Bab 9 (1)
Keesokan paginya Tari melihat Ari di salah satu tempat favorit cowok itu. Tepi lapangan futsal yang teduh karena terlindung dari matahari oleh bangunan sekolah. Tanpa sadar kedua matanya menatap lekat. Pertemuannya dengan Ata dan terkuaknya rahasia Ari yang terbesar, bahkan bisa jadi juga yang paling kelam, kini merombak total pandangan Tari tentang Ari.
Tari merasa iba mengetahui kondisi hidup yang harus Ari terima dan jalani, sekaligus salut karena cowok itu mampu mengatasi, meskipun dengan cara yang membuat banyak orang di sekelilingnya jadi gampang emosi, bahkan jadi benci.
Tiba-tiba tatapan mereka bertumbukan. Kedua mata Ari menyipit tajam, membuat Tari terkesiap dan buru-buru memalingkan muka. Seketika langkahnya jadi cepat, saat lewat sudut mata dilihatnya Ari bangkit berdiri. Dan langkah-langkah cepat itu langsung jadi setengah berlari saat dilihatnya Ari berjalan ke arahnya.
Tapi seketika Tari menghentikan langkah setengah berlarinya karena tiba-tiba saja Oji muncul di mulut koridor utama dan langsung menghadangnya.
“Thanks, Ji!” satu suara yang terdengar tidak jauh di belakang Tari dan sudah sangat dikenalnya menjelaskan kemunculan Oji yang mendadak dan tepat itu.
“Oke, Bos!” Oji mengacungkan jempol kanannya lalu balik badan dan pergi.
“Dasar emang tu orang, anteknya Ari. Liat aja lo ntar ya!” maki Tari pelan. Dengan tiga langkah panjang yang cepat, Ari mendahului Tari. Cowok itu kemudian berdiri di tengah-tengah mulut koridor utama. Bukan saja menghentikan langkah Tari, tapi juga semua murid yang akan melewatinya.
“Ada apa?” tanya Ari sambil menatap Tari lekat-lekat.
“Apa sih? Nggak ada apa-apa.” Tari membalas tatapan Ari. Tampangnya langsung cemberut. Kedua mata Ari seketika menyipit, karena cemberut itu bukan seperti cemberut yang biasa dilihatnya.
“Kenapa? Bosen berantem sama gue? Kan udah gue bilang, mending kita pacaran aja. Jadi selama di sekolah lo aman. Bisa belajar dengan tenang juga.”
Cemberut di muka Tari makin menjadi. Namun hanya itu. Tidak ada lagi reaksi yang meledak-ledak seperti kemarin-kemarin. Pertemuannya dengan Ata dan rahasia terbesar Ari yang terkuak telah menciptakan kekang yang membuat cewek itu tanpa sadar jadi tidak ingin menambah penderitaan Ari.
“Awas deh, ah. Gue belom ngerjain PR nih.”
Tari menerobos dari sisi kiri Ari dan bergegas menjauh.
Tapi Ari segera mencekal satu lengannya dan menarik cewek itu kembali ke hadapannya.
“Lo kenapa?” tanyanya. Suaranya melunak. Lunak suara itu seketika menarik Tari pada momen-momen langka saat dirinya bisa mengenali sisi tersembunyi Ari. Cowok ini sebenarnya baik.
Hanya saja, untuk memunculkan sisi itu Tari tidak tahu harus berapa banyak pertengkaran, kemarahan, teriakan, dan caci maki yang harus dilalui. Yang pasti, semua itu nanti akan sangat meletihkan.
“Udah deh. Gue lagi males berantem nih.” Tari melepaskan cekalan Ari di lengannya, lalu meneruskan langkahnya yang sempat terhenti.
Di luar dugaan, Ari tidak berusaha mengejar. Dia hanya terus menatap Tari dengan sorot lekat yang benar-benar lurus dan tidak berjeda, sampai Tari menghilang di balik dinding. Ditunggunya beberapa saat sampai dia perkirakan Tari sudah sampai di kelas. Kemudian dikeluarkannya ponsel dari saku celana dan dikontaknya cewek itu. Tidak di angkat. Setelah tiga kali panggilannya tidak direspons, Ari mengubah pola. Sambil tersenyum tipis diketiknya sebuah SMS.
Tumben gak galak. Knp? Bsen rbt sm gw? Ato udh cpk? Makanya kt pacaran aja. Kl lo nolak, lo akn gw bkn lbh cpk lg!
“Dasar penindas! Ngimpi aja lo!” maki Tari pelan.
Lagi-lagi kekang yang tercipta akibat pertemuannya dengan Ata membuat reaksi Tari hanya sampai di situ. Jarinya sudah bergerak akan menghapus SMS Ari itu, saat dia teringat Ata membutuhkan nomor ponsel saudara kembarnya yang penjajah ini.
Dikirimnya nomor itu ke Ata. Kemudian di-forward-nya SMS Ari tadi. Dengan kalimat pembuka...
Ini SMS dr sdr kembr lo yg sinting itu!
Tak sampai lima detik, Ata menelepon. Yang langsung terdengar oleh Tari adalah suara tawanya.
“Nggak sopan banget emang tu anak. Apa kabar lo, Tar?”
“Bete! Gue tadi dicegat Ari di koridor bawah. Yah itu, dia ngomong ngaco kayak SMS-nya itu. Trus dia telepon. Karena nggak gue angkat, trus dia kirim SMS deh. Udah lo baca? Ya begitu itu tuh kembaran lo itu.”
Lagi-lagi Ata ketawa. Tari takjub mendapati bahwa tawa Ata memberika efek yang berbeda dengan Ari. Suara tawa itu menenangkan. Kehadiran Ata jadi terasa seperti penyeimbang untuk kehadiran Ari.
“Please, yang sabar sama sodara kembar gue itu ya, Tar,” pinta Ata kemudian.
“Ya tergantung. Sabar kan ada batesnya. Kalo dia makin negselin, masa iya gue harus tetep sabar?”
“Nanti gue bantu. Lo nggak akan sendirian. Oke?” bujuk Ata.
“Hmmm...” Tari menggigit bibir. Dia mengerti permintaan itu. Ata butuh jembatan penghubung untuk mendekati saudara kembarnya yang menjauhkan diri itu. Sayangnya Tari merasa dirinya adalah jembatan yang lebih memilih ambruk daripada dilewati Ari.
Keterdiaman Tari membuat suara Ata makin melembut saat kembali membujuknya.
“Dia sebenarnya baik ko, Tar. Bener! Bukannya gue ngebelain ya, tapi dia itu aslinya orangnya baik. Dai Cuma orang yang kecewa banget sama hidup. Mungkin malah agak marah.”
“Iya sih. Gue juga ngerasa Ari itu sebenernya baik. Asal ketemu celahnya aja.”
“Itu elo tau!” terdengar jelas bahwa Ata merasa surprise mendengar pengakuan Tari itu.
“Feeling. Trus, lo mau telepon Kak Ari kapan?”
“Hmmm....” Ata terdiam cukup lama. “Belom tau. Udah lama gue nggak komunikasi sama dia. Mau dipikirin dulu kira-kira kalimat yang pas gimana.”
“Oh, ya udah. Good luck deh. Mudah-mudahan lo nggak digrauk sama dia.”
Lagi-lagi Ata ketawa geli.
“Thanks. Elo good luck juga ya.”
“Bad luck, tau!” dengus Tari, membuat Ata kembali ketawa geli. Kemudian suaranya berubah serius.
“Tar, terima kasih banyak, ya. Maaf, gue jadi ngelibatin elo.”
“Nggak pa-pa. Santai aja. Itung-itung latian nguatin mental.”
“Oke deh. Kalo ada apa-apa, telepon ya.”
“He-eh.”
“Bye.”
“Dah!”
Komunikasi ditutup. Sesaat Tari masih menatap ponselnya. Ngomong sama Ari dibanding ngomong sama Ata bedanya kok bisa jauh banget ya? Gumamnya dalam hati.
Tari merasa iba mengetahui kondisi hidup yang harus Ari terima dan jalani, sekaligus salut karena cowok itu mampu mengatasi, meskipun dengan cara yang membuat banyak orang di sekelilingnya jadi gampang emosi, bahkan jadi benci.
Tiba-tiba tatapan mereka bertumbukan. Kedua mata Ari menyipit tajam, membuat Tari terkesiap dan buru-buru memalingkan muka. Seketika langkahnya jadi cepat, saat lewat sudut mata dilihatnya Ari bangkit berdiri. Dan langkah-langkah cepat itu langsung jadi setengah berlari saat dilihatnya Ari berjalan ke arahnya.
Tapi seketika Tari menghentikan langkah setengah berlarinya karena tiba-tiba saja Oji muncul di mulut koridor utama dan langsung menghadangnya.
“Thanks, Ji!” satu suara yang terdengar tidak jauh di belakang Tari dan sudah sangat dikenalnya menjelaskan kemunculan Oji yang mendadak dan tepat itu.
“Oke, Bos!” Oji mengacungkan jempol kanannya lalu balik badan dan pergi.
“Dasar emang tu orang, anteknya Ari. Liat aja lo ntar ya!” maki Tari pelan. Dengan tiga langkah panjang yang cepat, Ari mendahului Tari. Cowok itu kemudian berdiri di tengah-tengah mulut koridor utama. Bukan saja menghentikan langkah Tari, tapi juga semua murid yang akan melewatinya.
“Ada apa?” tanya Ari sambil menatap Tari lekat-lekat.
“Apa sih? Nggak ada apa-apa.” Tari membalas tatapan Ari. Tampangnya langsung cemberut. Kedua mata Ari seketika menyipit, karena cemberut itu bukan seperti cemberut yang biasa dilihatnya.
“Kenapa? Bosen berantem sama gue? Kan udah gue bilang, mending kita pacaran aja. Jadi selama di sekolah lo aman. Bisa belajar dengan tenang juga.”
Cemberut di muka Tari makin menjadi. Namun hanya itu. Tidak ada lagi reaksi yang meledak-ledak seperti kemarin-kemarin. Pertemuannya dengan Ata dan rahasia terbesar Ari yang terkuak telah menciptakan kekang yang membuat cewek itu tanpa sadar jadi tidak ingin menambah penderitaan Ari.
“Awas deh, ah. Gue belom ngerjain PR nih.”
Tari menerobos dari sisi kiri Ari dan bergegas menjauh.
Tapi Ari segera mencekal satu lengannya dan menarik cewek itu kembali ke hadapannya.
“Lo kenapa?” tanyanya. Suaranya melunak. Lunak suara itu seketika menarik Tari pada momen-momen langka saat dirinya bisa mengenali sisi tersembunyi Ari. Cowok ini sebenarnya baik.
Hanya saja, untuk memunculkan sisi itu Tari tidak tahu harus berapa banyak pertengkaran, kemarahan, teriakan, dan caci maki yang harus dilalui. Yang pasti, semua itu nanti akan sangat meletihkan.
“Udah deh. Gue lagi males berantem nih.” Tari melepaskan cekalan Ari di lengannya, lalu meneruskan langkahnya yang sempat terhenti.
Di luar dugaan, Ari tidak berusaha mengejar. Dia hanya terus menatap Tari dengan sorot lekat yang benar-benar lurus dan tidak berjeda, sampai Tari menghilang di balik dinding. Ditunggunya beberapa saat sampai dia perkirakan Tari sudah sampai di kelas. Kemudian dikeluarkannya ponsel dari saku celana dan dikontaknya cewek itu. Tidak di angkat. Setelah tiga kali panggilannya tidak direspons, Ari mengubah pola. Sambil tersenyum tipis diketiknya sebuah SMS.
Tumben gak galak. Knp? Bsen rbt sm gw? Ato udh cpk? Makanya kt pacaran aja. Kl lo nolak, lo akn gw bkn lbh cpk lg!
“Dasar penindas! Ngimpi aja lo!” maki Tari pelan.
Lagi-lagi kekang yang tercipta akibat pertemuannya dengan Ata membuat reaksi Tari hanya sampai di situ. Jarinya sudah bergerak akan menghapus SMS Ari itu, saat dia teringat Ata membutuhkan nomor ponsel saudara kembarnya yang penjajah ini.
Dikirimnya nomor itu ke Ata. Kemudian di-forward-nya SMS Ari tadi. Dengan kalimat pembuka...
Ini SMS dr sdr kembr lo yg sinting itu!
Tak sampai lima detik, Ata menelepon. Yang langsung terdengar oleh Tari adalah suara tawanya.
“Nggak sopan banget emang tu anak. Apa kabar lo, Tar?”
“Bete! Gue tadi dicegat Ari di koridor bawah. Yah itu, dia ngomong ngaco kayak SMS-nya itu. Trus dia telepon. Karena nggak gue angkat, trus dia kirim SMS deh. Udah lo baca? Ya begitu itu tuh kembaran lo itu.”
Lagi-lagi Ata ketawa. Tari takjub mendapati bahwa tawa Ata memberika efek yang berbeda dengan Ari. Suara tawa itu menenangkan. Kehadiran Ata jadi terasa seperti penyeimbang untuk kehadiran Ari.
“Please, yang sabar sama sodara kembar gue itu ya, Tar,” pinta Ata kemudian.
“Ya tergantung. Sabar kan ada batesnya. Kalo dia makin negselin, masa iya gue harus tetep sabar?”
“Nanti gue bantu. Lo nggak akan sendirian. Oke?” bujuk Ata.
