepupu di sekolah lo. Kelas sepuluh juga. Dan Ari tau.”
Kedua mata Tari kontan melebar maksimal. Info itu sangat singkat, tapi cewek itu langsung mengerti situasinya.
“Kak Ari pasti ngancem bakalan ngapa-ngapain sepupu lo. Iya, kan?” tanyanya. Angga tidak menjawab. Tari mengangguk-angguk. “Ya udah. Mulai besok gue berangkat sendiri aja. Siapa nama sepupu lo itu?”
“Anggita. Kelas sepuluh tiga.” Ketika mengatakan itu, tanpa sadar Angga memalingkan sedikit mukanya, tidak ingin menatap Tari.
Tari mengangguk-angguk lagi. “Ya udah deh. Daripada dia kenapa-napa, mulai besok mending gue berangkat sendiri aja.” Tari mengulangi keputusannya.
Namun, Angga tidak saja bisa menangkap nada sedih dalam suara Tari, tapi itu juga terlihat jelas dalam helaan napas dan kepala Tari yang kemudian menunduk. Angga jadi semakin memaki dirinya sendiri atas ketidakberdayannya dan untuk satu-satunya kesempatan balas dendam yang dimilikinya.
Tiba-tiba Angga meletakkan telapak tangan kanannya di puncak kepala Tari. Dengan sedikit penekanan, diusap-usapnya rambut cewek itu.
“Jangan lo kira gue akan diem aja…”
***
“Banci banget tu orang!”
“Sst! Jangan kenceng-kenceng!” Fio langsung menempelkan satu telunjuknya di bibir. Dilihatnya sekeliling. Untung kelas sudah sepi. Tinggal tersisa segelintir orang.
“Emangnya apa namanya, bawa-bawa cewek gitu, kalo bukan banci?” Tari menatap Fio dengan kedua alis terangkat tinggi.
“Iya sih. Tapi jangan kenceng-kenceng. Takutnya ada yang denger trus nyampe ke Kak Ari.”
“Gue nggak takut!” tandas Tari.
“Mending ke kantin aja yuk. Gue laper.” Fio buru-buru mengalihkan pembicaraan. Ditariknya Tari sampai berdiri lalu digandengnya ke luar kelas.
Sejak Angga terpaksa mundur karena keberadaan sepupunya terbongkar, Fio sadar Tari selalu berada dalam keadaan emosi yang siap meledak. Soalnya sejak itu kalimat “Ari banci!” sering banget keluar dari mulutnya.
Karena itu Fio sekarang jadi makin melekatkan diri ke Tari. Bukan apa-apa. Takut Tari kelepasan ngomong. Soalnya kalo sampai didenger Ari, yang ada pasti huru-hara lagi. Rame lagi. Heboh lagi.
Baru saja mereka melangkah ke luar kelas, Maya memanggil.
‘Tar, lo dipanggil Bu Pur tuh!”
“Ada apa sih?” Tari mengerutkan kening.
“Yeee, mana gue tau!” sambil meneruskan langkah Maya menjawab tak acuh.
Tari dan Fio balik badan, batal ke kantin. Sesampainya di depan ruang guru, Tari mengetuk pintu lalu masuk, sementara Fio menunggu di luar. Tak lama Tari keluar dengan tampang bingung.
“Ada apa Bu Pur manggil lo?” tanya Fio langsung.
“Itu dia. Bu Pur nggak manggil gue, tau nggak?”
“Lho kok?” seketika di kening Fio muncul lipatan-lipatan. Keduanya lalu meninggalkan ruang guru, berjalan dalam kebingungan.
“Waktu itu juga ada yang bilang gue dipanggil Bu Endang. Trus kapan itu, katanya gue dipanggil Pak Isman. Dan lo tau? Dua-duanya sama sekali nggak manggil gue. Aneh, kan? Pasti ada yang lagi ngisengin gue nih.”
“Apa jangan-jangan Maya salah tangkap? Jangan-jangan buat Utari?”
“Mungkin.” Tari mengangguk. “Mana guru-guru lagi pada makan siang, lagi. Malu-maluin aja. Gue sampe ditawarin makan tuh tadi.”
“Ngomongin makanan, gue jadi inget, gue laper. Yuk ah, ke kantin. Baliknya baru cari Maya.” Fio menggandeng tangan Tari, mengajaknya berjalan lebih cepat. Saat melewati kelas menuju kantin, Chiko, yang bersama beberapa anak cowok tetap tinggal di kelas, berseru memanggil Tari.
“Untung lo nggak ada, Tar. Tadi Kak Vero ke sini, nyariin elo.”
“Hah!?” Tari terperangah. “Kapan?”
“Tadi. Baru aja pergi.”
“Ngapain dia nyariin gue?” ditatapnya Chiko dengan cemas.
Chiko mengangkat bahu. “Nggak tau. Nggak bilang. Cuma nyari elo, trus tanya elo ke mana. Karena nggak tau, y ague bilang nggak tau.”
Tari menatap Fio. Kecemasan juga ketakutan membayang jelas di kedua matanya.
“Iya nih. Kayaknya ada yang aneh. Thanks, Chik.” Tari balik badan dan langsung berjalan ke luar kelas. Fio bergegas menyusul.
Sesampainya di kantin, Tari langsung menghampiri Maya yang duduk berkelompok bersama teman-teman cewek-cewek sekelas lainnya, asyik menyantap siomay. Tapi baru saja Tari siap buka mulut, Devi sudah lebih dulu meletakkan sendoknya lalu berseru pelan.
“Untung lo nggak ada, Tar. Tadi Kak Vero ke sini, nyariin elo!”
Seketika kedua mata Tari melebar.
“Dia ngomong apa gitu, nggak? Soalnya tadi Chiko bilang dia juga nyari gue ke kelas.”
“Mana kami tau? Dia Cuma nanya-nanya elo di mana. Maya yang jawab.”
“Iya, gue bilang aja elo lagi ke ruang guru, dipanggil Bu Pur,” ucap Maya, yang sama seperti semua teman cewek sekelas yang saat itu duduk berkelompok, menghentikan makannya begitu Tari muncul. Dicari-cari senior cewek yang paling beekuasa di sekolah jelas bukan masalah kecil. Dan itu membuat mereka jadi ingin tahu apa yang sedang terjadi.
“Gue jadi inget, kenapa gue nyari elo, May,” Tari tersadar. “Lo dikasih tau siapa sih, gue dicari Bu Pur?”
“Emang kenapa?” Maya balik bertanya.
“Bu Pur nggak manggil gue, tau. Boro-boro manggil. Inget gue juga nggak.”
“Masa sih? Kejem amat.”
“Maksudnya, hari ini kelas kita kan nggak ada kimia. Jadi dia juga nggak mikirin kelas kita, apalagi gue. Gitu lho. Jadi ngapain juga manggil-manggil?”
“Gue sih nggak ketemu Bu Pur langsung. Cuam tadi pas abis bayar SPP, gue disamperin cewek. Kayaknya anak kelas dua belas, soalnya dating dari arah gedung selatan. Dia bilang, ‘Lo temen sekelasnya Tari? Kasih tau Tari gih, dai dipanggil Bu Pur tuh. Sekarang.’ Gitu. Ya udah gue sampein ke elo.”
“Yang dia maksud Utari, kali?”
“Bukan. Orang dia bilang Tari yang rambutnya panjang. Yang suka pake aksesori oranye.”
“Tapi Bu Pur nggak manggil gue tuh.” Tari menatap Maya dengan bingung.
“Aneh.” Maya ikutan bingung. “Berarti tu cewek bohong dong? Tapi buat apa?”