“Hmmm...” Tari menggigit bibir. Dia mengerti permintaan itu. Ata butuh jembatan penghubung untuk mendekati saudara kembarnya yang menjauhkan diri itu. Sayangnya Tari merasa dirinya adalah jembatan yang lebih memilih ambruk daripada dilewati Ari.
Keterdiaman Tari membuat suara Ata makin melembut saat kembali membujuknya.
“Dia sebenarnya baik ko, Tar. Bener! Bukannya gue ngebelain ya, tapi dia itu aslinya orangnya baik. Dai Cuma orang yang kecewa banget sama hidup. Mungkin malah agak marah.”
“Iya sih. Gue juga ngerasa Ari itu sebenernya baik. Asal ketemu celahnya aja.”
“Itu elo tau!” terdengar jelas bahwa Ata merasa surprise mendengar pengakuan Tari itu.
“Feeling. Trus, lo mau telepon Kak Ari kapan?”
“Hmmm....” Ata terdiam cukup lama. “Belom tau. Udah lama gue nggak komunikasi sama dia. Mau dipikirin dulu kira-kira kalimat yang pas gimana.”
“Oh, ya udah. Good luck deh. Mudah-mudahan lo nggak digrauk sama dia.”
Lagi-lagi Ata ketawa geli.
“Thanks. Elo good luck juga ya.”
“Bad luck, tau!” dengus Tari, membuat Ata kembali ketawa geli. Kemudian suaranya berubah serius.
“Tar, terima kasih banyak, ya. Maaf, gue jadi ngelibatin elo.”
“Nggak pa-pa. Santai aja. Itung-itung latian nguatin mental.”
“Oke deh. Kalo ada apa-apa, telepon ya.”
“He-eh.”
“Bye.”
“Dah!”
Komunikasi ditutup. Sesaat Tari masih menatap ponselnya. Ngomong sama Ari dibanding ngomong sama Ata bedanya kok bisa jauh banget ya? Gumamnya dalam hati.
***
Jam setengah tujuh kurang lima, Ari memasuki kelas Tari. Ekspresi mukanya kaku.
“Semuanya tolong keluar!” perintahnya sambil berjalan menghampiri Tari. Perintah itu jelas langsung dipatuhi. Dalam sekejap seluruh penghuni kelas Tari yang sudah lengkap itu tergusur ke koridor.
“Tutup pintunya!” perintah Ari lagi. Kedua daun pintu yang tadi terbuka lebar segera ditutup rapat.
Ekspresi kaku di depannya, kedua rahang yang terkatup rapat, kedua mata yang menyorot lurus dan tajam, membuat Tari langsung tahu, pasti Ata sudah menelepon saudara kembarnya ini. Berarti kontak pertama setelah bertahun-tahun telah terjadi!
Dengan kedua mata tertancap lurus pada Tari, Ari menggeser meja di depan cewek itu dengan tangan kiri, hingga di antara mereka berdua kini tercipta ruang kosong. Sementara tangan kanannya meraih kursi di depan Tari, mengangkatnya sambil memutarnya 180 derajat, dan meletakkannya tidak jauh di depan Tari, sehingga ketika kemudian Ari duduk, lutut mereka nyaris beradu. Tari langsung memundurkan tubuh, merapatkan diri ke sandaran kursi.
“Kenapa lo nggak cerita kalo lo ketemu Ata?”
Dugaan Tari tepat!
“Masih kaget,” jawabnya singkat, tapi jujur. Dia memang masih kaget dengan fakta itu.
“Siapa aja yang udah lo kasih tau kalo gue kembar?”
“Nggak ada. Gue nggak bilang ke siapa pun kalo lo kembar. Gue juga...”
“Sebut gue ‘kakak’!” seketika Ari memotong kalimat Tari. “Makin lama lo makin nggak sopan ya.”
Lagi-lagi kekang yang tercipta dalam diri Tari akibat pertemuannya dengan Ata membuat sikap kerasnya jadi agak melunak.
“Saya nggak cerita ke siapa pun kalo Kakak kembar,” dia mengulang kalimatnya.
“Ke Fio juga lo nggak cerita? Nggak mungkin.”
“Kalo dia sih nggak usah diceritain. Orang ketemunya berdua dia.”
“Gitu?” sesaat kedua mata Ari menyipit. Kemudian dia menoleh keluar.
“Fio!” panggilnya dengan suara keras.
“Iya, Kak?” kepala Fio menyembul di celah daun pintu yang dibukanya sedikit.
“Sini!”
Dengan muka bingung campur cemas, Fio melebarkan daun pintu.
“Iya eloooo.... calon bini kedua!” ledek Jimmy dengan suara pelan.
Fio langsung melotot. “Gue bilangin Kak Ari lo ya!” ancamnya.
Jimmy langsung menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. “Jangan, Fi! Jangan! Peaceee, damai! Damai!”
“Ati-ati kalo ngomong yang berhubungan sama Kak Ari. Bonyok ntar lo, bego!” desis Fio lalu masuk dan menutup pintu. Sambil menahan napas dihampirinya Ari.
“Iya, Kak?” tanyanya tanpa berani menatap muka sang senior.
“Duduk.”
Fio mengambil tempat di bangkunya sendiri,di sebelah Tari.
“Lo waktu itu ketemu Ata?” tanya Ari. Ditatapnya Fio tepat di manik mata.
“Iya, Kak.” Tatapan itu membuat Fio menjawab dengan kepala setengah menunduk. Ngeri.
“Trus, lo udah cerita ke siapa aja?”
“Nggak cerita ke siapa-siapa.” Fio langsung menggeleng kuat-kuat.
“Bener?”
“Bener!” kali ini Fio mengangguk kuat-kuat. “Kami tau kok. Kak Ata udah bilang, jangan cerita ke siapa pun.”
“Bagus!” Ari mengangguk. Kemudian dia mejukan tubuhnya. “Jadi kalo berita ini sampe bocor, berarti kalian yang akan gue cari.” Ditatapnya kedua cewek di depannya bergantian. “Paham?”
Jelas keduanya sangat paham. Ari bangkit berdiri, lalu mengembalikan bangku yang dia duduki ke tempat semula. Setelah itu meja Tari juga digesernya kembali ke posisi semula. Kemudian cowok itu melangkah menuju pintu. Peringatan mereka-mereka yang berdiri di depan jendela membuat teman-teman sekelas Tari yang berdiri di dekat pintu segera bergerak menjauh.
Ari membuka kedua daun pintu lalu berdiri di depan teman-teman sekelas Tari.
“Kalo ada yang pengen tau apa yang kami omongin barusan, tanya gue. Jangan sampe gue denger kalian nanya ke tuh cewek dua!”
Setelah menyampaikan peringatan itu, Ari balik badan dan pergi.
“Semuanya tolong keluar!” perintahnya sambil berjalan menghampiri Tari. Perintah itu jelas langsung dipatuhi. Dalam sekejap seluruh penghuni kelas Tari yang sudah lengkap itu tergusur ke koridor.
“Tutup pintunya!” perintah Ari lagi. Kedua daun pintu yang tadi terbuka lebar segera ditutup rapat.
Ekspresi kaku di depannya, kedua rahang yang terkatup rapat, kedua mata yang menyorot lurus dan tajam, membuat Tari langsung tahu, pasti Ata sudah menelepon saudara kembarnya ini. Berarti kontak pertama setelah bertahun-tahun telah terjadi!
Dengan kedua mata tertancap lurus pada Tari, Ari menggeser meja di depan cewek itu dengan tangan kiri, hingga di antara mereka berdua kini tercipta ruang kosong. Sementara tangan kanannya meraih kursi di depan Tari, mengangkatnya sambil memutarnya 180 derajat, dan meletakkannya tidak jauh di depan Tari, sehingga ketika kemudian Ari duduk, lutut mereka nyaris beradu. Tari langsung memundurkan tubuh, merapatkan diri ke sandaran kursi.
“Kenapa lo nggak cerita kalo lo ketemu Ata?”
Dugaan Tari tepat!
“Masih kaget,” jawabnya singkat, tapi jujur. Dia memang masih kaget dengan fakta itu.
“Siapa aja yang udah lo kasih tau kalo gue kembar?”
“Nggak ada. Gue nggak bilang ke siapa pun kalo lo kembar. Gue juga...”
“Sebut gue ‘kakak’!” seketika Ari memotong kalimat Tari. “Makin lama lo makin nggak sopan ya.”
Lagi-lagi kekang yang tercipta dalam diri Tari akibat pertemuannya dengan Ata membuat sikap kerasnya jadi agak melunak.
“Saya nggak cerita ke siapa pun kalo Kakak kembar,” dia mengulang kalimatnya.
“Ke Fio juga lo nggak cerita? Nggak mungkin.”
“Kalo dia sih nggak usah diceritain. Orang ketemunya berdua dia.”
“Gitu?” sesaat kedua mata Ari menyipit. Kemudian dia menoleh keluar.
“Fio!” panggilnya dengan suara keras.
“Iya, Kak?” kepala Fio menyembul di celah daun pintu yang dibukanya sedikit.
“Sini!”
Dengan muka bingung campur cemas, Fio melebarkan daun pintu.
“Iya eloooo.... calon bini kedua!” ledek Jimmy dengan suara pelan.
Fio langsung melotot. “Gue bilangin Kak Ari lo ya!” ancamnya.
Jimmy langsung menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. “Jangan, Fi! Jangan! Peaceee, damai! Damai!”
“Ati-ati kalo ngomong yang berhubungan sama Kak Ari. Bonyok ntar lo, bego!” desis Fio lalu masuk dan menutup pintu. Sambil menahan napas dihampirinya Ari.
“Iya, Kak?” tanyanya tanpa berani menatap muka sang senior.
“Duduk.”
Fio mengambil tempat di bangkunya sendiri,di sebelah Tari.
“Lo waktu itu ketemu Ata?” tanya Ari. Ditatapnya Fio tepat di manik mata.
“Iya, Kak.” Tatapan itu membuat Fio menjawab dengan kepala setengah menunduk. Ngeri.
“Trus, lo udah cerita ke siapa aja?”
“Nggak cerita ke siapa-siapa.” Fio langsung menggeleng kuat-kuat.
“Bener?”
“Bener!” kali ini Fio mengangguk kuat-kuat. “Kami tau kok. Kak Ata udah bilang, jangan cerita ke siapa pun.”
“Bagus!” Ari mengangguk. Kemudian dia mejukan tubuhnya. “Jadi kalo berita ini sampe bocor, berarti kalian yang akan gue cari.” Ditatapnya kedua cewek di depannya bergantian. “Paham?”
Jelas keduanya sangat paham. Ari bangkit berdiri, lalu mengembalikan bangku yang dia duduki ke tempat semula. Setelah itu meja Tari juga digesernya kembali ke posisi semula. Kemudian cowok itu melangkah menuju pintu. Peringatan mereka-mereka yang berdiri di depan jendela membuat teman-teman sekelas Tari yang berdiri di dekat pintu segera bergerak menjauh.
Ari membuka kedua daun pintu lalu berdiri di depan teman-teman sekelas Tari.
“Kalo ada yang pengen tau apa yang kami omongin barusan, tanya gue. Jangan sampe gue denger kalian nanya ke tuh cewek dua!”
Setelah menyampaikan peringatan itu, Ari balik badan dan pergi.
***
“Gue udah ngira, makanya gue larang kalian berdua cerita. Trus ngomong apa lagi dia?”
“Nggak ngomong apa-apa lagi. Cuma ngancem itu aja.”
Terdengar Ata menghela napas.
“Ta...,” ucap Tari dengan nada hai-hati. “Kenapa sih mesti diumpetin? Emangnya kenapa kalo kalian kembar?”
“Kalo soal itu lo tanya dia, Tar. Gue juga nggak tau alasannya.”
“Waktu itu lo telepon dia, lo nggak nanya?”
“Mmm, nggak. Karena gue sibuk meyakinkan diri bahwa dia emang kembaran gue, bukan orang lain yang kebetulan mukanya sama.”
“Oh,” desah Tari pelan. Ikutan nelangsa. “Gue boleh tau nggak, kalian ngomongin apa aja?”
“Ngomongin apa ya? Kayaknya bahasa gue sama dia udah beda, Tar. Atau mungkin juga sebenernya masih sama, Cuma karena tembok invisible di tengah-tengah kami tuh kayaknya udah ketebelan, gemanya jadi kacau. Dia ngomong apa gue dengernya apa. Gue ngomong apa dia juga nangkepnya mungkin beda.”
“Oh!” Tari langsung mengerti dia telah melanggar wilayah privat Ata. “Maaf. Maaf. Kok gue jadi pengen tau urusan pribadi lo sama Kak Ari gini sih?”
“Bukan gitu, Tar. Emang nggak ada yang bisa gue ceritain ke elo. Ternyata kami tuh udah jadi dua orang yang bener-bener asing. Dan kalo dua orang asing ketemu atau ngobrol untuk pertama kali, kalo mau nyambung ya topiknya soal cuaca, kali ya? Atau nggak, ngomongnya di tempat-tempat yang ada rental PS yang cozy abis. Selain dapet softdrink, dikasih snack juga.”
Tari tertawa pelan. Tawa prihatin.
“Gue pikir kalian ngomongin sesuatu yang gimana gitu, trus jadi berantem di telepon. Soalnya tadi pagi dia galak banget.”
“Nggak. Nggak ada yang penting. Tapi gue lega karena dia protect elo sama Fio. Aman, kan? Ada yang nanya-nanya nggak?”
“Nggak ada sih. Bener-bener nggak ada yang berani kayaknya.”
“Baguslah. Soalnya, kalo sampe gue denger kalian berdua kenapa-napa karena urusan kami dan dia tutup mata, bener-bener gue samperin tu anak. Kalo perlu gue nongol di sekolah lo. Biar gempar sekalian karena ternyata tu anak punya kembaran!”
Tari tertegun. Kembar itu emang nggak sepenuhnya beda. Kalimat Ata barusan ditambah cara dia mengatakannya... menimbulkan kesan Ata dan Ari seperti orang yang sama!
“Nggak ngomong apa-apa lagi. Cuma ngancem itu aja.”
Terdengar Ata menghela napas.
“Ta...,” ucap Tari dengan nada hai-hati. “Kenapa sih mesti diumpetin? Emangnya kenapa kalo kalian kembar?”
“Kalo soal itu lo tanya dia, Tar. Gue juga nggak tau alasannya.”
“Waktu itu lo telepon dia, lo nggak nanya?”
“Mmm, nggak. Karena gue sibuk meyakinkan diri bahwa dia emang kembaran gue, bukan orang lain yang kebetulan mukanya sama.”
“Oh,” desah Tari pelan. Ikutan nelangsa. “Gue boleh tau nggak, kalian ngomongin apa aja?”
“Ngomongin apa ya? Kayaknya bahasa gue sama dia udah beda, Tar. Atau mungkin juga sebenernya masih sama, Cuma karena tembok invisible di tengah-tengah kami tuh kayaknya udah ketebelan, gemanya jadi kacau. Dia ngomong apa gue dengernya apa. Gue ngomong apa dia juga nangkepnya mungkin beda.”
“Oh!” Tari langsung mengerti dia telah melanggar wilayah privat Ata. “Maaf. Maaf. Kok gue jadi pengen tau urusan pribadi lo sama Kak Ari gini sih?”
“Bukan gitu, Tar. Emang nggak ada yang bisa gue ceritain ke elo. Ternyata kami tuh udah jadi dua orang yang bener-bener asing. Dan kalo dua orang asing ketemu atau ngobrol untuk pertama kali, kalo mau nyambung ya topiknya soal cuaca, kali ya? Atau nggak, ngomongnya di tempat-tempat yang ada rental PS yang cozy abis. Selain dapet softdrink, dikasih snack juga.”
Tari tertawa pelan. Tawa prihatin.
“Gue pikir kalian ngomongin sesuatu yang gimana gitu, trus jadi berantem di telepon. Soalnya tadi pagi dia galak banget.”
“Nggak. Nggak ada yang penting. Tapi gue lega karena dia protect elo sama Fio. Aman, kan? Ada yang nanya-nanya nggak?”
“Nggak ada sih. Bener-bener nggak ada yang berani kayaknya.”
“Baguslah. Soalnya, kalo sampe gue denger kalian berdua kenapa-napa karena urusan kami dan dia tutup mata, bener-bener gue samperin tu anak. Kalo perlu gue nongol di sekolah lo. Biar gempar sekalian karena ternyata tu anak punya kembaran!”
Tari tertegun. Kembar itu emang nggak sepenuhnya beda. Kalimat Ata barusan ditambah cara dia mengatakannya... menimbulkan kesan Ata dan Ari seperti orang yang sama!
***
Bel tanda pergantian pelajaran berbunyi. Seluruh isi kelas segera mengganti sertagam mereka dengan baju olahraga, kecuali Fio. Tamu bulanannya datang dan dia sudah minta izin Pak Adang, guru olahraga, untuk absen dari lapangan.
Cewek itu yang paling bersemangat menyambut jam olahraga, karena dia sudah punya rencana yang pasti bikin semua teman sekelasnya bakalan sirik. Dia mau dia mau ngerem di kelas. Baca Twilight, novel romantis yang heboh banget itu. Ditemani satu kantong plastik keripik singkong rasa sapi panggang dan sebotol air mineral. Gila, jam pelajaran ternyata juga bisa indah banget!
“ENAK BANGET LOOO!!!” seru seisi kelas begitu Fio mengeluarkan novel tebal itu dari dalam tas berikut keripik singkong dan air mineral. Betul, kan? Fio meringis lebar.
“Udah sana! Buruan pada ke lapangan! Udah lewat sepuluh menit nih,” balasnya, mulai membuka lembar pertama novelnya.
“Lo baru baca sekarang?” tanya Maya. “Ke mana aja lo?”
“Dia baru baca untuk yang ketiga kalinya,” Tari yang menjawab.
“Buseeet deeeh.” Kontan hampir seisi kelas geleng-geleng kepala.
“Buruan! Buruan! Kelamaan bisa kena hukum lari keliling lapangan nih!” seru Renata, ketua kelas. Seisi kelas kemudian melangkah keluar. Meniggalkan Fio sendirian. “Titip kelas, Fi!” seru Renata sebelum hilang di balik pintu.
“Sip!” balas Fio dari balik lembaran-lembaran Twilight.
“Perasaan kok agak rame ya?” kata Nyoman setelah mereka sampai di tepi lapangan.
“Iya ya?” Tari mengangguk.
“Ayo, cepat! Cepat!” seru Pak Adang dari tepi salah satu lapangan futsal.
Seluruh penghuni kelas X-9 itu mulai berlari mengelilingi sisi luar keempat lapangan, sebanyak dua putaran untuk pemanasan. Jadwal minggu ini untuk cowok adalah futsal, sementara untuk cewek adalah basket.
Empat lapangan olahraga yang disediakan pihak sekolah di area depan – dua lapangan futsal, satu lapangan voli, dan satu lapangan basket – membuat dua kelas mempunyai jam olahraga yang sama.
Tragisnya, kelas X-9 tempat Tari tercatat sebagai anggotanya, justru punya jam olahraga yang sama dengan kelas X-3, kelasnya Gita!
Tapi karena rahsia cewek itu hanya diketahui segelintir orang saja alias ekslusif, Tari tidak pernah menyadari bahwa setiap kali jam olahraga tiba, selalu ada sepasang mata yang kerap menatapnya diam-diam dengan rasa bersalah yang pekat di dalamnya.
Begitu juga kali ini. Pemilik sepasang mata itu, yang tengah berada di lapangan voli bersama teman-teman sekelasnya, langsung menatap begitu Tari muncul, dan tetap mengikuti saat cewek itu dan teman-teman sekelasnya mulai berlari mengelilingi sisi luar keempat lapangan sebanyak dua putaran.
“Sst, Tar! Tar!” seru Nyoman tertahan, sambil bergegas menyusul Tari dan menjajarinya. “Kayaknya itu kelasnya Kak Ari deh. Soalnya gue liat ada Kak Oji sama Kak Ridho. Tuh baru aja gabung di lapangan futsal sama anak sepuluh tiga.”
“Ngapain mereka? Nggak apada belajar, apa?”
“Jam kososng, kali.”
Tari menoleh ke arah lapangan futsal. Benar saja. Dilihatnya Oji dan Ridho di antara cowok-cowok kelas X-3 yang sedang bermain futsal.
Aduh, kayaknya bakalan gawat nih, desah Tari dalam hati. Dia mulai merasakan firasat buruk. Tak lama, orang yang akan menjadi tokoh utama dalam firasat buruknya itu muncul.
Fakta bahwa sandera dan target punya jam olahraga yang sama, sesaat membuat Ari terdiam kaget di mulut koridor utama. Kedua bola mata hitamnya menampakkan kilatan tajam. Seringai tipis muncul di bibirnya. Satu ide terbersit dlaam kepalanya.
“Kebetulan yang manis banget. Kenapa gue baru tau sekarang ya?” guammnya sambil melangkah menuju lapangan.
Firasat buruk itu mendatangi Tari, tapi ironisnya, cewek itu justru masuk ke dalam kelompok orang yang tidak menyadari hadirnya sang pentolan sekolah itu. Bahkan ketika detik-detik menjelang firasat buruk itu akhirnya menjadi kenyataan, ketika kelompok yang menyadari kehadiran Ari di tengah-tengah mereka menatap ke satu titik dengan ekspresi waswas, Tari tetap berlari dengan irama konstan di sebelah Nyoman, yang juga sama-sama tidak menyadari kehadiran Ari.
Setelah seseorang menyambar tanga kirinya dan orang itu ternyata Ari, baru Tari tersentak. Seketika mukanya memucat. Refleks, ditariknya tangan kirinya dari genggaman Ari. Kedua kakinya juga langsung berhenti berlari. Tapi kelima jari Ari mencengkeram seperti baja, tidak juga terurai meski Tari sudah mengerahkan seluruh tenaga. Dan Ari memaksanya untuk tetap berlari.
“Kak Ari, lepas!” Tari berseru tertahan. Ari membalasnya dengan senyum dan goda di kedua matanya,
“Kak Ari, lepas kenapa sih!?” kali ini Tari memberontak. Tangan kanannya terulur, akan mencubit tangan kanan Ari yang mencengkeram tangan kirinya. Tapi gerak jari-jarinya yang terbaca membuat Ari segera menangkap tangan itu sebelum sempat menyentuhnya. Dan lagi-lagi hanya senyum dan sorot menggoda di kedua matanya, yang kemudian menyambut usaha Tari untuk melepaskan tangan kanannya yang kini juga terbelenggu.
Kemeja Ari yangs eluruh kancingnya tak terkait, menciptakan kibar yang membuat keduanya tak pelak menjadi ititk fokus setiap tatapan. Dan adegan itu dipastikan akan terekam dalam ingatan begitu banyak saksi mata.
Ari membawa Tari mendahuli yang lain. Tepatnya, denga paksa membawa Tari berlari mendahului yang lain, dan Tari berusaha keras untuk bisa melepaskan diri.
Teman-teman sekelas Ari yang menyaksikan itu hanya bisa tersenyum-senyum sambil geleng-geleng kepala. Sementara kelas X-3 yang berada di lapangan futsal dan voli, dan sisanya menunggu giliran duduk-duduk di tepi kedua lapangan itu, memberikan reaksi khas junior termuda bila sedang berada bersama senior tertinggi. Namun ada satu siswa yang menyaksikan dengan sikap diam. Sikap diam yang menyimpan rasa bersalah yangs emakin pekat. Gita menyaksikanadegan itu sambil diam-diam menarik napas panjang.
There’s nobody that could help her deh. Semua teman Tari hanya bisa menyaksikan dengan pasrah. Dua orang yang bisa menolong, Oji dan Ridho, pilih mmembiarkan peristiwa itu terjadi. Argumen mereka sederhana. Semua cowok berhak naksir cweek yang mana aja. Dan berhak melakukan pedekate dengan cara apa pun juga.
Cewek itu yang paling bersemangat menyambut jam olahraga, karena dia sudah punya rencana yang pasti bikin semua teman sekelasnya bakalan sirik. Dia mau dia mau ngerem di kelas. Baca Twilight, novel romantis yang heboh banget itu. Ditemani satu kantong plastik keripik singkong rasa sapi panggang dan sebotol air mineral. Gila, jam pelajaran ternyata juga bisa indah banget!
“ENAK BANGET LOOO!!!” seru seisi kelas begitu Fio mengeluarkan novel tebal itu dari dalam tas berikut keripik singkong dan air mineral. Betul, kan? Fio meringis lebar.
“Udah sana! Buruan pada ke lapangan! Udah lewat sepuluh menit nih,” balasnya, mulai membuka lembar pertama novelnya.
“Lo baru baca sekarang?” tanya Maya. “Ke mana aja lo?”
“Dia baru baca untuk yang ketiga kalinya,” Tari yang menjawab.
“Buseeet deeeh.” Kontan hampir seisi kelas geleng-geleng kepala.
“Buruan! Buruan! Kelamaan bisa kena hukum lari keliling lapangan nih!” seru Renata, ketua kelas. Seisi kelas kemudian melangkah keluar. Meniggalkan Fio sendirian. “Titip kelas, Fi!” seru Renata sebelum hilang di balik pintu.
“Sip!” balas Fio dari balik lembaran-lembaran Twilight.
“Perasaan kok agak rame ya?” kata Nyoman setelah mereka sampai di tepi lapangan.
“Iya ya?” Tari mengangguk.
“Ayo, cepat! Cepat!” seru Pak Adang dari tepi salah satu lapangan futsal.
Seluruh penghuni kelas X-9 itu mulai berlari mengelilingi sisi luar keempat lapangan, sebanyak dua putaran untuk pemanasan. Jadwal minggu ini untuk cowok adalah futsal, sementara untuk cewek adalah basket.
Empat lapangan olahraga yang disediakan pihak sekolah di area depan – dua lapangan futsal, satu lapangan voli, dan satu lapangan basket – membuat dua kelas mempunyai jam olahraga yang sama.
Tragisnya, kelas X-9 tempat Tari tercatat sebagai anggotanya, justru punya jam olahraga yang sama dengan kelas X-3, kelasnya Gita!
Tapi karena rahsia cewek itu hanya diketahui segelintir orang saja alias ekslusif, Tari tidak pernah menyadari bahwa setiap kali jam olahraga tiba, selalu ada sepasang mata yang kerap menatapnya diam-diam dengan rasa bersalah yang pekat di dalamnya.
Begitu juga kali ini. Pemilik sepasang mata itu, yang tengah berada di lapangan voli bersama teman-teman sekelasnya, langsung menatap begitu Tari muncul, dan tetap mengikuti saat cewek itu dan teman-teman sekelasnya mulai berlari mengelilingi sisi luar keempat lapangan sebanyak dua putaran.