“Ambil hikmahnya aja kalo gitu,” ucap Devi. “Gara-gara itu kan lo jadi nggak ketemu Kak Vero. Coba kalo ketemu, gue nggak tau deh lo bakalan diapain sama dia, Tar.”
“Iya! Bener! Untung lo nggak ketemu dia!” serentak seluruh teman Tari menganggukkan kepala.
Tari menatap Fio. Kebingungan semakin terlihat jelas di mukanya. Ada sesuatu yang aneh sedang terjadi.


Bab 7 (2)

Malamnya, Tari sedang duduk terdiam di depan meja belajarnya – masih memikirkan keanehan peristiwa siang tadi – saat ponselnya berdering. Seketika itu juga muka serius tapi muramnya berganti ceria saat mendapati nama yang muncul di layar. Angga.
“Hai, apa kabar?” sapa Angga begitu Tari mengangkat telepon.
“Baik.”
“Beneran baik?”
“Iya. Emang kenapa?”
“Syukur deh kalo baik. Gue kepikiran elo terus.”
“Emang kenapa?”
“Bego deh pertanyaannya,” Angga menggerutu, tapi dengan nada lembut. “Takut lo diapa-apain Ari dan gue nggak bisa apa-apa.”
“Oh, itu. Belom sih.”
“Kok belom? Mau?” suara Angga mendadak jadi tajam. Tari tersentak.
“Eh, bukan! Bukan!” ralatnya buru-buru. “Maksudnya beberapa hari iniaman-aman aja. Gue juga nggak ngeliat dia. Gitu lho.”
Terdengar helaan napas berat di seberang, kemudian hening.
“Ga?” panggil Tari hati-hati. “Gue nggak apa-apa kok. Baik-baik aja.”
“Tu baik-baik aja paling juga nggak bakalan lama.”
“Iya sih.”
“Tar, lo jangan terlalu frontal sama Ari, ya?
“Y ague liat-liat lah. Kalo dia kelewatan, ya gue lawan. Enak aja.”
Angga tertawa pelan.
“Janganlah. Sementara tahan diri dulu. Sampe gue dapet cara untuk bisa ngelawan dia lagi.”
“Trus gue suruh diem aja, gitu?”
“Jangan terlalu frontal. Bukan diem aja.”
“Kalo itu sih gue nggak bisa janji. Lo kan tau sendiri dia suka kelewatan.”
“Iya, gue tau,” suara Angga terdengar berat. Sesaat dia terdiam. Ketika kemudian kembali bicara, Tari menangkap sesal yang jelas dalam suaranya.
“Tar, gue minta maaf banget. Nggak bisa ngelindungin elo dari Ari. Dan terpaksa ngebiarin elo kayak gini, ngelawan dia sendirian.”
Tari terdiam. Tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Kalimat Angga itu membuatnya sedih. Angga menarik napas lalu mengembuskannya dengan cara seperti ingin melepaskan sesak.
“Kalo inget, gue jadi benci diri sendiri.”
“Nggak separah itu kok, Ga. Siapa pun yang ada di posisi lo pasti akan ngambil cara yang sama.”
“Apa pun alasannya, tetep aja judulnya gue ternyata nggak bisa, nggak mampu…”
Dua-duanya kemudian terdiam. Sampai Angga kembali buka suara, Tari tidak berhasil menemukan kalimat yang tepat untuk menghibur cowok itu, untuk mengatakan bahwa hal itu bukan apa-apa.
“Gita kirim salam buat elo. Dia juga minta maaf.”
“Oh…”
“Udah ketemu?”
“Nggak. Gue sengaja nggak pingin tau yang mana orangnya. Biar dia nggak tambah kenapa-napa.”
Angga menarik napas. “Tambah feeling guilty gue dengernya,” desahnya. “Baik-baik lo ya. Inget, kalo bisa lo hindarin konfrontasi sama Ari. Ya?”
“Iya.”
“Gue kuatir banget sama elo.”
“Iya,” kali ini kata itu keluar dari bibir Tari dengan suara lirih. Pembicaraan ini membuatnya nelangsa.
“Kalo ada apa-apa, cepet kasih kabar ke gue. Oke?”
“He-eh.”
“Ya udah. Met tidur. Jangan lupa jendela ditutup trus dikunci.”
“Iya.” Tari mengangguk lemah.
Angga menutup telepon. Tapi ternyata Tari kemudian mendapati pembicaraan itu membebani pikirannya. Yang mulanya hanya rasa nelangsa berubah jadi kemarahan pada keesokan paginya.
***
Keberadaan Anggita dan mundurnya Angga membuat Ari memutuskan untuk melupakan rencana awalnya. Tapi, niat itu seketika dia urungkan ketika pada suatu pagi, saat ruang kelasnya sudah setengah lebih terisi, Tari menerjang masuk dengan kemarahan yang memuncak yang membuatnya tidak lagi sadar, atau bisa jadi tidak peduli, di mana dia berada. Are yang didatangi Tari adalah area yang paling dihindari murid-murid kelas sepuluh.
Cewek itu langsung berjalan kea rah Ari dan berdiri tepat di depannya.
“Elo banci! Beraninya ngancem. Beraninya bawa-bawa cewek. Lo nggak berani kan, ngadepin Angga satu lawan satu? Dasar Banci!”
Setelah berondongan caci maki itu, Tari langsung balik badan dan berlari keluar, meninggalkan Ari dan semua orang yang berada di ruang kelas itu dalam ketersimaan hebat yang membuat mulut mereka menganga lebar.
“Gila tu cewek. Nyalinya oke juga,” suara Eki memecah keheningan. “Yang dia katain banci siapa sih? Elo, Ri?”
Ari menoleh lalu menyeringai. “Yoi, gue.”
“Wah!” Eki menggebrak meja. “Nggak bisa dibiarkan. Buktikan, man. Buktikam sama dia kalo lo bukan banci.”
Ari menyeringai lagi lalu kembali menghadapkan tubuhnya ke depan. Kemunculan Tari dan berondongan caci makinya lalu menjadi bahan pembicaraan seru di kelas.
Tiba-tiba Oji muncul di ambang pintu dan langsung berseru keras, “Ri, si Tari dicegat Vero tuh!”
Ari tersentak. Seketika dia melompat berdiri dan bergegas keluar. Seisi kelas langsung mengekor di belakangnya.
Beberapa saat sebelumnya Tari keluar dari kelas Ari dengan kondisi sangat marah. Cewek itu menyusuri koridor dengan langkah cepat, masih tidak menyadari bahwa dia sudah memasuki area yang paling ditakuti murid-murid kelas sepuluh. Sampai beberapa meter menjelang tangga turun, langkahnya terhenti. Enam cewek berdiri berjajar, menutupi lebar koridor dari ujung ke ujung. Tak mungkin dilalui tanpa menabrak, minimal salah satunya.
Vero dan kelima cewek anggota gengnya!
Seketika Tari memucat. Untuk pertama kalinya dia baru menyadari telah nekat memasuki area yang paling terlarang untuk murid-murid kelas sepuluh.
“Ck, ck, ck!” Vero melangkah mendekat sambil berdecak dan menggeleng-gelengkan kepala. “Ada ang udah gue sabar-sabarin, eh malah nyolot.”
“Ma… maaf, Kak,” ucap Tari terbata. Dia melangkah mundur, tapi hanya bisa satu langkah saja karena kalmia teman Vero langsung berdiri mengelilinginya.
Perhatian Vero lagsung tertuju pada pin matahari yang tersemat di dada kiri kemeja seragam Tari. Warnanya yang oraye menyala semakin menyulut kemarahannya yang bersumber dari rasa iri dan tidak bisa terima. Karena… akhirnya ada cewek yang diaksir Ari!