“Sst, Tar! Tar!” seru Nyoman tertahan, sambil bergegas menyusul Tari dan menjajarinya. “Kayaknya itu kelasnya Kak Ari deh. Soalnya gue liat ada Kak Oji sama Kak Ridho. Tuh baru aja gabung di lapangan futsal sama anak sepuluh tiga.”
“Ngapain mereka? Nggak apada belajar, apa?”
“Jam kososng, kali.”
Tari menoleh ke arah lapangan futsal. Benar saja. Dilihatnya Oji dan Ridho di antara cowok-cowok kelas X-3 yang sedang bermain futsal.
Aduh, kayaknya bakalan gawat nih, desah Tari dalam hati. Dia mulai merasakan firasat buruk. Tak lama, orang yang akan menjadi tokoh utama dalam firasat buruknya itu muncul.
Fakta bahwa sandera dan target punya jam olahraga yang sama, sesaat membuat Ari terdiam kaget di mulut koridor utama. Kedua bola mata hitamnya menampakkan kilatan tajam. Seringai tipis muncul di bibirnya. Satu ide terbersit dlaam kepalanya.
“Kebetulan yang manis banget. Kenapa gue baru tau sekarang ya?” guammnya sambil melangkah menuju lapangan.
Firasat buruk itu mendatangi Tari, tapi ironisnya, cewek itu justru masuk ke dalam kelompok orang yang tidak menyadari hadirnya sang pentolan sekolah itu. Bahkan ketika detik-detik menjelang firasat buruk itu akhirnya menjadi kenyataan, ketika kelompok yang menyadari kehadiran Ari di tengah-tengah mereka menatap ke satu titik dengan ekspresi waswas, Tari tetap berlari dengan irama konstan di sebelah Nyoman, yang juga sama-sama tidak menyadari kehadiran Ari.
Setelah seseorang menyambar tanga kirinya dan orang itu ternyata Ari, baru Tari tersentak. Seketika mukanya memucat. Refleks, ditariknya tangan kirinya dari genggaman Ari. Kedua kakinya juga langsung berhenti berlari. Tapi kelima jari Ari mencengkeram seperti baja, tidak juga terurai meski Tari sudah mengerahkan seluruh tenaga. Dan Ari memaksanya untuk tetap berlari.
“Kak Ari, lepas!” Tari berseru tertahan. Ari membalasnya dengan senyum dan goda di kedua matanya,
“Kak Ari, lepas kenapa sih!?” kali ini Tari memberontak. Tangan kanannya terulur, akan mencubit tangan kanan Ari yang mencengkeram tangan kirinya. Tapi gerak jari-jarinya yang terbaca membuat Ari segera menangkap tangan itu sebelum sempat menyentuhnya. Dan lagi-lagi hanya senyum dan sorot menggoda di kedua matanya, yang kemudian menyambut usaha Tari untuk melepaskan tangan kanannya yang kini juga terbelenggu.
Kemeja Ari yangs eluruh kancingnya tak terkait, menciptakan kibar yang membuat keduanya tak pelak menjadi ititk fokus setiap tatapan. Dan adegan itu dipastikan akan terekam dalam ingatan begitu banyak saksi mata.
Ari membawa Tari mendahuli yang lain. Tepatnya, denga paksa membawa Tari berlari mendahului yang lain, dan Tari berusaha keras untuk bisa melepaskan diri.
Teman-teman sekelas Ari yang menyaksikan itu hanya bisa tersenyum-senyum sambil geleng-geleng kepala. Sementara kelas X-3 yang berada di lapangan futsal dan voli, dan sisanya menunggu giliran duduk-duduk di tepi kedua lapangan itu, memberikan reaksi khas junior termuda bila sedang berada bersama senior tertinggi. Namun ada satu siswa yang menyaksikan dengan sikap diam. Sikap diam yang menyimpan rasa bersalah yangs emakin pekat. Gita menyaksikanadegan itu sambil diam-diam menarik napas panjang.
There’s nobody that could help her deh. Semua teman Tari hanya bisa menyaksikan dengan pasrah. Dua orang yang bisa menolong, Oji dan Ridho, pilih mmembiarkan peristiwa itu terjadi. Argumen mereka sederhana. Semua cowok berhak naksir cweek yang mana aja. Dan berhak melakukan pedekate dengan cara apa pun juga.
Bab 9 (2)
Pak Toyo, guru olahraga kelas X-3, karena satu keperluan. Berhalangan hadir selama kira-kira setengah jam. Namun beliau telah memerintahkan anak-anak didiknya untuk sudah berada di lapangan pada saat dia datang.
Itulah sebabnya anak-anak kelas X-3 sudah seluruhnya berada di lapangan meskipun tanpa gurur. Akibatnya ereka jadi nggak berdaya menolak paksaan temen-teman sekelas Ari untuk tanding futsal.
Sementara Pak Adang, guru olahraga kelas Tari, sedang ke ruang gurur mengambil buku absensinya yang tertinggal. Baru setelah beliau kembali dan menyaksikan situasi di lapangan jadi kacau gara-gara ulah Ari, akhirnya datang juga seorang penolong untuk Tari.
“ARI, LEPAS!!!” bentak Pak Adang dengan suara menggelegar.
Seperti biasa, Ari memberikan reaksi santai. “Ni cewek larinya lama, Pak. Makanya saya tarik!” serunya.
“KAMU...!” dengan geram Pak Adang menghampiri sambil menggulung buku absensinya, siap menjadikannya sebagai alat pukul.
Sambil tersenyum lebar Ari melepaskan kedua tangan Tari dari cekalannya. Cowok itu kemudian mundur menjauh, sambil terus menatap Tari yang berdiri membeku di tempat Ari meninggalkannya tadi. Wajahnya yang merah padam dan menahan kekesalan yang nyaris menjadi tangis membuat senyum Ari kembali mengembang.
“Pergi sana!” usir Pak Adang. Dipukulnya punggung Ari dengan gulungan buku absensinya.
Masih dengan sisa-sisa senyum, Ari balik badan. Kedua matanya langsung menyambar Gita. Cewek itu tersentak dan seketika memalingkan muka dengan gugup.
Pak Adang langsung mengumpulkan teman-teman sekelas Tari. Yang cowok di lapangan futsal, sementara yang cewek di lapangan basket. Setelah membentuk dua tim futsal dan dua tim basket, latihan langsung dimulai. Sisanya yang tidak tertampung duduk-duduk di tepi kedua lapangan itu, menunggu giliran.
Gangguan Ari tadi membuat kedua mata Tari dengan cemas mencari-cari. Tapi dilihatnya cowok itu sedang berada di lapangan futsal, bergabung dengan anak-anak kelas X-3. Ebrsama Ridho, Oji, dan dua teman sekelasnya yang lain, Ari memaksa para juniornya itu untuk tanding futsal.
Cowok itu telah melepaskan baju seragamnya. Kini hanya mengenakan kaus putih tanpa lengan. Keringat yang benar-benar kuyup membuat kaus itu melekat erat dan mencetak setiap lekuk otot tubuh di baliknya.
Setelah sebentar-sebentar melirik dan melihat Ari makin asyik dengan acara tanding futsal maksanya itu, kecemasan Tari semakin menyusut dan akhirnya hilang. Sepertinya situasinya mulai aman. Cewek itu mulai tenang dan mulai biasa berkonsentrasi pada permainan basket yang harus diikutinya.
Karena sejak SMP permainan basketnya terkenal parah, Tari mendengarkan instruksi Pak Adang dengan serius. Pak Adang terpaksa bolak-balik antara lapangan basket dan futsal untuk mengawasi para siswanya. Tak lama Tari sudah lupa dengan insiden tadi. Sampai tiba-tiba Fio muncul dengan langkah tergopoh dan raut muka tegang.
Karena Pak Adang kebetulan sedang berada di tengah lapangan futsal, mengawasi teman-teman cowok sekelas Tari berlatih, Fio langsung menerobos ke tengah lapangan basket, mengahmpiri Tari.
“Tar, baju lo diambil sama Kak Ari!” serunya tertahan.
Tari menoleh, mencari-cari Ari dan sontak ternganga. Baju seragamnya ada di tangan Ari!
Cewek itu mengenali kemeja putih seragmnya karena ada pin matahari yang baru dibelinya dua hari lalu yang disematkannya di atas saku.
“Kapan dia ngambilnya?” Tari menoleh dan menatap Fio.
“Kak Oji yang ngambil. Barusan. Makanya gue langsung ke sini. Ngasih tau elo.”
Fio menatap Tari dengan perasaan bersalah. Tadi dia sudah berusaha keras merebut kembali baju seragam itu. Karena hanya berdua, Oji dan dirinya, Fio nekat mengenyahkan fakta dirinya junior dan yang dihadapinya adalah senior tertinggi.
Sayangnya, meskipun sudah disingkirkannya perbedaan strata itu, Fio tetap tidak mungkin bisa menyingkirkan perbedaan gender di antara mereka. Dengan mudah Oji mematahkan setiap usaha Fio untuk merebut kembali baju seragam Tari. Sebelum pergi, sesaat cowok itu berhenti di ambang pintu untuk mengajukan tantangan.
“Gih sana, lo ngadu ke Tari kalo baju seragamnya gue ambil.” Oji menyeringai puas kemudian menghilang. Fio mengatupkan kedua gerahamnya dengan dongkol.
“Dasar cowok brengsek!” makinya, lalu bergegas keluar.
Fio ngak bego, dia tahu Oji sengaja memancingnya untuk mengatakan pada Tari. Supaya Tari otomatis bereaksi dan dengan demikian Ari jadi punya alasan untuk mengganggunya habis-habisan, seperti yang selama ini sering dia lakukan. Tapi Fio juga sadar, dirinya ngak mungkin cuma diam membiarkan. Biar gimana tu baju kan harus diambil lagi. Ngak mungkin Tari terus pakai kaus olahraga sampai nanti jam terakhir. Tapi hanya sampai disini bantuan yang bisa diberikan Fio. Berikutnya betul-betul cuma bisa ngasih doa aja. Tari dan Fio yang berdiri tegang ditengah-tengah lapangan menatap lurus dan cemas ke satu titik, otomatis menghentikan permainan. Semua teman mereka yang berada dalam satu lapangan, juga yang duduk-duduk ditepi lapangan menunggu giliran, bergegas menghampiri dan berdiri di kiri-kanan-belakang, membentuk kerumunan sambil ribut bertanya. “Ada apa sih? Ada apa?” Tanya itu tak terjawab. dan emang ngak perlu juga. Pin matahari yang tersemat diatas saku kemeja seragam Tari, yang saat ini berada ditangan Ari, sudah cukup membuat semuanya segera mengerti apa yang terjadi. Sementara itu Ari berbuat seolah-olah dirinya dan Tari tidak sedang berada dalam satu frame yang sama. Teman-teman Ari jelas mengimbangi permainan pemimpin mereka. Tidak satu pun dari cowok-cowok itu menoleh kearah Tari, apalagi Ari. Seolah-olah mereka sedang mementaskan sebuah drama pendek. dan tema ceritanya adalah: Ari memaksakan baju seragam Tari untuk muat dibadannya.
"Sebentar, Bos. Sebentar," Oji menghentikan gerakan Ari yang baru saja akan memasukkan tangan kanannya ke lengan baju. "Kayaknya nggak muat deh, Bos, kalo nggak dilepas dulu kausnya."
Itulah sebabnya anak-anak kelas X-3 sudah seluruhnya berada di lapangan meskipun tanpa gurur. Akibatnya ereka jadi nggak berdaya menolak paksaan temen-teman sekelas Ari untuk tanding futsal.
Sementara Pak Adang, guru olahraga kelas Tari, sedang ke ruang gurur mengambil buku absensinya yang tertinggal. Baru setelah beliau kembali dan menyaksikan situasi di lapangan jadi kacau gara-gara ulah Ari, akhirnya datang juga seorang penolong untuk Tari.
“ARI, LEPAS!!!” bentak Pak Adang dengan suara menggelegar.
Seperti biasa, Ari memberikan reaksi santai. “Ni cewek larinya lama, Pak. Makanya saya tarik!” serunya.
“KAMU...!” dengan geram Pak Adang menghampiri sambil menggulung buku absensinya, siap menjadikannya sebagai alat pukul.
Sambil tersenyum lebar Ari melepaskan kedua tangan Tari dari cekalannya. Cowok itu kemudian mundur menjauh, sambil terus menatap Tari yang berdiri membeku di tempat Ari meninggalkannya tadi. Wajahnya yang merah padam dan menahan kekesalan yang nyaris menjadi tangis membuat senyum Ari kembali mengembang.
“Pergi sana!” usir Pak Adang. Dipukulnya punggung Ari dengan gulungan buku absensinya.
Masih dengan sisa-sisa senyum, Ari balik badan. Kedua matanya langsung menyambar Gita. Cewek itu tersentak dan seketika memalingkan muka dengan gugup.
Pak Adang langsung mengumpulkan teman-teman sekelas Tari. Yang cowok di lapangan futsal, sementara yang cewek di lapangan basket. Setelah membentuk dua tim futsal dan dua tim basket, latihan langsung dimulai. Sisanya yang tidak tertampung duduk-duduk di tepi kedua lapangan itu, menunggu giliran.
Gangguan Ari tadi membuat kedua mata Tari dengan cemas mencari-cari. Tapi dilihatnya cowok itu sedang berada di lapangan futsal, bergabung dengan anak-anak kelas X-3. Ebrsama Ridho, Oji, dan dua teman sekelasnya yang lain, Ari memaksa para juniornya itu untuk tanding futsal.
Cowok itu telah melepaskan baju seragamnya. Kini hanya mengenakan kaus putih tanpa lengan. Keringat yang benar-benar kuyup membuat kaus itu melekat erat dan mencetak setiap lekuk otot tubuh di baliknya.
Setelah sebentar-sebentar melirik dan melihat Ari makin asyik dengan acara tanding futsal maksanya itu, kecemasan Tari semakin menyusut dan akhirnya hilang. Sepertinya situasinya mulai aman. Cewek itu mulai tenang dan mulai biasa berkonsentrasi pada permainan basket yang harus diikutinya.
Karena sejak SMP permainan basketnya terkenal parah, Tari mendengarkan instruksi Pak Adang dengan serius. Pak Adang terpaksa bolak-balik antara lapangan basket dan futsal untuk mengawasi para siswanya. Tak lama Tari sudah lupa dengan insiden tadi. Sampai tiba-tiba Fio muncul dengan langkah tergopoh dan raut muka tegang.
Karena Pak Adang kebetulan sedang berada di tengah lapangan futsal, mengawasi teman-teman cowok sekelas Tari berlatih, Fio langsung menerobos ke tengah lapangan basket, mengahmpiri Tari.
“Tar, baju lo diambil sama Kak Ari!” serunya tertahan.
Tari menoleh, mencari-cari Ari dan sontak ternganga. Baju seragamnya ada di tangan Ari!
Cewek itu mengenali kemeja putih seragmnya karena ada pin matahari yang baru dibelinya dua hari lalu yang disematkannya di atas saku.
“Kapan dia ngambilnya?” Tari menoleh dan menatap Fio.
“Kak Oji yang ngambil. Barusan. Makanya gue langsung ke sini. Ngasih tau elo.”
Fio menatap Tari dengan perasaan bersalah. Tadi dia sudah berusaha keras merebut kembali baju seragam itu. Karena hanya berdua, Oji dan dirinya, Fio nekat mengenyahkan fakta dirinya junior dan yang dihadapinya adalah senior tertinggi.
Sayangnya, meskipun sudah disingkirkannya perbedaan strata itu, Fio tetap tidak mungkin bisa menyingkirkan perbedaan gender di antara mereka. Dengan mudah Oji mematahkan setiap usaha Fio untuk merebut kembali baju seragam Tari. Sebelum pergi, sesaat cowok itu berhenti di ambang pintu untuk mengajukan tantangan.
“Gih sana, lo ngadu ke Tari kalo baju seragamnya gue ambil.” Oji menyeringai puas kemudian menghilang. Fio mengatupkan kedua gerahamnya dengan dongkol.
“Dasar cowok brengsek!” makinya, lalu bergegas keluar.
Fio ngak bego, dia tahu Oji sengaja memancingnya untuk mengatakan pada Tari. Supaya Tari otomatis bereaksi dan dengan demikian Ari jadi punya alasan untuk mengganggunya habis-habisan, seperti yang selama ini sering dia lakukan. Tapi Fio juga sadar, dirinya ngak mungkin cuma diam membiarkan. Biar gimana tu baju kan harus diambil lagi. Ngak mungkin Tari terus pakai kaus olahraga sampai nanti jam terakhir. Tapi hanya sampai disini bantuan yang bisa diberikan Fio. Berikutnya betul-betul cuma bisa ngasih doa aja. Tari dan Fio yang berdiri tegang ditengah-tengah lapangan menatap lurus dan cemas ke satu titik, otomatis menghentikan permainan. Semua teman mereka yang berada dalam satu lapangan, juga yang duduk-duduk ditepi lapangan menunggu giliran, bergegas menghampiri dan berdiri di kiri-kanan-belakang, membentuk kerumunan sambil ribut bertanya. “Ada apa sih? Ada apa?” Tanya itu tak terjawab. dan emang ngak perlu juga. Pin matahari yang tersemat diatas saku kemeja seragam Tari, yang saat ini berada ditangan Ari, sudah cukup membuat semuanya segera mengerti apa yang terjadi. Sementara itu Ari berbuat seolah-olah dirinya dan Tari tidak sedang berada dalam satu frame yang sama. Teman-teman Ari jelas mengimbangi permainan pemimpin mereka. Tidak satu pun dari cowok-cowok itu menoleh kearah Tari, apalagi Ari. Seolah-olah mereka sedang mementaskan sebuah drama pendek. dan tema ceritanya adalah: Ari memaksakan baju seragam Tari untuk muat dibadannya.
"Sebentar, Bos. Sebentar," Oji menghentikan gerakan Ari yang baru saja akan memasukkan tangan kanannya ke lengan baju. "Kayaknya nggak muat deh, Bos, kalo nggak dilepas dulu kausnya."
"Oh iya. Betu lo." Ari mengangguk-angguk, dengan gaya seolah-olah dia baru menyadari hal itu. Diserahkannya baju seragam Tari ke Oji, kemudian segera dilepaskannya kasunya yang basah kuyup karena keringat itu. SEketika dada telanjangnya jadi konsumsi seluruh mata yang ada. Tapi Ari terlihat santai. Tak peduli.
Tanpa daya Tari menyaksikan baju seragmnya kembali ke tangan Ari, diserahkan Oji dengan sikap penuh khidmat, dengan uluran tangan kanan sementara tangan kirinya menerima kaus Ari yang basah kuyup.
Tanpa sadar, semuanya jadi menahan napas saat perlahan Ari mulai memsukkan tangan kanannya ke lengan baju. Dan lagi-lagi tanpa sadar, semuanya jadi menggigit bibir. Menatap dengan ngeri saat lengan berotot Ari stuck di pertengahan jalan. Cowok itu lalu memaksakan lengan baju seragam Tari yang - dengan menggunakan mata telanjang yang bahkan kena katarak parah - jelas-jelas nggak bakalan muat untuk meloloskan lengannya. Dibantu Oj dan di depan teman-temannya yang hanya menyaksikan sambil senyum-senyum, Ari menarik-narik lengan baju seragam Tari itu.
Tari nggak tahan lagi. Akhirnya cewek itu bergerak dari berdiri bekunya selama ini, dengan muka kaku dan sorot mata penuh amarah. "Dasar emang tu orang brengsek banget!" desisnya dengan gigi gemeretak.
"Tar! Tar! Jangan, Tar!"
Entah berapa tangan yang erfleks menahan langkah Tari.
"Jangan bego deh, Tar. Percuma lo ke sana. Yang ada bkan cuma baju seragam lo yang abis, lo-nya juga bisa abis ntar," ucap Nyoman.
"Trus gue disuruh diem aja, gitu!?" Tari membentak Nyoman tanpa sadar.
"Terpaksa!" Nyoman memelototinya tajam-tajam. "Bisa apa lo? Nggak bakalan tu baju kerebut Yang ada juga pasti bakalan digodain, salah, maksud gue, dijahatin. Bisa-bisa sama Kak Ari ntar lo dibikin nagis. Nggak bakalan dia peduli, ini di tengah lapangan. Banyak orang."
Yang lain membenarkan. Mereka tarik Tari ke belakang. Kembali ke tempat tadi dia berdiri, dan tidak mereka lepaskan cekalan mereka di kedua tangan cewek itu. Akhirnya Tari hanya bisa pasrah.
Meskipun sepertinya terlihat tak acuh, Ari mengawasi setiap detail reaksi Tari. Tak ada yang bisa luput dari mata tajamnya. Dan tak perlu meletakkan objek di fokus tatapan, karena dia punya banyak mata.
Cowok itu menahan senyum saat mendapati Tari berada dalam cekalan teman-temannya. Tapi dalam hati Ari agak menyayangkan. Kalau Tari dilepaskan, situasinya pasti lebih menantang. Karena cewek itu adalah lawan yang manis dan menyenangkan.
Setelah melakukan banyak usaha pemaksaan, akhirnya Ari berhasil membuat baju seragam Tari melekat di tubuhnya. Ketidakcocokan ukuran yang njomplang membuat setiap serat kain dan benang jahit menapai tingkat elastisitas paling maksimal. Satu titik menjelang robek.
Setelah melakukan banyak usaha pemaksaan, akhirnya Ari berhasil membuat baju seragam Tari melekat di tubuhnya. Ketidakcocokan ukuran yang njomplang membuat setiap serat kain dan benang jahit menapai tingkat elastisitas paling maksimal. Satu titik menjelang robek.
Dengan ngeri Tari menyaksikan baju seragmnya yang sudah disetrika mamnya sampai benar-benar licin dan rapi, yang kemudian dengan hati-hati dia semprotkan parfum kebanggaan, kini membungkus erat tubuh Ari yang basah karena keringat.
"Hiiiyyy!" teman-teman Tari bergidik. Semua kepala yang ada ternyata terasuk oleh satu pikiran yang sama.
Selama ini Tari bangga banget dengan parfumnya, karena asli dari Italia. Oleh-oleh dari tantenya waktu sang tante bertugas selama satu bulan di negara cantik dan kaya dengan bangunan bersejarah itu. Makanya Tari juga nyemprotnya superhemat. Yang namanya parfum orisinal, harganya pasti muahal kalau sudah masuk Indonesia. Meskipun Tari nyemprotnya cuma dikiiiiiiiit, tetep semerbaknya kemana-mana. Semua temannya mengakui, bau parfumnya enak banget. Soft. Elegan.
Sekarang yang jadi pertanyaan, harapan tepatnya, sanggup nggak parfum yang dibeli di salah satu kota pusat mode dunia itu mengalahkan bau keringat? Karena cowok biar gantengnya kayak apa juga, tetep aja keringetnya bau sapi!
Sementara itu di kejauhan...
"Gimana?" Ari bertolak pinggang. Pura-pura meminta pendapat teman-temannya tentang baju seragam Tari yang sekarang melekat teramat erat di tubuhnya, yang semua kancingnya jelas tidak mungkin bisa terkait.
Semua temannya lalu mengamati dengan tampang serius. Ada yang sambil menyipitkan mata. Ada yang keningnya sampai berkerut-kerut. Ada yang memiringkan kepala ke kiri dan ke kanan.
Tari menggeleng-gelngkan kepala tanpa sadar. Takjub. Kok ada ya, penyakit gila yang sampai massal begitu?
"Hmm, bentar... bentar," suara Ridho memecahkan hening keseriusan pura-pura itu. 'Kayaknya ada yang kurang. Apa ya?" tu cowok belagak mikir. "Oh, iya!" serunya kemudian sambil menjetikkan jari. "Kemaren-kemaren gue liat ada tonjolannya deh. kok sekarang nggak ada?"
Muka TAri langsung merah padam. Apalagi setelah beberapa pasang mata langsung menoleh dan menatapnya. Sebagian besar adalah anak-anak kelas X-3, yang kegiatan berolahraganya jadi on-off gara-gara melihat Tari dan teman-teman ceweknya berdiri bergerombol di tengah lapangan basket.
Oji, Ridho, dan teman-teman Ari yang lain lalu berlagak mencari-cari. Lagi-lagi dengan tingkat keseriusan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan keseriusan mereka saat belajar di kelas. Tak lama Eki menegakkan tubuh, setelah beberapa saat menyibaki rumput yang tumbuh di tepi lapangan futsal. Seolah-olah yang dimaksud Ridho dengan kalimatnya tadi adalah sejenis jangkrik atau belalang.
"Tu tojolan yang kayak apa sih?" tanya Eki, berlagak blo'on. "Bingung juga gue nyarinya kalo nggak tau bendanya."
"Terangin, Ji!" perintah Ari pada Oji dengan nada berwibawa, memicu tawa-tawa geli dan suit-suitan.
"Ck, tolol lo emang. Makanya pacaran." Oji menatap Eki, berlagak prihatin.
"Udah, cepet jelasin!" sentak Ari.
"Eh, iya, Bos. Bentar." Oji merinigs sambil garuk-garuk kepala. Kemudian dia berpikir keras. Tak lama dia berseru keras sambil menjentikkan jari.
"Lo tau gedung DPR/MPR, nggak?" ditatapnya Eki dengan kedua mata membulat lebar. Keliatan jelas Oji girang banget karena berhasil menemukan padanan objek. Sementara Ari mengulum senyum melihat antek-anteknya itu sukses berkelit.
"He-eh?" Eki mengangguk, tapi dengan tampang dibikin seolah-olah dia nggak paham.
"Tau kan bentuk atapnya kayak gimana?"
"Iya tau." Eki mengangguk algi. Tapi masih belagak nggak mudeng.
"Nah, kayak gitu benda yang kita cari."
"Ooh, kayak kutang gitu ya?"
"IYAAAAAA, DISEBUTIN!!!" Oji berteriak. "Gue udah capek-capek pake metafora. Dasar gobloooook! Kampungan! Udik! Katro! Hare gene, masih pake sebutan zaman feodal. Buka tesaurus dwoooong. Cari sinonimnya. Bikin malu kelas kita aja. Pindah ke kelas laen aja lo, Ki!"
Oji berlagak histeris abis. Memicu tawa-tawa terbahak meledak tak terkendali. Ari sendiri sampai membungkukkan tubuh. Satu tangannya memegangi perut, sementara tangan yang lainnya berpegangan pada salah satu tiang gawang. Kedua bahunya berguncang-guncang karena tawa.