Kalo yang ditaksir Ari si Zhi, cewek paling cantik di kelas sepuluh, okelaaah. Atau Kathy, cewek paling cantik di kelas sebelas, yang waktu baru-baru muncul langsung bikin gempar para cowok, itu masih pantes. Tapi ini, si Tari gitu looh. She’s nobody. Yang kenal dia paling-paling teman-teman sekelasnya doang. Dan wali kelasnya. Dan guru-guru, itu juga kalo lagi ngabsen. Baru deh setelah diuber-uber Ari, ni cewek jadi ngetop abis. Siapa juga yang nggak jadi singit?
Udah gitu, ternyata alas an utama Ari suka sama ni cewek sepele banget. Cuma karena namanya sama. Matahari juga. That’s all! Nothing else!
Nyebelin banget, kan? Soalnya itu nggak fair. Sama sekali nggak adil. Karena perbandingan emak-emak nyentrik yang bakalan ngasih nama-nama aneh buat anaknya, disbanding emak-emak konvesional yang ngasih anaknya nama-nama lumrah, presentasenya bisa jadi satu banding sepuluh ribu. Itu kan curang banget!
“Maksud lo apa pake-pake begini? Ha!? Biar semua orang tau kalo nama lo sama nama Ari sama, gitu? Iya!?”
Tari tidak menjawab. Reputasi Vero membuatnya tahu dengan baik, diam dan tidak melawan adalah sikap yang paling tepat kalau ingin hari-hari ke depan aman.
“Kok diem!?” bentak Vero. Diraihnya sejumput rambut Tari dan disentaknya rambut itu ke belakang, memaksa Tari mendongak. “Bisu? Atau budek?”
Tari tetap diam. Ia menggigiti bibir, karena kelima jari Vero yang mencengkeram rambutnya membuat kulit kepalanya serasa mau lepas.
“Dan elo tau nggak sih, kalo init uh daerah kelas dua belas? Ha!?lo nggak bisa main nginjek ni tempat seenak jidat lo. Jangan karena lo diuer-uber Ari trus lo pikir lo bisa ganti nguber-nguber dia sampe ke sini! Emangnya ni sekolahan isinya Cuma kalian berdua? Yang lainnya patung, gitu!?
Tari tetap tak bersuara. Vero merendakan mukanya.
“Lo bikin mat ague sakit, tau!”
Kelima jarinya yang mencengkeram rambut Tari mengetat semakin kuat, membuat Tari menggigit bibirnya semakin kuat lagi. Pemandangan itulah yang tertangkap kedua mata Ari begitu dia keluar dari pintu kelas.
“VERO, LEPAS!!!” bentaknya seketika.
Gelegar suara Ari membuat tindakan Vero yang tadinya hanya diketahui mereka-mereka yang berada di sekitar lokasi kejadian sontak menarik perhatian siapa pun yang mendengar bentakan keras Ari barusan. Sosok-sosok berhamburan keluar dari pintu-pintu kelas. Sebagian hanya menatap Ari dengan sorot ingin tahu, sebagian lagi mengekor di belakangnya. Kelima anggota geng Vero langsung menjauh dari Tari.
“Lepas, Ve. Ari lagi ke sini!” salah seorang berseru pelan dengan nada mendesak. Tapi Vero, yang begitu focus dengan objek kemarahannya, tidak mendengar seruan itu.
“Vero! Lepas, bego! Cepetan!” ganti temannya yang lain memberikan peringatan, juga dengan nada mendesak.
“Gue bilang tarik tu cewek masuk toilet, biar aman. Vero keburu emosi sih,” anggota gengnya yang lain bergumam pelan. Tapi sedetik kemudian dia menjerit tertahan penuh kepanikan, karena ketika menoleh untuk mengetahui keberadaan Ari, dilihatnya cowok itu tengah menyeruak kerumunan dengan paksa. Tidak sampai lima belas meter di belakang mereka!
“Vero, lepasin tu cewek! Buruan! Ari udah deket tuuuh!”
Vero tetap tidak mengacuhkan peringatan teman-temannya. Akhirnya cewek yang tadi menjerit pelan bergegas menghampiri. Temannya yang berdiri di sebelah kanan langsung mengikuti. Kedunya berusaha keras menjauhkan Vero dari Tari. Secepat mungkin. Satu orang berusaha melepaskan cengkeraman kelima jari Vero di rambut Tari, sementara yang satunya bersiap-siap untuk langsung menyeretnya pergi begitu cengkeraman itu terlepas.
“Apaan sih!?”dengan kasar Vero menepis tangan kedua temannya.
“Ari ke sini, tolol!”
Vero menoleh kea rah yang ditunjuk salah satu temannya dengan dagu. Tapi dia tetap tidak peduli.
“Kalo kalian takut, ya udah. Kabur aja sana!”
Dua cewek itu jadi kesal dan akhirnya benar-benar meninggalkan Vero lalu bergabung dengan ketiga teman mereka yang masih berdiri di tempat semul, yang menyambut tatapan keduanya dengan pasrah.
Perhatian Vero kembali ke Tari, yang sedang menekan-nekan kepalanya dengan satu tangan, berusaha meredam nyeri akibat tindakan Vero tadi. Tiba-tiba Vero mengulurkan tangan kanannya dan merenggut pin matahari Tari dengan paksa. Sewaktu merenggut pin, Vero sengaja menarik kemeja seragam Tari kuat-kuat. Tak ayal kemeja itu tercabik, robek dalam helaian lebar, dan memperlihatkan apa yang tersembunyi di baliknya. Tari terkesiap. Buru-buru dia tegakkan helai kain yang terkulai itu. Tapi sedetik yang tersembunyi itu terpampang, kontan membuat mulut para cowok mengeluarkan siulan keras.
“Gila, seksi abis, maaan!” seseorang bahkan sampai menyerukan komentar.
Ari yang sampai tak lama kemudian terperangah. Kedua matanya sontak berkilat saat mendapati kondisi Tari. Cowok itu menyeruakkan tubuh tingginya di antara Vero dan Tari, membuat Vero terdorong mudur beberapa langkah. Sebisa mungkin di ditutupinya Tari dari pandangan para penonton yang berjubel. Kesepuluh jarinya melepas kancing-kancing kemejanya dengan cepat. Tapi tetap kurang cepat utnuk situasi yang sudah genting itu.
Tari kini tidak lagi hanya tertunduk dan pucat pasi. Selapis air bening mulai menggenangi kedua matanya. Memantulkan sinar matahari pagi. Menciptakan kerlip yang membuat para penonton yang punya akses menatapnya langsung tahu bahwa cewek itu menangis.
Ari mengatupkan kedua gerahamnya kuat-kuat. Menekan kemarahannya yang mulai menggelegak. Dilihatnya lapisan bening di kedua mata Tari mulai bergetar.
Akhirnya Ari membuka kemejanya dengan paksa. Tiga buah kancing yang masih terkait terenggut keras. Dua diantaranya melejit ke lantai, sementara satu sisanya tergantung-gantung pada untaian benang.
Segera diselubunginya Tari dengan kemejanya itu dan ditutupinya bagian depan tubuh cewek itu rapat-rapat. Ibu jarinya kemudian dengan cepat menghapus air mata Tari yang masih menggenangi pelupuk mata, belum mengalir turun. Seketika itu juga Ari membungkukkan tubuhnya dan berbisik lirih, “Jangan nangis di sini. Jangan tunjukin kekalahan lo.”
Dalam tunduknya Tari tertegun. Untuk perlindungan Ari ini, setelah rentetan caci maki yang baru sajadia muntahkan untuk cowok ini, kenapa ini balasannya?
Dengan paksa Tari menelan tangisnya. Dikerjapkannya kedua matanya. Deserahkannya sisa air matanya ke tangan Ari. Ari menghapus habis butiran-butiran bening itu lalu menegakkan tubuh. Dia menoleh. Pada Oji, yang bersama Ridho berdiri tidak jauh darinya, dimintanya bantuan.