Joke itu emang bikin Ari dan semua temannya jadi terpingkal-pingkal. Sementara para junior mereka, termasuk teman-teman cowok sekelas Tari, jadi tersenyum lebar. Sebagian besar tidak bisa menahan mata mereka dan hinggap di objek tertawaan. Tapi untuk Tari, pasti juga untuk semua cewek yang ada diposisinya-dengan catatan tu cewek waras, ngak kecentilan-asli, itu pelecehan berat!!! Diapit Fio dan Nyoman dikiri-kanan, yang jadi merangkulnya tanpa sadar, Tari berdiri diam. Diam yg menekan gelegak kemarahan. Enggan banget dihampirinya Ari lalu ditonjoknya bertubi-tubi. Tapi cewek itu juga sadar, nekat menghampiri Ari hanya akan membuat dirinya semakin jadi bulan-bulanan. Sementara Pak Adang, yang selama 15 menit terakhir perhatiannya tercurah penuh pada Renata dan sembilan anak lain yang berada dilapangan futsal, seketika mengerutkan kening saat melihat aktivitas dilapangan basket berhenti total. 10 siswi yang tadi ditinggalkannya dengan setumpuk instruksi kini berdiri bergerombol. Menatap serius ke satu titik dan sama sekali tidak melakukan satu pun instruksi yang dia berikan. Sementara sisanya yang tadi duduk-duduk ditepi lapangan menunggu giliran, bergabung bersama kesepuluh teman mereka. Juga serius menatap ke fokus yang sama. Bukan hanya mereka. Kegiatan dilapangan voli dan lapangan futsal yang lain, tempat rekan sejawatnya menitipkan padanya pengawasan terhadap anak-anak didiknya, aktivitas olahraga juga tidak berjalan lancar. Beberapa orang yang jadi ikut-ikutan menatap ke titik yang sama dengan Tari dan teman-temannya, jelas jadi menghambat permainan.
Dengan kesal Pak Adang menghampiri para siswi yang berdiri bergerombol itu.
“Ada apa?” tanyanya tajam.
“Bapak cuma bisa mengajar satu jam. Jadi jangan dibuang-buang waktunya.” Tari langsung menarik napas lega. Berharap Pak Adang akan menolongnya lagi.
“Baju seragam saya diambil sama kak Ari, Pak.” Ditunjuknya Ari dikejauhan. Pak Adang menoleh kearah yang ditunjuk Tari lalu menghela napas. Diluar harapan Tari, kali ini Pak Adang tidak melakukan apapun untuk menolongnya. Beliau malah memerintahkan para siswi itu kembali ke posisi masing-masing dan melanjutkan permainan. “Baju seragam saya Paaaaak!” Kembali Tari menunjuk Ari lurus-lurus. Kali ini hampir menangis. “Nanti Bapak ambil,” Pak Adang menenangkan. Ditepuknya satu bahu Tari. “Sekarang lanjutkan dulu basketnya.” Terpaksa Tari mematuhi perintah itu, tapi jelas konsentrasinya ngak bisa total. Jangankan total, 50% juga ngak ada. Hampir semua konsentrasi cewek itu nyangkut di Ari. Meskipun hanya satu orang yang kacau, itu jelas akan mengacaukan semua orang yang ada dilapangan. Pak Adang berdecak. Beliau segera melangkah kelapangan futsal. Setelah meninggalkan sederet instruksi untuk kesepuluh siswa yang berada dilapangan tersebut, guru olahraga itu kembali kelapangan basket. Untuk memaksa Tari berkonsentrasi penuh pada permainan, sekaligus untuk menyelamatkan jam mengajarnya dari gangguan Ari, Pak Adang ikut bergabung bersama anak-anak didiknya itu. Sebentar-sebentar beliau mengeluarkan perintah dengan seruan keras. Usahanya tak sia-sia. Meskipun tidak mencapai 100%, Ari dan eman-temannya kini tidak lagi menjadi pusat perhatian yang mengacaukan keempat lapangan olahraga. Ditepi lapangan futsal, Ari yang telah kehilangan panggung kehormatannya menatap kelapangan basket dengan geram. “Tu guru ganggu kesenengan gue aja!”
“Udah cukuplah man...” Ridho menepuk-nepuk satu bahunya. “Kasian tu cewek kalo lo godain lagi. Tadi aja udah dua kali hampir nangis. Ditengah lapangan nih. Banyak banget orang.” Oji berjalan menghampiri. “Bajunya lepas deh, Bos. Bentar lagi kayaknya bakalan robek tuh. Soalnya udah pada ketarik.” Dibantu Oji, Ari melepaskan baju seragam Tari yang dipakainya dengan paksa. Harus ekstra hati-hati karena baju itu melekat teramat erat ditubuhnya, nyaris seperti kulit kedua. Cowok itu kemudian melangkah menuju pos sekuriti dan menyandarkan punggung telanjangnya ditembok belakang bangunan mungil itu, mengawasi lapangan basket. Meskipun sudah berusaha keras berkonsentrasi penuh, gangguan-gangguan Ari itu membuat kemampuan bermain basket Tari yang sudah parah jadi semakin parah lagi. Ari ketawa pelan saat untuk kesekian kali dilihatnya lemparan Tari meleset. Yang terakhir ini, sumpah, parah banget. Bukan cuma ngak masuk keranjang. Melenceng hampir 2 meter! Pak Adang, yang berdiri ditepi lapangan futsal tempat teman-teman cowok sekelas Tari bermain, mengawasi 2 lapangan sekaligus, juga ikut kesal. Dia perintahkan Maya yang sedang mengejar bola basket yang berlari keluar lapangan karena lemparan meleset Tari-untuk meleparnya kembali ke Tari. “Coba sekali lagi!” seru guru olahraga itu. Tiba-tiba Ari melesat meninggalkan tempatnya. Di detik Tari tengah mengambil ancang-ancang untuk melemarkan bola ditangannya, di saat kedua matanya tertuju lurus pada lingkaran besi tak jauh diatas kepalanya, dari arah depan Ari menyambar pinggangnya dengan kedua tangan lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Tari menjerit kaget. Seketika bola terlepas dari tangannya. Menggelinding menjauh. Cewek itu terpaksa berpegangan pada kedua bahu Ari karena tidak ada lagi tempat bagi kedua tangannya menemukan pegangan selain dikedua bahu telanjang cowok itu. Tari sempat bergidik, karena kulit bersentuhan dengan kulit. Ari menikmati keterkejutan yang lalu memberi rona merah padam pada wajah yang menunduk tepat diatasnya itu. “Bilang dong kalo ngak bisa main basket. Gue ajarin,” ucapnya lembut. Tari sempat tertegun. Tatapan kedua mata hitam itu hangat. Meskipun samar, sorot lembutnya bisa tertangkap. “Kak Ari, turunin,” pintanya. Suaranya terdengar lemah saking tidak percayanya Ari akan melakukan tindakan ini. Ari tersenyum lebar. Tidak dengan kedua bibirnya, tapi dengan kedua matanya. Pijar hangat dikedua mata hitam itu kini menyala. “Kok bego sih? Hmm? Gue angkat supaya lo bisa masukin bola keranjang. Malah dilepas lagi bolanya.” Tari mengeluh lirih. Sesaat kepalanya semakin menunduk lagi. Kemudian dia ulangi permintaannya, kali ini hampir menangis. “Tolong turunin dong, kak.” Ari mengabaikan permintaan itu. Seolah ingin Tari benar-benar mencamkan dirinya adalah penguasa disini. Cowok itu terlihat tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya, karena kali ini Tari benar-benar tidak mampu melawannya. Dalam rengkuhan sinar matahari, dalam sedetik momen yang melenyapkan seluruh latar, sungguh-sungguh keduanya adalah keindahan. Sampai kemudian pukulan tangan Pak Adang yang lumayan keras dipunggung telanjang Ari mengoyak lukisan indah itu dan melemparkan kembali realitas ke tengah-tengah semuanya. Beku yang memeluk seluruh tubuh yang sejak tadi menjadi saksi tak ayal tercairkan. Dan seketika menghadirkan sorak, suitan, serta tepuk tangan yg seakan mampu meruntuhkan langit. Di sisa-sisa tatapan hangat Ari yang masih bisa dirasakan Tari, sesaat dilambungkannya cewek itu lebih tinggi lagi. Seolah akan dipersembahkannya Tari pada kemegahan sang matahari tunggal yang sesungguhnya. Refleks, Tari meraih dan memeluk leher Ari karena semakin menjauhnya bumi. Adegan itu menaikkan oktaf gemuruh sorak riuh para saksi mata ke level histeria. Kemudian Ari menurunkan Tari. Mengembalikan cewek itu, juga dirinya sendiri, pada realitas. Seketika tatap hangat dan lembut tadi menghilang, berubah jadi ilusi sesaat. Setelah sempat membeku dalam ketidakpercayaan akan apa yang beruntun dilakukan Ari terhadap dirinya, Tari berlari ke kelas dengan muka merah padam dan bibir tergigit. Fio bergegas menyusul. Pak Adang terpaksa membiarkan. Guru itu balik badan, sudah siap akan memarahi Ari habis-habisan, karena ini kali kesekian siswa itu mengganggu jam pelajarannya, dan hari ini adalah yang paling kelewatan. 3x Ari membuat ulah dalam waktu hanya 1 jam. Sayangnya, Ari sudah melangkah menjauhi lapangan, sambil mengenakan baju seragamnya yang sesaat tadi dilemparkan Oji. Akhirnya Pak Adang cuma bisa geleng-gelang kepala. Gita menyaksikan peristiwa itu sambil menggigit bibir. Tak bisa dicegah, pikirannya melayang pada Angga. Kalau saja sepupunya itu menyaksikan adegan didepannya ini, bisa dipastikan akan terjadi perkelahian sengit. Begitu sampai kelas, Tari langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Dicarinya nama Ata didaftar kontak lalu ditekannya tombol bergambar garis hijau. Tidak diangkat. Dicobanya lagi. Tetap tidak diangkat. Dicobanya sekali lagi dan sekali lagi dan sekali lagi. Tetap tidak diangkat. “Pasti dia lagi belajar juga deh Tar,” ucap Fio hati-hati. Tari menghentikan usahanya. Cewek itu kemudian menelungkupkan kepala diatas meja dan terisak. Fio hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kuat-kuat. Tak lama ponsel Tari bergetar. Seketika cewek itu menegakkan tubuh dan menyambar ponselnya. Dari ekspresi mukanya, Fio langsung tahu Ata-lah yg menelepon. “Halo?...lg belajar ya?...sori banget gue jadi ganggu elo...iya, tadi dilapangan dia gangguin gue...Aduh, pokonya nyebelin banget tau ngak! Tu orang apa sih maunya! Dikira ngak malu-maluin apa, ditonton orang ditengah-tengah lapangan gitu! Pasti deh ntar jam istirahat, satu sekolah udah pada tau ceritanya. Trus kemanapun gue pergi, diliatin kayak gue udah kena flu babi!” Tari langsung mengadukan perbuatan Ari pada Ata, dengan intonasi seperti muntahan peluru senapan mesin. Ditambah iringan banjir bah isak tangis dan air mata. Ketika percakapan telepon yag nyaris hanya searah itu akhirnya berakhir, Tari terlihat lebih tenang. “Lo cuci muka gih. Mumpung anak-anak belum pada datang.” saran Fio dengan suara pelan. “Nih gue beliin air es dikantin. Kompres tu mata biar ngak bengkak-bengkak amat.” Tari mengangguk. Keduanya berdiri lalu berjalan menuju toilet. Ketika kemudian teman-teman sekelas muncul, 20 menit sebelum jam olahraga selesai, kondisi Tari sudah agak membaik. Ternyata teman-teman sekelasnya cukup bijak untuk tidak bertanya apa-apa. Beberapa dari mereka bahkan bersikap seolah-olah peristiwa tadi tidak pernah terjadi.
Dengan kesal Pak Adang menghampiri para siswi yang berdiri bergerombol itu.
“Ada apa?” tanyanya tajam.
“Bapak cuma bisa mengajar satu jam. Jadi jangan dibuang-buang waktunya.” Tari langsung menarik napas lega. Berharap Pak Adang akan menolongnya lagi.
“Baju seragam saya diambil sama kak Ari, Pak.” Ditunjuknya Ari dikejauhan. Pak Adang menoleh kearah yang ditunjuk Tari lalu menghela napas. Diluar harapan Tari, kali ini Pak Adang tidak melakukan apapun untuk menolongnya. Beliau malah memerintahkan para siswi itu kembali ke posisi masing-masing dan melanjutkan permainan. “Baju seragam saya Paaaaak!” Kembali Tari menunjuk Ari lurus-lurus. Kali ini hampir menangis. “Nanti Bapak ambil,” Pak Adang menenangkan. Ditepuknya satu bahu Tari. “Sekarang lanjutkan dulu basketnya.” Terpaksa Tari mematuhi perintah itu, tapi jelas konsentrasinya ngak bisa total. Jangankan total, 50% juga ngak ada. Hampir semua konsentrasi cewek itu nyangkut di Ari. Meskipun hanya satu orang yang kacau, itu jelas akan mengacaukan semua orang yang ada dilapangan. Pak Adang berdecak. Beliau segera melangkah kelapangan futsal. Setelah meninggalkan sederet instruksi untuk kesepuluh siswa yang berada dilapangan tersebut, guru olahraga itu kembali kelapangan basket. Untuk memaksa Tari berkonsentrasi penuh pada permainan, sekaligus untuk menyelamatkan jam mengajarnya dari gangguan Ari, Pak Adang ikut bergabung bersama anak-anak didiknya itu. Sebentar-sebentar beliau mengeluarkan perintah dengan seruan keras. Usahanya tak sia-sia. Meskipun tidak mencapai 100%, Ari dan eman-temannya kini tidak lagi menjadi pusat perhatian yang mengacaukan keempat lapangan olahraga. Ditepi lapangan futsal, Ari yang telah kehilangan panggung kehormatannya menatap kelapangan basket dengan geram. “Tu guru ganggu kesenengan gue aja!”
“Udah cukuplah man...” Ridho menepuk-nepuk satu bahunya. “Kasian tu cewek kalo lo godain lagi. Tadi aja udah dua kali hampir nangis. Ditengah lapangan nih. Banyak banget orang.” Oji berjalan menghampiri. “Bajunya lepas deh, Bos. Bentar lagi kayaknya bakalan robek tuh. Soalnya udah pada ketarik.” Dibantu Oji, Ari melepaskan baju seragam Tari yang dipakainya dengan paksa. Harus ekstra hati-hati karena baju itu melekat teramat erat ditubuhnya, nyaris seperti kulit kedua. Cowok itu kemudian melangkah menuju pos sekuriti dan menyandarkan punggung telanjangnya ditembok belakang bangunan mungil itu, mengawasi lapangan basket. Meskipun sudah berusaha keras berkonsentrasi penuh, gangguan-gangguan Ari itu membuat kemampuan bermain basket Tari yang sudah parah jadi semakin parah lagi. Ari ketawa pelan saat untuk kesekian kali dilihatnya lemparan Tari meleset. Yang terakhir ini, sumpah, parah banget. Bukan cuma ngak masuk keranjang. Melenceng hampir 2 meter! Pak Adang, yang berdiri ditepi lapangan futsal tempat teman-teman cowok sekelas Tari bermain, mengawasi 2 lapangan sekaligus, juga ikut kesal. Dia perintahkan Maya yang sedang mengejar bola basket yang berlari keluar lapangan karena lemparan meleset Tari-untuk meleparnya kembali ke Tari. “Coba sekali lagi!” seru guru olahraga itu. Tiba-tiba Ari melesat meninggalkan tempatnya. Di detik Tari tengah mengambil ancang-ancang untuk melemarkan bola ditangannya, di saat kedua matanya tertuju lurus pada lingkaran besi tak jauh diatas kepalanya, dari arah depan Ari menyambar pinggangnya dengan kedua tangan lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Tari menjerit kaget. Seketika bola terlepas dari tangannya. Menggelinding menjauh. Cewek itu terpaksa berpegangan pada kedua bahu Ari karena tidak ada lagi tempat bagi kedua tangannya menemukan pegangan selain dikedua bahu telanjang cowok itu. Tari sempat bergidik, karena kulit bersentuhan dengan kulit. Ari menikmati keterkejutan yang lalu memberi rona merah padam pada wajah yang menunduk tepat diatasnya itu. “Bilang dong kalo ngak bisa main basket. Gue ajarin,” ucapnya lembut. Tari sempat tertegun. Tatapan kedua mata hitam itu hangat. Meskipun samar, sorot lembutnya bisa tertangkap. “Kak Ari, turunin,” pintanya. Suaranya terdengar lemah saking tidak percayanya Ari akan melakukan tindakan ini. Ari tersenyum lebar. Tidak dengan kedua bibirnya, tapi dengan kedua matanya. Pijar hangat dikedua mata hitam itu kini menyala. “Kok bego sih? Hmm? Gue angkat supaya lo bisa masukin bola keranjang. Malah dilepas lagi bolanya.” Tari mengeluh lirih. Sesaat kepalanya semakin menunduk lagi. Kemudian dia ulangi permintaannya, kali ini hampir menangis. “Tolong turunin dong, kak.” Ari mengabaikan permintaan itu. Seolah ingin Tari benar-benar mencamkan dirinya adalah penguasa disini. Cowok itu terlihat tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya, karena kali ini Tari benar-benar tidak mampu melawannya. Dalam rengkuhan sinar matahari, dalam sedetik momen yang melenyapkan seluruh latar, sungguh-sungguh keduanya adalah keindahan. Sampai kemudian pukulan tangan Pak Adang yang lumayan keras dipunggung telanjang Ari mengoyak lukisan indah itu dan melemparkan kembali realitas ke tengah-tengah semuanya. Beku yang memeluk seluruh tubuh yang sejak tadi menjadi saksi tak ayal tercairkan. Dan seketika menghadirkan sorak, suitan, serta tepuk tangan yg seakan mampu meruntuhkan langit. Di sisa-sisa tatapan hangat Ari yang masih bisa dirasakan Tari, sesaat dilambungkannya cewek itu lebih tinggi lagi. Seolah akan dipersembahkannya Tari pada kemegahan sang matahari tunggal yang sesungguhnya. Refleks, Tari meraih dan memeluk leher Ari karena semakin menjauhnya bumi. Adegan itu menaikkan oktaf gemuruh sorak riuh para saksi mata ke level histeria. Kemudian Ari menurunkan Tari. Mengembalikan cewek itu, juga dirinya sendiri, pada realitas. Seketika tatap hangat dan lembut tadi menghilang, berubah jadi ilusi sesaat. Setelah sempat membeku dalam ketidakpercayaan akan apa yang beruntun dilakukan Ari terhadap dirinya, Tari berlari ke kelas dengan muka merah padam dan bibir tergigit. Fio bergegas menyusul. Pak Adang terpaksa membiarkan. Guru itu balik badan, sudah siap akan memarahi Ari habis-habisan, karena ini kali kesekian siswa itu mengganggu jam pelajarannya, dan hari ini adalah yang paling kelewatan. 3x Ari membuat ulah dalam waktu hanya 1 jam. Sayangnya, Ari sudah melangkah menjauhi lapangan, sambil mengenakan baju seragamnya yang sesaat tadi dilemparkan Oji. Akhirnya Pak Adang cuma bisa geleng-gelang kepala. Gita menyaksikan peristiwa itu sambil menggigit bibir. Tak bisa dicegah, pikirannya melayang pada Angga. Kalau saja sepupunya itu menyaksikan adegan didepannya ini, bisa dipastikan akan terjadi perkelahian sengit. Begitu sampai kelas, Tari langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Dicarinya nama Ata didaftar kontak lalu ditekannya tombol bergambar garis hijau. Tidak diangkat. Dicobanya lagi. Tetap tidak diangkat. Dicobanya sekali lagi dan sekali lagi dan sekali lagi. Tetap tidak diangkat. “Pasti dia lagi belajar juga deh Tar,” ucap Fio hati-hati. Tari menghentikan usahanya. Cewek itu kemudian menelungkupkan kepala diatas meja dan terisak. Fio hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kuat-kuat. Tak lama ponsel Tari bergetar. Seketika cewek itu menegakkan tubuh dan menyambar ponselnya. Dari ekspresi mukanya, Fio langsung tahu Ata-lah yg menelepon. “Halo?...lg belajar ya?...sori banget gue jadi ganggu elo...iya, tadi dilapangan dia gangguin gue...Aduh, pokonya nyebelin banget tau ngak! Tu orang apa sih maunya! Dikira ngak malu-maluin apa, ditonton orang ditengah-tengah lapangan gitu! Pasti deh ntar jam istirahat, satu sekolah udah pada tau ceritanya. Trus kemanapun gue pergi, diliatin kayak gue udah kena flu babi!” Tari langsung mengadukan perbuatan Ari pada Ata, dengan intonasi seperti muntahan peluru senapan mesin. Ditambah iringan banjir bah isak tangis dan air mata. Ketika percakapan telepon yag nyaris hanya searah itu akhirnya berakhir, Tari terlihat lebih tenang. “Lo cuci muka gih. Mumpung anak-anak belum pada datang.” saran Fio dengan suara pelan. “Nih gue beliin air es dikantin. Kompres tu mata biar ngak bengkak-bengkak amat.” Tari mengangguk. Keduanya berdiri lalu berjalan menuju toilet. Ketika kemudian teman-teman sekelas muncul, 20 menit sebelum jam olahraga selesai, kondisi Tari sudah agak membaik. Ternyata teman-teman sekelasnya cukup bijak untuk tidak bertanya apa-apa. Beberapa dari mereka bahkan bersikap seolah-olah peristiwa tadi tidak pernah terjadi.
Bab 9 (3)
Renata menghampiri Tari dengan sesuatu ditangan kanannya. Ternyata baju seragam Tari yang sudah dalam keadaan terlipat rapi.
“Dari kak Ari nih,” ucapnya dengan suara pelan, sambil mengangsurkan seragam ditangannya pada sang pemilik.
“Makasih ya Ren,” ucap Tari, juga dengan suara pelan. Renata mengangguk dan tidak bicara apa-apa lagi. Ditepuk-tepuknya bahu Tari, kemudian melangkah menuju bangkunya sendiri. Suasanan kelas X-9 kembali normal. 20 menit jam olahraga yang msh tersisa langsung dimanfaatkan oleh sebagian besar penghuni kelas untuk merapikan catatan biologi. Karena dari desas-desus yang santer beredar, Bu Endang akan melakukan pemeriksaan catatan mendadak. Sebagian besar dari mereka masih mengenakan kaus olahraga, menunggu sampai keringat benar-benar kering. Sayangnya, suasana yang sudah membaik dan tenang itu dirusak oleh kedatangan Oji. Tiba-tiba saja antek Ari itu muncul diambang pintu dan langsung memasuki kelas. Tangan kanannya menenteng paperbag warna merah hati. Seisi kelas kontan terdiam, menghentikan kegiatan masing-masing dan memfokuskan perhatian pada sang senior itu. Mereka sudah bisa menduga, kemunculan Oji pasti berkaitan dengan peristiwa dilapangan.
“Dari Ari.” ucap Oji pendek. Diletakkannya paperbag itu di meja Tari. Tari menatap paperbag itu dengan pandang dingin. “Kenapa ngak dia sendiri yang datang minta maaf?” tanyanya ketus.
“Weits! Ati-ati lo ngomong,” ucap Oji dengan nada tajam.
“Siapa bilang Bos minta maaf? Dia cuma nyuruh gue ngasih ni coklat. Buat elo katanya.”
“Trus, kalo bukan untuk minta maaf, ngapain dia ngasih-ngasih coklat?”
“Ya ngasih aja. Emangnya kudu pake alesan? Coklat mahal tuh. Langganannya orang-orang kaya sama selebriti. Lo pasti belum pernah ngerasain kan? Makanya dia beliin.”
Iiih! Tari menatap Oji dengan mata menyipit saking ngak percayanya. Kok ada ya, cowok yang brengseknya kayak Ari sama jongosnya ini!
“Bawa lagi tu coklat. Gue ngak sudi. Kalo gue mau, gue bisa beli sendiri. Semahal apa sih harga coklat?” Oji tidak mengacuhkan ucapan Tari itu. Dia malah mengeluarkan isi paperbag. Seisi kelas kontan ternganga. Mereka langsung menyesalkan keputusan Tari menolak pemberian Ari itu. satu stoples coklat yang benar-benar cantik. Bentuknya macam-macam. Ada yang lucu, ada yang manis, warna-warni pula. Kekaguman teman-teman sekelas Tari yang menjelma dalam bentuk dengungan samar membuat Oji mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Cowok itu yakin Tari pasti kagum juga dan tidak jadi menolak. Dugaannya melesat.
“Kakak kali, yang belum pernah ngerasain coklat kayak gitu,” ejek Tari.
“Gue sih udah pernah. Biasa aja. Cuma coklat kayak gitu aja sampe jadi langganan seleb sama orang kaya. Ngak mungkin! Bohong lo! Belagu!”
“Oh, gitu.” Sekali lagi Oji mengangkat alis.
“Oke.” Dikeluarkannya ponselnya dari saku celana.
“Coklatnya ditolak Bos.” Seisi kelas kontan menahan napas. Bakalan gawat nih!
“Lo tuh ya, apa-apa ngadu, apa-apa ngadu,” desis Tari kesal.
“Ini laporan. Bukan ngadu,” jawab Oji kalem. Perhatiannya kemudian kembali ke ponsel yang masih menempel di satu telinganya itu.
“Siap Bos!” dia mengangguk-angguk. Dijauhkannya ponselnya dari telinga.
“Kata Bos Ari, terima, terima semua. Tolak, tolak semua. Jadi, sini seragam lo. Kasih ke gue.”
“Lo sinting ya!?” Tari kontan melotot. Oji langsung menempelkan kembali ponselnya ke telinga. “Gue dikatain sinting Bos!” lapornya dengan intonasi seolah-olah dirinya terluka dan sakit hati. “Gitu?...siap Bos!” Cowok itu mematikan ponselnya, kemudian menatap Tari.
“Beneran nih elo ngak mau terima coklatnya?” kembali dia memastikan untuk yang terakhir kali. “Iiiih!” Dengan gemas Tari mengetuk-ngetukan bolpoinnya ke meja.
“Kakak tuh budeknya parah banget ya? Nih, gue ulangin. Dengar ya...” Tari diam sesaat. Kemudian dia teruskan kalimatnya dengan penekanan. “Gue...ngak...mau...terima... tu coklat! Ngak akan!!!” Sekali lagi sebagian besar teman-teman sekelas Tari menyesalkan keputusan itu. Kalau Tari ngak sudi menerima apalagi memakannya, banyak banget mulut yang siap menampung. satu stoples gitu doang kurang malah. Gila, tuh coklat bikinan toko coklat te-o-pe be-ge-te. Harganya dipastikan muahal. Rasanya juga bisa dipastikan uenak. Bentuknya juga lucu-lucu buanget. Pokoknya ngak bisa dibandingin sama coklat-coklat yang dijual di supermarket-supermarket. Apalagi coklat yang dijual dikantin. Juauh!