“Tolong anter ke kelasnya, Ji.”
“Oke.” Oji mengangguk. Dihampirinya Tari. Diulurkannya tangan kirinya lalu dirangkulnya bahu cewek itu dan segera dibawanya pergi. Di sepanjang tangga turun, setelah melepaskan rangkulannya dari bahu Tari, tu cowok ngomel.
“Elo tuh ya, kelas sepuluh nekat. Pagi-pagi bikin rebut di kelas duabelas. Sebenernya elo tuh berani apa bego sih?”
Tari terdiam. Diikutinya langkah Oji dengan kepala tertunduk. Sampai di depan lab fisika, di latai bawah, Oji berhenti.
“Ganti baju dulu gih sana,” perinahnya.
“Di mana?” Tari memandang sekeliling.
“Ya di dalem lab laaaah. Emangnya lo mau ganti di sini? Di koridor, di depan gue? Gue sih nggak keberatan. Alhamdulillah banget malah.”
Tari langsung cemberut.
“Di sini?” ditunjuknya pintu di sebelah kirinya.
“Iya. Cepetan, mumpung nggak ada orang. Gue yang ngawasin.”
Tari memasuki ruang kosong di sebelahnya. Di balik pintu yang tertutup, buru-buru dia melepas baju seragamnya yang robek besar itu. Gabtinya, dipakainya kemeja seragam Ari yang sudah pasti terlalu besar untuk tubuhnya. Keka beberapa saat kemudian dia keluar, Oji tidak bisa menahan tawa gelinya.
“Mending kegedean daripada keliatan,” ucap Oji kalem, lalu melangkah menuju tikungan yang menuju koridor utama. Tari buru-buru mengikuti. Sampai di koridor utama, cewek itu menghentikan langkah.
“Smpe sini aja deh, Kak. Saya ke kelas sendiri aja.”
“Nggak pa-pa nih? Yakin?”
“Nggak pa-pa. Kan belom bel.”
“Bagus deh. Soalnya di atas lagi ada tontonan seru. Gue nggak mau ketinggalan.”
“Terima kasih ya, Kak Oji. Udah nganterin. Tolong bilangin Kak Ari juga, terima kasih bajunya.”
Oji mengibaskan tangan kirinya, tak menjawab. Cowok itu balik badan dan buru-buru berjalan kea rah tangga. Kemudian dia menghela napas panjang, balik badan, dan melangkah menuju kelas dengan lunglai.
***
Begitu Oji membawa Tari pergi, perhatian Ari langsung terarah penuh pada Vero. Dengan mengenakan kaus putih sebagai dalaman, postur tubuh Ari yang tinggi makin keliatan tegas.
Cowok itu melirik jam tangannya sekilas. Tujuh menit lagi bel masuk akan berbunyi. Tidak ada waktu lagi untuk memindahkan masalah ini ke dalam zona pridbadi. Terpaksa dia harus menuntaskan cewek ini di depan seluruh mata yang ada. Yang menyesaki koridor berbentuk L itu dari ujung ke ujung.
Siswa paling berkuasa di sekolah berhadapan dengan siswi yang juga punya status yang sama. Jelas tontonan yang seru banget!
Tenang dan tanpa sedikit pun membuka mulut, Ari menatap Vero. Pentolan The Scissors ini jenis cewek yang efisien blak-blakan. Vero pernah “menembak” Ari dulu, saat mereka masih berada dalam bulan-bulan awal kelas sepuluh. Usaha yang pertama. Jadi masih dalam bentuk yang umum dan sederhana. Verbal.
Usaha yang kedua, di pengujung kelas sepuluh, menjelang mereka naik kelas sebelas, mulai berbahaya. Vero mulai menggunakan cara licik. Trik basi dan kacangan yang sayangnya masih sangat efektif. Kalau saja tubuh Ari tidak akrab dengan alcohol sejak SMP, dipastikan pada saat itu dirinya akan tumbang dan masuk perangkap. Peristiwa itulah yang kemudian memicu Ari untuk mengambil sikap tegas pada Vero. Nyaris mempersetankan gender.
Perlahan Ari melangkah mendekati Vero. Berbeda dengan kelima anggota The Scissors yang lain, yang langsung memilih mundur dari arena ketegangan itu dan bergabung dalam kerumunan penonton yang berdri paling depan, Vero memilih tetap tegak di tempatnya. Meskipun Ari terlihat tenang, bahkan kedua matanya menyorotkan senyum, Vero amat sangat menyadari betapa berbahayanya cowok di depannya ini. Tapi dia tidak berniat mundur. Sama sekali!
“Lo pernah beberapa nyari dia ke kelasnya.”
Kalimat Ari itu pernyataan, bukan pertanyaan. Tapi Vero tetap menjawab.
“Iya!” ucapnya tegas. Ditantangnya kedua mata hitam di depannya. Ari mengangguk-angguk.
“Pernah mikir nggak, kenapa nggak pernah ketemu? Kenapa setiap kali lo dating tu cewek selalu pas lagi nggak ada?” Ari mengangkat kedua alis tinggi-tinggi. Vero tertegun.
“Elo…?”
“Yap!” Ari tersenyum tipis. “Gue diemin karena gue paham, itu emang perlu buat seorang Veronica. Tapi nggak bisa lebih dari itu.”
“Kenapa?” tantang Vero. “Dia masuk teritori gue!” tandasnya.
“Teritori yang mana?” Ari memasang tampang bingung. Di lingkaran penonton terdepan, Ridho ketawa pelan.
“Ini daerah gue. Dia nggak bisa seenaknya dating ke sini.”
“Gue baru tau ada ratu di sini…” Ari menoleh dan menatap Ridho. “Sejak kapan?”
“Sejak beliau menobatkan dirinya sendiri,” Ridho menjelaskan dengan gaya pelaporan resmi.
“Oooh, gitu?” Ari mengangguk-angguk.
Ucapan Ridho membuat para penonton yang bisa mendengar jadi tersenyum-senyum geli. Dan mereka jadi semakin tertarik lagi.
Ari mengembalikan tatapannya ke Vero. “Ini jalan umum. Siapa aja boleh lewat.”
“Tapi terlarang buat anak kelas sepuluh!” tandas Vero. “Ini daerah kelas dua belas. Kalo lo mau tucewek nggak gue colek, bikinin aja tangga khusus buat dia. Langsung ke kelaslo. Jangan lewat tangga yang udah ada. Karena itu bukan buat anak kelas sepuluh.”
“Ck, fuuuuh…” sambil menghadapkan tubuhnya ke arah Oji dan Ridho, Ari menarik napas lalu mengembuskannya kuat-kuat. “Betina satu ini emang hobi banget bikin gue naik darah.”
“Libas, Bos!”Oji yang belum lama kembali langsung memanasi. “Ini era emansipasi. Jadi legal.”
“Gitu, ya?” Ari tersenyum lebar. Tatapannya beralih ke Ridho, yang langsung membalas senyum Ari itu dengan seringai sinis.
Ridho melipat kedua tangannya di depan dada. “I’m blind and deaf,” ucapnya kalem.
“Sip!” Ari mengangguk.
Tiba-tiba cowok itu menghadapkan kembali tubuhnya ke Vero, dengan gerakan mendadak dan langsung maju selangkah. Vero terkesiap. Refleks, cewek itu bergerak mundur. Sayangnya, Vero hanya bisa mundur selangkah karena di belakangnya berdiri kokoh tembok kelas.
Tarikan napas tertahan terdengar serentak dari para penonton cewek. Sementara para penonton cowok menatap dengan sorot yang semakin ingin tahu.berharap sesuatu yang menarik yang akan terjadi.
Sekali lagi Ari membuat para penonton cewek jadi serentak menahan napas, ketika dia mengurangi jaraknya dengan Vero yang tinggal selangkah itu jadi setengahnya.
Tiba-tiba cowok itu merentangkan kedua lengannya. Disentuhnya dinding di belakang Vero dengan kedua telapak tangannya dan dikurungnya Vero dalam rentangan kedua lengannya.
Seketika sorak riuh membahana dari ujung ke ujung. Untuk kedua kalinya Vero terkesiap. Cewek itu melekatkan tubuhnya rapat-rapat di dinding belakangnya. Dia bisa merasakan degup jantungnya menggila.
Sebenarnya ini bisa diilang jawaban atas doa-doa histerisnya. Sedikit wujud nyata dari banyak angan-angan liarnya tentang Ari. Tapi tentu saja tidak daam konteks ini. Tidak degan nyala kemarahan di kedu mata hitam di depannya ini.
Vero berusaha menekan rasa takutnya karena ada terlalu banyak saksi mata. Dia nggak bisa membiarkan dirinya kalah. Kalaupun akhirnya harus kalah, paling nggak dia harus memberikan perlawanan sebelumnya.
“Gue nggak keliatan, ya? Hmm?” sepasang mata Ari melembut. Jenis kelembutan dengan ketajaman mata pisau di baliknya.
Matahari pagi menyoroti punggung cowok itu. Cahayanya yang mulai terasa panas membuat setiap pori-pori tubuh Ari yang tidak tertutup meneteskan butir keringat. Aroma maskulin, perpaduan satu merek parfum terkenal dan aroma alami yang menyeruak pelan. Tak ayal membangkitkan semua angan liar yang selama ini coba diberangus Vero dengan segala cara dan selalu saja… gagal!
Angan liar di benak Vero menari gila. Memaksa keluar. Berteriak menuntut penuntasan.
Sialan banget ni cowok. Kenapa sih dia keren banget!? Pake lepas kemeja segala, lagi! Vero memaki dalam hati.
“Gue nggak keliatan?” Ari mengulangi pertanyaannya. Tidak menyadari cewek yang berada dalam rentangan dua lengannya itu sedang berperang melawan dirinya sendiri.
Beberapa saat kemudian Vero berhasil memaki dirinya sendiri agar sadar bahwa situasi saat ini sama sekali bukan untuk para angan itu mewujud jadi kenyataan. Justru sebaliknya, kemungkinan seumur hidup akan tetap jadi angan-angan!
Diangkatnya wajah dan ditentangnya kedua mata Ari yang begitu dekat. Bahkan setiap pembuluh darah tipis di mata cowok itu bisa terlihat jelas.
“Apa sih cakepnya tu cewek? Kecuali dadanya. Okelah, kalo itu gue harus ngakuin.”
“Gitu, ya?” Ari tersenyum, terlihat geli.
Untuk alasan yang tidak diketahui Vero, Ari bersiul keras dalam hati mendengar kalimatnya tadi. Karena dengan begitu ia bisa langsung “menghabisi” cewek ini tanpa perlu memperlama acara bincang-bincang mereka yang disaksikan begitu banyak penonton ini.
“Terus terang gue belom pernah ngeliat langsung, meskipun itu amat sangat gue inginkan. Yah, sementara dalam imajinasi aja dulu. Soalnya kalo mau maksa ngeliat, tu cewek terpaksa harus gue iket dulu.”
Kalimat panjang Ari langsung membuat para penonton berseru riuh. Tiba-tiba cowok itu merendahkan mukanya, membuat Vero seketika memundurkan kepalanya sampai menyentuh dinding. Ketika kemudian bicara, Ari melirihkan suaranya. Sengaja, karena dia ingin hanya cewek dalam rentangan kedua lengannya ini yang bisa mendengarnya.
“Justru anatomi lo yang gue tau. Di mana aja ada tahi lalat, tanda lahir ada di mana, bekas cacar di mana. Ada tato juga, ya? Keren.”
Ari bicara dengan intonasi biasa, bahkan bisa dibilang santai, tapi efek kalimatnya itu bena-benar dahsyat. Vero membeku. Pucat pasi. Putih seputih-putihnya.
“Lo… tau dari siapa!?” desisnya dengan suara tercekik.
“Dari siapa?” Ari berlagak heran. “Berarti lebih dari satu dong? Ck,ck,ck. Elo ternyata lebih nakal dari yang gue kira ya? Dari para… saksi matalah, sebut aja begitu. Soalnya kalo gue bilang ‘lawan tanding’, kesannya kok jadi kayak atlet.”
Vero melunglai. Dia merasa seakan seluruh tulang di tubuhnya menghilang. Tiba-tiba saja dia merasa begitu kedinginan.
“Jadi...,” bisik Ari, “lo mau ini tetep jadi rahasia gue, atau lo mau gue ‘nyanyi’? masalahnya, suara gue fals.”
Vero tidak menjawab. Kedua matanya menatap Ari nanar.
“Oke, deal!” Ari mengangguk. Kedua matanya kemudian menyapu keseluruhan wajah Vero. “Muka lo pucet banget,” ucapnya. “Mau gue cover-in?” tawarnya. “Soalnya ada banyak saksi mata nih.”
Satu bentuk empati yang aneh, kontradiktif. Karena jelas-jelas Ari sendiri yang sudah menyayatkan mata pisau yang benar-benar tajam ke pentolan The Scissors itu.
Ari melepaskan kurungan rentangan kedua lengannya.
“Jadi...,” katanya dengan suara yang kembali biasa, sambil meraih satu tangan Vero yang sedari tadi menggenggam pin matahari milik Tari. Bisa dirasakannya genggaman kelima jari itu jadi begitu lemah, “… jangan ikut campur urusan gue, supaya gue juga nggak ikut campur urusan lo. Karena ada beberapa variasi penggunaan gunting yang elo nggak tau.” Ari mengangkat kedua alisnya, tersenyum tipis. “Gue tau lo pasti ngerti, karena kita berdua sama-sama orang jahat…”
Kalimat Ari itu membuat para penonton yang bisa mendengar jadi ketawa geli. Ari balik badan. Diapit kedua sobatnya di kiri-kanan, ditinggalkannya tempat itu. Tak lama bel berbunyi. Para penonton membubarkan diri, masuk ke kelas masing-masing, sambil ribut bicara satu dengan yang lain. Mereka menerka-nerka apa yang dikatakan Ari pada Vero sampai cewek yang paling berkuasa di sekolah itu seketika takluk.
***
Ada yang dilihat Ari namun tidak dilihat orang lain. Reaksi Tari adalah luka serius. Sakit hati yang murni. Dan seperti yang Ari cemaskan – meskipun kini setiap kali mereka bertemu, kadang berpapasan, Tari tidak lagi menghindar – jarak yang terentang sebenarnya justru semakin panjang.
Kenekatan Tari muncul di kelasnya sudah merupakan bukti nyata. Situasi mungkin telah berkembang ke arah yang sama sekali tidak diduganya. Untuk memastikan, suatu pagi ditunggunya kedatangan cewek itu.
Dengan punggung bersandar di dinding pos sekuriti, kedua mata Ari terus tertancap ke pintu gerbang. Beberapa teman sekelasnya – termasuk Oji, Ridho, dan Eki, yang berharap bakalan ada kejadian heboh – berdiri tidak jauh dari Ari.
Ketika Tari muncul, mereka langsung ikut menghadang berdiri di belakang sang pentolan sekolah. Langkah Tari seketika terhenti. Dengan waspada ditatapnya Ari dan teman-temannya. Dua petugas sekuriti yang berjaga hanya bisa menatap tak berdaya. Dengan segera terbentuk lingkaran manusia di sekitar mereka, menatap dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu.