“Oke.” Oji mengangguk. Sikapnya tetap santai. Diambilnya stoples berisi coklat itu, lalu dia masukkan kembali kedalam paperbag. Kemudian didekatkannya ponselnya ke telinga setelah sebelumnya ditekannya tombol kontak.
“Fix, Bos. Dia ngak mau terima coklatnya.” Seisi kelas kontan jadi tegang. Termasuk Tari sendiri. Tapi dia sudah bertekad, akan dilawannya Ari habis-habisan. Biar tu cowok tahu, ngak semua orang takut sama dia. Juga ngak semua cewek naksir dia dan pastinya, ngak semua cewek gampang lumer sama rayuannya. Apalagi cuma pake coklat! Tak lama Ari muncul. Suasana kelas jadi semakin tegang. Kedua matanya langsung tertancap pada Tari. Bahkan ketika Oji mengangsurkan paperbag berisi stoples coklat cantik itu, tatapan Ari tidak berpaling. Diterimanya paperbag itu tanpa bicara. Cowok itu menunjukan ucapan pertamanya untuk Fio.
“Gue pinjem bangku lo sebentar, Fi.” Fio jelas langsung melaksanakan perintah itu.
“Gue ngungsi dulu ya, Tar.” ucapnya lirih. Dengan rasa bersalah tapi tak bisa berbuat apa-apa, Fio bangkit berdiri dan mengungsi ke bangku kosong terdekat.
Sambil meletakkan paperbag diatas meja, Ari menggeser bangku Fio yang sekarang kosong itu, mendekati Tari. Cowok itu duduk dan meletakkan kedua tangannya diatas meja. Kesepuluh jarinya lalu saling bertaut. Kemudian, dengan punggung sedikit dibungkukkan agar sejajar dengan Tari, Ari menoleh dan menatap cewek yang posisi duduknya telah dibuatnya teramat dekat disebelahnya itu. Wajah yang cemberut, mata yang memerah serta menyorotkan kemarah, dan bibir yang terkatup rapat, membuat Ari sejenak menarik napas panjang.
“Sampe kapan lo mau terus ngelawan gue?” tanyanya dengan suara pelan. Tari tidak menjawab. “Bodyguard lo, si Angga, udah ngak ada. Lo mau ngelawan gue sendirian?” Lagi-lagi Tari tidak menjawab. Gangguan Ari yang beruntun dilapangan tadi membuat kekuatan mentalnya mencapai batas akhir. Tapi kedua matanya menentang tatapan Ari, lurus dan terang-terangan. Ari tersenyum. “Capek lo ntar,” ucap Ari lunak. Digesernya paperbag didepannya ke depan Tari. “Ni coklat gue sendiri yang beli. Bukan nyuruh Oji atau orang lain. Gue sendiri yang jalan kesana tadi dan ini pertama kali nya gue ngasih sesuatu buat cewek.” Tari menatap paperbag itu dengan pandangan dingin. Bentuk penolakan tanpa kata-kata. Ari menunggu. Ketika beberapa detik terlewat dan cewek disebelahnya itu tak juga memberikan reaksi lain selain diam, diulurkannya tangan kirinya dan diletakkannya di puncak kepala Tari. Seketika Tari berusaha mengelak dgn menjauhkan kepalanya, tapi ternyata kelima jari Ari mencengkeram puncak kepala Tari seperti jari-jari sebuah robot. Cowok itu kemudian memaksa Tari menatap kedua matanya dan ketika kemudian dia bicara, nada lunaknya mulai diwarnai penekanan.
“Jadi lebih baik lo berenti ngelawan. Karena kalo lo terus kayak gini, terus ngelawan gue, lama-lama gangguan gue akan semakin parah dan belum tentu gue bersedia berenti meskipun lo udah nyerah.” Monolog itu, karena Tari terus bungkam, diucapkan Ari dengan suara pelan. Tapi karena suasana kelas yang sontak hening begitu pentolan sekolah itu muncul di ambang pintu tadi, suara Ari bisa ditangkap oleh hampir sebagian besar isi kelas. Termasuk Oji, yang duduk diatas meja Devi, dua meja dibelakang meja Tari. Cowok itu langsung mengatupkan kedua bibirnya, menahan senyum. Ngasih coklat tapi buntutnya ngancem. Emang dasar si Ari! ucap Oji dalam hati, geli. Tiba-tiba Ari mendekatkan tubuhnya dan berbisik di telinga Tari.
“Ni coklat, murni. Bukan karena Ata abis telepon gue. Curhat lo pasti penuh dengan tangis dan air mata ya, karena tadi ditelepon Ata sampe ngamuk. Sama sekali bukan karena itu. Tanpa Ata telepon pun, gue udah niat ngasih coklat ke elo.” Ari menjauhkan kembali tubuhnya. Diusap-usapnya puncak kepala Tari.
“Okeee?” nada suaranya kembali normal. “Tolong dipertimbangkan omongan gue barusan. Kemudian cowok itu bangkit berdiri.
“Balik Ji,” ucapnya sambil berjalan kearah pintu. Oji langsung melompat turun dari meja yang didudukinya dan menjajari Ari. Tari mengikuti kepergian pentolan sekolah itu dengan tatapan benci. Begitu Ari telah hilang dibalik pintu. Tari langsung berdiri. Dengan kesal disambarnya paperbag berisi coklat pemberian Ari, lalu dilemparnya begitu saja kearah kerumunan teman-temannya. Dengan sigap, Chiko buru-buru menangkap. “Lo-lo pada makan deh tuh coklat. Abisin!”
“Asyeeeeeiiik!!!” langsung terdengar seruan-seruan riang. Setelah mengambil ponselnya dari dalam tas, Tari kemudian bergegas keluar. Melihat itu Fio langsung berdiri. Tapi ternyata untuk mencapai pintu yang jaraknya tidak terlalu jauh itu, sekarang diperlukan usaha keras. Bentuk coklat yang lucu-lucu dan warna-warni pula, ditambah jumlahnya yang mungkin cuma setengah dari jumlah penghuni kelas, kontan mengubah ruang kelas itu menjadi medan pertempuran memperebutkan coklat pemberian Ari. Nongender. Cowok-cewek. Saling tarik, saling dorong, saling rebut. Ruang kelas jadi penuh manusia yang berlarian ke segala arah. Meja dan bangku jd berantakan. Cewek-cewek menggunakan serangan yang para cowok ngak tega untuk membalas. Nyubit. Gantinya, para cowok melancarkan serangan balik yang membuat para cewek berlarian menghindar atau menjerit-jerit. “Ayooo, kasih ngak coklatnya ke gueee? Kalo ngak, entar gue peluk nih. Atau gue cium malah.” Alhasil, yang kemudian keluar sebagai pemenang sebagian besar emang cowok-cowok. Fio, yang setengah mati berusaha mencapai pintu untuk menyusul Tari, akhirnya berseru kesal.
“AWAS KENAPA SIIIH!?” Dia entakkan kaki keras-keras ke lantai.
“Dasar udik. Baru coklat gitu aja direbutin. Pada ngak pernah makan coklat kayak gitu ya? Dasar norak!”
“SPONGEBOB SQUAREPAAAAAANTS!!!” sebuah seruan keras menyertai sebuah tangan yang tiba-tiba terjulur tepat didepan muka Fio, menggenggam salah satu tokoh kartun favoritnya, Spongebob. “Iih, lucuuuuu!” Fio langsung histeris.
“Buat gue! Buat gue!” serunya sambil berusaha merebut coklat itu.
“Enak aja!” Seketika tangan itu, yang ternyata milik Jimmy, menghilang dari depan muka Fio.
“Lo ngak liat apa? Gue harus membunuh 5 orang teman demi mendapatkan si busa kotak.” Jimmy menjauh sambil ketawa-ketawa puas, karena Fio adalah cewek kesekian yang histeris melihat coklat ditangannya tapi tak berdaya untuk merebut.
“Kok gue jadi ikut-ikutan gini sih?” Fio tersadar. “Ck!” Dijitaknya kepalanya sendiri, lalu buru-buru dicarinya jalan untuk mencapai pintu. Fio berhasil keluar kelas bertepatan dengan dua orang guru dari dua kelas yg bersebelahan mendatangi kelasnya dengan muka marah. Soalnya kegaduhan dikelas itu sudah seperti ditengah pasar. Ketika Fio sampai digudang dan membuka pintunya yang ternyata tidak dikunci, dilihatnya Tari sedang bicara ditelepon dengan nada berapi-api.
“Iya, barusan aja dia ngasih coklat. Tapi maksa. Gue kudu terima. Udah gitu, abis itu gue diancem, disuruh berenti ngelawan dia. Katanya kalo gue ngak berenti ngelawan, dia gangguinnya juga bakalan makin parah...coklatnya gue kemanain?...Gue sebar dikelas!...Ngak sudi gue makan coklat yang dikasih kak Ari. Ntar kalo dia taroin racun, gimana hayo? Atau dia kasih jampi-jampi. Dari musuhan trus kami jadi temenan deh gitu. Malah trus jadi akrab banget...Kok lo ketawa sih?...Hiperbola?...Ngaklah. Itu bisa kejadian tau!” Fio mengunci pintu gudang. Sebentar lagi bel istirahat berbunyi. Jangan sampai ada yang tidak sengaja membuka pintu lalu memergoki pembicaraan Tari. Cewek itu kemudian menyandarkan punggung ke dinding. Menunggu Tari selesai menumpahkan kemarahannya, yang bahkan baru diteleponnya 30 menit yang lalu. Begitu menutup telepon, Tari langsung menatap Fio.
“Lo punya duit ngak?”
“Buat apa?” Fio balik menatap, bingung.
“Ya beli baju seragam baru lah. Dikoperasi. Masa gue mesti pake baju seragam gue yang tadi dipake kak Ari? Bekas keringetnya dia gitu. Gila kali!”
“Dari kak Ari nih,” ucapnya dengan suara pelan, sambil mengangsurkan seragam ditangannya pada sang pemilik.
“Makasih ya Ren,” ucap Tari, juga dengan suara pelan. Renata mengangguk dan tidak bicara apa-apa lagi. Ditepuk-tepuknya bahu Tari, kemudian melangkah menuju bangkunya sendiri. Suasanan kelas X-9 kembali normal. 20 menit jam olahraga yang msh tersisa langsung dimanfaatkan oleh sebagian besar penghuni kelas untuk merapikan catatan biologi. Karena dari desas-desus yang santer beredar, Bu Endang akan melakukan pemeriksaan catatan mendadak. Sebagian besar dari mereka masih mengenakan kaus olahraga, menunggu sampai keringat benar-benar kering. Sayangnya, suasana yang sudah membaik dan tenang itu dirusak oleh kedatangan Oji. Tiba-tiba saja antek Ari itu muncul diambang pintu dan langsung memasuki kelas. Tangan kanannya menenteng paperbag warna merah hati. Seisi kelas kontan terdiam, menghentikan kegiatan masing-masing dan memfokuskan perhatian pada sang senior itu. Mereka sudah bisa menduga, kemunculan Oji pasti berkaitan dengan peristiwa dilapangan.
“Dari Ari.” ucap Oji pendek. Diletakkannya paperbag itu di meja Tari. Tari menatap paperbag itu dengan pandang dingin. “Kenapa ngak dia sendiri yang datang minta maaf?” tanyanya ketus.
“Weits! Ati-ati lo ngomong,” ucap Oji dengan nada tajam.
“Siapa bilang Bos minta maaf? Dia cuma nyuruh gue ngasih ni coklat. Buat elo katanya.”
“Trus, kalo bukan untuk minta maaf, ngapain dia ngasih-ngasih coklat?”
“Ya ngasih aja. Emangnya kudu pake alesan? Coklat mahal tuh. Langganannya orang-orang kaya sama selebriti. Lo pasti belum pernah ngerasain kan? Makanya dia beliin.”
Iiih! Tari menatap Oji dengan mata menyipit saking ngak percayanya. Kok ada ya, cowok yang brengseknya kayak Ari sama jongosnya ini!
“Bawa lagi tu coklat. Gue ngak sudi. Kalo gue mau, gue bisa beli sendiri. Semahal apa sih harga coklat?” Oji tidak mengacuhkan ucapan Tari itu. Dia malah mengeluarkan isi paperbag. Seisi kelas kontan ternganga. Mereka langsung menyesalkan keputusan Tari menolak pemberian Ari itu. satu stoples coklat yang benar-benar cantik. Bentuknya macam-macam. Ada yang lucu, ada yang manis, warna-warni pula. Kekaguman teman-teman sekelas Tari yang menjelma dalam bentuk dengungan samar membuat Oji mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Cowok itu yakin Tari pasti kagum juga dan tidak jadi menolak. Dugaannya melesat.
“Kakak kali, yang belum pernah ngerasain coklat kayak gitu,” ejek Tari.
“Gue sih udah pernah. Biasa aja. Cuma coklat kayak gitu aja sampe jadi langganan seleb sama orang kaya. Ngak mungkin! Bohong lo! Belagu!”
“Oh, gitu.” Sekali lagi Oji mengangkat alis.
“Oke.” Dikeluarkannya ponselnya dari saku celana.
“Coklatnya ditolak Bos.” Seisi kelas kontan menahan napas. Bakalan gawat nih!
“Lo tuh ya, apa-apa ngadu, apa-