Sama sekali tidak peduli dengan situasi di sekelilingnya, Ari melangkah mendekati Tari. Kedua matanya menatap lurus.
“Sekali lagi lo bilang gue banci, akan gue paksain pembuktiannya ke elo nanti!”
Bisikan-bisikan lirih tapi sarat keterkejutan seketika mendengung dari lingkaran manusia di sekitar mereka. Tari tersentak. Ditatapnya Ari dengan tanya dan bingung di kedua matanya. Hari itu, ketika cowok ini melindunginya, anggapan bahwa cowok ini jahat telah runtuh. Tapi sekarang, cowok ini ternyata telah kembali seperti semula.
Tari merapatkan kedua gerahamnya dengan geram. Kedua matanya yang menentang Ari perlahan menyipit. Jangan-jangan dia terlalu cepat menarik kesimpulan. Mungkin perlindungan itu hanya bentuk dari rasa tanggung jawab, karena hari itu Tari memang nekat memasuki area terlarang untuk kelas sepuluh dan sebelas, hanya untuk mencari cowok ini.
“Gue nggak takut!” tandasnya. “Itu berarti lo emang banci!”
Jawaban Tari kontan membuat semuanya ternganga. Kemudian cewek itu meneruskan langkah. Di depan teman-teman Ari yang menghalangi jalan, dia berhenti.
“Minggir lo semua!” bentaknya. Eki langsung melompat ke samping dengan gaya dibuat-buat.
“Iya, Non. Duilee, galak amat.”
Lingkaran siswa yang menonton mengikuti kepergian Tari dengan multu ternganga. Sementara senyum-senyum geli tercetak di bibir teman-teman Ari.
Dengan kedua mata yang terus mengikuti kepergian Tari, Ari mengangguk-angguk. Oke! Sekarang situasinya sudah sangat jelas. Tidak ada jalan lain. Dia harus kembali ke rencana awal.


Bab 8 

Tari baru saja menemukan bangku yang dekat jendela saat ponselnya berdering.
“Tar, sori gue rada telat.Emak gue minta tolong di temenin belanja bulanan,” Fio langsung nyerocos begitu Tari mengnagkat telepon.
“Yah, elo.Kok baru telepon sekarang sih? Gue udah di bus nih.”
“Sori.Abis emak gue ngomongnya juga mendadak.Barusan aja.Cuma belanja di minimarket pinggir jalan depan kok. Paling gue Cuma telat setengah jam.Orang belanjanya nggak banyak.Ntar lo muter-muter aja dulu deh.Window shopping gitu.”
“Tapi gue udah laper banget nih.”
“Ya elo makan apa dulu kek gitu. Yang enteng-enteng, buat ganjel perut.”
“Yaudah deh.Beneran lo nggak lama, ya?”
“Iya.Ntar begitu kelar belanja, nganter nyokap sampe rumah dulu, trus gue langsung cabut.Gue udah rapi kok, tinggal jalan.Oke ya? Daaah!”
Tari memasukkan ponselnya ke dalam tas, mengeluarkan sebuah komik dan langsung asyik membaca. Sampai di mal tujuan, cewek itu memasuki pintu utama dan hanya melihat sekilas ke deretan toko di depannya.Sebenarnya ini mal favoritnya karena banyak took pernak-pernik lucu di sini.Tapi kalau perut sedang melilit kelaparan, window shopping jadi nggak menarik sama sekali. Pernak-pernik yang sekilas tadi dilihatnya juga jadi nggak keliatan lucu lagi.
AkhirnyaTari melangkah langsung menuju foodcourt. Pilihannya jatuh pada es campur. Selain bisa menghilangkan haus, isinya juga bisa mengganjal perut untuk sementara waktu.
Dengan nampan di tangan Tari memandang berkeliling, mencari-cari tempat yang enak. Saat itulah dilihatnya Ari berjalan memasuki foodcourt lalu berdiri di depan konter makanan yang paling pinggir, dekat pintu masuk.
“Aduh!” desis Tari, langsung bĂȘte. “Tu orang kayaknya emang kutukan buat gue deh. Bisa-bisanya dia ada di sini juga.Atau jangan-jangan dia nguntit gue dari rumah ya?”
Tari sudah akan meletakkan es campurnya begitu saja di salah satu meja, lalu pergi. Tapi sedetik kemudian dia batalkan.
Ngapain juga kabur? Ntar dikiranya gue takut, lagi, sama dia, ucap Tari dalam hati. Kemudian pandangannya turun ke arah es campur di atas nampan di tangannya. Secara ni es campur ternyata mahal juga. Sayang banget kalo gue sedekahin, batinnya lagi.
Akhirnya Tari memilih meja yang terjauh dari pintu masuk dan duduk membelakangi Ari. Dikeluarkannya ponsel dari tas dan langsung diteleponnya Fio.
“Fi, gue di foodcourt ya.Tebak ada siapa?”
“Siapa?”
“Ari!”
“Hah!? Ngapain dia di situ?”
“Ya makanlaah.Abis ini dia mau ngapain, mana gue tau?”
“Sama siapa dia?”
“Sendiri.”
“Tar, jangan ribut di tempat umum ya,” Fio langsung cemas.
“Ah, bodo! Tergantung dia. Kalo dia cari gara-gara, berantem berantem deh.Bodo amat ditontonin banyak orang!” Tari langsung emosi.
“Aduh, bakalan gawat nih kayaknya,” desis Fio. “Gue ke situ secepetnya deh!”
“Ya emang kudu gitu, lagi. Ntar ketinggalan tontonan menarik lo.”
“Mak...” Fio urung melanjutkan kalimatnya, sadar bakalan sia-sia. “Ya udah deh. Gue otw secepetnya.” Buru-buru ditutupnya telepon, kemudian berlari keluar kamar. “Mamaaaah! Katanya mau belanja? Ayo buruaaan!”
***
Tari mencoba menikmati es campurnya dengan sikap seolah nggak ada apa-apa. Tapi gagal. Cewek itu lalu melirik ke belakang, mencari-cari di mana Ari duduk. Lumayan jauh sebenarnya. Berjarak lima meja dari tempatnya. Tapi tetap saja Tari merasa seperti ada monster di belakangnya.
Akhirnya tu cewek jadi sebentar-sebentar melirik ke belakang. Sampai beberapa saat kemudian keduanya beradu pandang. Tari tercekat. Dia ingin berpaling, tapi kedua mata tajam itu mengunci tatapannya. Kemudian Ari tersenyum. Itu bukan senyum Ari yang biasanya. Itu juga bukan tatap matanya yang biasa. Tiba-tiba Ari berdiri. Cowok itu mengangkat nampan makanannya dari atas meja lalu berjalan ke arah meja Tari.
“Ck!” Tari berdecak pelan. Sikap duduknya langsung berubah siaga. “Lo mau ngajak ribut lagi? Gue layanin!” desisnya. Kedua matanya megikuti Ari dengan waspada. Sampai cowok itu berdiri di hadapannya.
“Hai.”
Mata yang menatap lembut, senyum yang ramah, cara bicara dan suara yang juga lembut membuat Tari ternganga. Tapi sedetik berikutnya, keheranannya menghilang. Pasti ni orang lagi akting!
Sosok di depannya terlihat geli melihat muka galak yang dia hadapi.
“Boleh gue duduk sini?”
“Gue lagi nunggu Fio.”
“Sebentar aja. Nanti kalo Fio dateng, gue pergi.”
Tanpa menunggu persetujuan, Ari meletakkan nampan makanannya di meja, lalu menarik ke belakang salah satu kursi di depan Tari. Kemudian ditatapnya Tari. Cewek itu balas menatap dengan sorot tajam dan raut tegang bercampur cemberut. Seperti sedang bersiap-siap menghadapi peperangan.
Ari tersenyum, terlihat geli. “Sori,” ucapnya dengan nada meminta maaf. “Emang kita pernah kenal, ya?”
“Ha?” Tari ternganga, kedua matanya seketika membulat lebar.
“Kita pernah kenal?” ulang Ari halus.
Tari mengerjapkan kedua matanya dan mengucapkan keheranannya dalam hati. Wah, ni cowok bener-bener nggak jelas. Sekarang dia berlagak kena amnesia. Atau jangan-jangan, pas lewat deket pohon paling gede di tempat parkir mal, yang katanya ada dedemitnya itu, dia nggak ngomong permisi. Makanya sekarang jadi hilang ingatan gini. Ngak ngenalin muka orang yang ekmaren-kemaren sering dia ajak berantem.
“Gue tau!” Ari menjetikkan jarinya lalu tersenyum lebar. Kemudian senyum itu menghilang dan sikapnya berubah serius. Dia majukan duduknya dan ditatapnya Tari lurus-lurus.
“Lo pikir gue Ari, ya? Lo salah. Gue Ata.”
Ucapannya membuat keduqa alis Tari terangkat tinggi dan kedua matanya membulat. Ya ampun! Ni orang amnesia betulan. Gue kirain akting! Seru Tari dalam hati.
“Kakak maksudnya apa sih? Gue lagi males berantem nih. Cukup di sekolah aja deh.”
Ganti cowok di depannya, yang baru saja mengaku bernama Ata, yang mengangkat alis tinggi-tinggi. Cowok itu tampak geli dipanggil “kakak”. Kemudian dia mengeluarkan dompet dari saku belakang celana jinsnya. Dikeluarkannya empat lembar foto, lalu diletakannya berjajar di depan Tari.
“Kami kembar. Gue dan Ari.”
Kalimat itu pendek, tapi sungguh-sungguh mengejutkan, karena membuat Tari seketika membeku. Menatap keempat lembar foto di depannya dalam kekagetan yang luar biasa.
Di keempat lembar kertas itu ada foto Ari dan... Ari juga!
Benar-benar mirip. Seperti benda dan refleksinya di cermin, ata terpaksa membiarkan cewek di depannya dijerat shock hebat. Karena memang itulah fakta yang sebenarnya. Beberapa saat kemudian Tari mengangkat kepala dan bertanya dengan suara terbata.
“Kak Ari.... yang mana?”
“Yang jelas bukan yang sekarang lagi duduk di depan lo,” Ata mencoba bercanda, tapi kemudian sadar waktunya tidak tepat. “Sori,” ucapnya halus. “Yang ini. Yang ini. Yang ini, dan yang ini.” Ditunjuknya satu sosok di tiap lembar.
Tari menundukkan kepala. Mengamati lagi foto-foto itu dengan seksama. “Mirip banget,” desahnya takjub.
“Makanya gue heran. Kayaknya kita nggak kenal, tapi cara lo ngeliatin gue kok kayaknya kita musuh bebuyutan.”
“Maaf. Maaf. Abis gue kirain, Kakak tuh Kak Ari,” Tari langsung merasa nggak enak. Untuk pertama kalinya cewek itu memunculkan senyumnya. Senyum malu.
“nggak pa-pa. Gue udah ngira.” Ata tersenyum lunak. “Tu anak gimana kabanya?”
“Maksudnya?” Tari batal mengamati lagi foto-foto di depannya. Ditatapnya Ata dengan kening berkerut.
“Yang bermasalah sama dia bukan lo aja, lagi. Gue juga. Kami udah lama nggak ketemu. Lama banget.”
“Kenapa?”
Ata menghela napas. “Yaah...”
Dan terkuaklah satu rahasia. Rahasia kelam yang saat dituturkan sanggup menenggelamkan Tari dalam ketercengangan total. Menyeretnya ke masa lalu Ari dan Ata yang menyakitkan.
Ari dan Ata. Kembar identik yang benar-benar mirip. Begitu sama dan serupanya mereka berdua, hingga ketika kedua orangtua mereka bercerai, keidentikan itu menjadi seperti sebuah keuntungan. Masing-masing orangtua mendapatkan seorang anak, tanpa harus mengalami dilema seberat para orangtua yang tidak punya anak dengan muka sama dan serupa.
Namun, mereka melupakan kenyataan bahwa kedua anak itu punya banyak hal yang sama sekali tidak identik. Hati, pikiran, perasaan, sifat, dan sikap. Ari yang lebih dekat dengan sang mama justru terpilih untuk ikut bersama sang papa. Keputusan egois khas orangtua itu kemudia menciptakan kemarahan dan luka untuk kedua kembar mereka, yang tidak juga mengering sampai hari ini.
Ketika dipisahkan dengan paksa sembilan tahun lalu, umur keduanya baru delapan tahun.
Tari mengerti kini, kenapa Ari tercatat sebagai murid yang paling bermasalah. Paling banyak membuat pelanggaran. Paling sering mendapat teguran, peringatan, bahkan kemarahan dari para guru, serta terdepan untuk urusan menciptakan huru-hara dan keonaran.
Penuturan itu hanya garis besar dari keseluruhan kisah yang pasti sangat rumit. Namun Tari sama sekali tidak bertanya. Selain karena fakta itu terlalu mengejutkan, juga karena dilihatnya Ata sangat tertekan saat menceritakan semuanya. Kecewa, sedih, marah, dan seribu ekspresi luka yang lain muncul bergantian dan terambar jelas di wajah dan gerak tubuhnya. Bahkan ketika penuturannya usai, cowok itu menundukkan kepala cukup lama untuk menormalkan kembali emosinya. Menciptakan keheningan yang membuat Tari merasa nelangsa.
“Kok Kakak segini gampang nyeritain semuanya ke gue?” tanya Tari ebberapa saat kemudian dengan nada sangat hati-hati.
“Gue lost contact sama Ari. Dia udah ganti nomor HP. Gue datengin rumahnya, ternyata dia juga udah pindah. Dan gue nggak tau dia masuk SMA mana.”
“Ng... kenapa ngak hubungin bapaknya Kakak aja?” Tari bertanya dengan nada lebih hati-hati lagi. Benar saja. Raut muka Ata langsung mengeras.
“Gue nggak peduli sama dia. Urusan gue Cuma sama sodara kembar gue!” tandasnya.
“Eh, maaf. Maaf...” Tari buru-buru menangkupkan kedua tangannya di depan dada, meminta maaf. “Berarti lost contact-nya udah lama, ya?”
“Dua tahun lebih. Hampir dua setengah tahun lah. Makanya begitu gue liat lo tadi, yang segitu bencinya ngeliat gue sementara gue ngerasa kita nggak pernah kenal, gue langsung tau lo pasti ngira gue Ari.”
“Iya sih.” Tari mengangguk. “Dia kakak kelas gue.”
“Akhirnya. Gue temuin juga tu anak.” Ata menarik napas panjang-panjang lalu mengembuskannya dengan perasaan lega. Tiba-tiba cowok itu memajukan duduknya dan menegakkan punggungnya. “Gimana kabarnya?”
“Mmm... gimana ya?” Tari bingung menjawab.
“Kenapa? Dia bermasalah?”
“Yaaah, gitu deh.”“Kalo itu sih gue udah tau. Di SMP pun dia udah jadi biang kerok.”
“Oh, gitu!?” Tari mengangkat kedua alisnya. Agak kaget dengan info itu. “Kalian satu sekolah?”
“Nggak. Gue tinggal di Bogor. Ini lagi main ke Jakarta aja. Udah lama nggak ke sini soalnya.”
“Oooh. Kirain.”
“Jadi gitu, ya?” Ata menghela napas. “Lo punya nomor teleponnya?”
“Pengennya sih nggak punya.” Nada bicar Tari langsung meninggi.
Ata menatapnya, tersenyum geli. “Lo diapain sama dia?”
Tari berdecak, lalu menghela napas. “Nggak usah dibahas deh. Bikin emosi. Nomornya ada, tapi gue lupa. Soalnya tiap abis terima SMS dari dia, langsung gue apus. Sering nggak pake gue baca dulu malah. Missed call- missed call-nya juga langsung gue apus. Pokoknya gue nggak mau HP gue terkontaminasi sama nomor dia deh.”
Penjelasan Tari yang berapi-api kembali membuat Ata tersenyum geli, kali ini dia malah nyaris ketawa.
“Oke, nggak pa-pa. gue minta maaf. Dari reaksi lo, kayaknya Ari itu sejenis setan buat elo, ya?”
“Waah, kalo ada sebutan yang lebih sadis lagi daripada itu, gue bahagia banget!”
Kali ini Ata benar-benar ketawa.
“Ini nomor HP gue.” Ata menuliskan sederet angka di selembar tisu lalu meletakkan tisu itu di depan Tari. “Barangkali nanti lo pengen ngobrol sama gue. Sekalian gue mau minta tolong. Soal Ari. Gue nggak minta lo pantau dia. Barangkali aja nanti ada sesuatu yang berhubungan sama dia yang pengen lo omongin sama gue. Itu aja.”
“Kalo Cuma itu sih, oke.” Tari mengangguk.
“Emang lo diapain sih sama Ari?”
“Ih, apaan sih?” Tari langsung jadi kesal lagi. “Mau dibantuin nggak?”
‘Iya, iya. Maaf.” Ata menyeringai, lalu tertawa geli saat dilihatnya ekspresi muka Tari. “Kayaknya apa yang udah dia bikin lumayan parah, ya? Mau cerita?”
Tari melotot.
“Nih, ambil lagi nomor teleponnya deh.” Diletakannya tisu bertuliskan nomor telepon Ata ke depan pemiliknya.
“Sori. Sori. Segitu emosinya elo kalo udah nyangkut nama Ari, ya?” ucap Ata buru-buru. Dikembalikannya tisu itu ke depan Tari. “Sori, nggak lagi. Janji. Tapi gue jadi inget, kita udah ngobrol dari tadi tapi gue nggak tau nama lo. Siapa?”
“Iya, ya?” Tari tersadar. “TTari. Matahari.”
Kedua bola mata Ata kontan melebar. “Siapa!?” tanyanya tegang.
“Matahari. Aneh, ya? Banyak yang bilang gitu sih. Banyak banget malah. Dari gue masih kecil.”
“Lengkapnya Matahari siapa?”
“Jingga Matahari. Tambah aneh, ya? Boleh ngeledekin kok. Gue udah kebal.”
Namun, bukan itu yang dilihat Tari. Wajah Ata memucat. Senyum dan semua keramahannya lenyap. Kedua matanya menatap Tari dengan kekagetan luar biasa.
“Kakak kenapa sih?” Tanya Tari cemas.
“Lo tau nama lengkap Ari? Nama lengkap gue?” ucap Ata dengan suara tercekat.
“Kalo Kak Ari sih gue tau. Matahari Senja. Gara-gara itu dia bilang kami tuh benda dan bayangan. Jadi gue nggak boleh sama siapa-siapa. Bolehnya Cuma sama dia. Enak aja! Matahari itu Cuma ada satu kok. Kalaupun ada dua, berarti beda tata surya. Malah nggak bakalan ketemu.”
“Lo tau nama gue?” tanya Ata dengan suara kering.
“Ya nggak lah. Kita kan baru aja ketemu.”
“Matahari Jingga!”
Tari sontak ternganga. Kedua matanya yang menatap Ata terbelalak maksimal. Speachless!
“Gila, ya?” desis Ata. Kepalanya menggeleng-geleng. “Ternyata kita punya nama yang sama. Sekarang gue ngerti kenapa elo bermasalah sama Ari. Apa pun yang udah dia bikin, pasti karena nama elo sama dengan nama gue.”
“Mungkin juga,” ucap Tari pelan.
“Lo lahir kapan? Pagi? Sore?”
“Sore.”
Ata mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Kepalanya menggeleng-geleng lagi, sementara kedua matanya menatap Tari lurus-lurus.
“Gila!” desisnya. “Kami juga lahir sore. Jingga di nama gue diambil dari warna matahari sore, matahari senja. Matahari yang mau tenggelam.”
“Tadinya nama gue Senja Matahari, tapi Mama nggak setuju. Katanya kayak nama kereta. Terus diganti jadi Jingga Matahari deh.”
“Gila! Gila! Gila!” Ata geleng-geleng kepala lagi, masih merasa takjub dan tersepona dengan segala kebetulan itu.
Tiba-tiba terdengar langkah-langkah tergopoh mendekati meja mereka yang kemudian berhenti tidak jauh. Tari menoleh. Dilihatnya Fio sedang menatap dengan ekspresi bingung.
“Sini!” Tari melambai.
Fio mendekat dengan langkah hati-hati. Kedua matanya menatap Ata dengan sorot waspada, membuat cowok itu tersenyum geli. Senyum geli itu segera berubah jadi tawa tanpa suara saat dilihatnya Fio menarik sebuah kursi lalu menempatkannya rapat-rapat di sebelah kursi yang diduduki Tari.
“Lo boleh cerita ke temen lo ini. Kayaknya dia juga benci banget sama gue.” Ata menatap Tari, masih dengan sisa-sisa tawanya. “Tapi tolong di-keep ya? Cukup kalian berdua aja yang tau. Gue nggak mau kalian diapa-apain Ari. Dari cerita elo, gue yakin nggak ada yang tau kalo dia kembar.”
“Kayaknya sih nggak.” Tari mengangguk.
“Bener, kan?” desah Ata. Terlihat agak terluka. Kemudian dia bangkit berdiri. “Gue duluan, ya?” ditepuknya lengan Tari pelan. Tatapannya kemudian beralih ke Fio.
“Fio. Temen semeja gue,” Tari mengenalkan.
“Duluan ya, Fio.” Ata tersenyum padanya. “Nanti lo tanya Tari ya, gue siapa. Oh ya, Tar. Nanti kalo kita ketemu lagi, jangan panggil ‘Kakak’, ya? Gue kan bukan Ari. Nggak enak di kuping.”
Tari tertawa. “Iya deh.” Dia mengangguk setuju.
“Gue duluan.” Ata tersenyum lagi, balik badan, kemudian melangkah pergi diikuti tatapab Tari dna Fio.
“Kenapa tuh Kak Ari? Kok jadi lain banget gitu?” tanya Fio setelah Ata menghilang.
Tari mengahadapkan tubuhnya ke Fio. Ditatapnya teman semejanya itu lurus-lurus.
“Elo salah. Itu bukan Kak Ari. Itu sodara kembarnya!”
“Apa!?” Fio memekik. “Bercanda lo. Orang jelas-jelas Kak Ari juga.”
“Gue juga tadi kaget banget. Asli, kaget abis. Emang mereka dari kecil mirip banget. Tadi gue udah ditunjukin foto-foto mereka. Emang mirip banget. Nggak bisa dibedain.”
“Lo nggak lagi bercanda, kan? Beneran nih, dia bukan Kak Ari?” Fio masih nggak percaya.
“Bukan!” tandas Tari. “Tadi itu namanya Ata. Dan lo tau siapa nama lengkapnya?”
“Siapa?”
“Matahari Jingga!”
Fio kontan ternganga. Shock!

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar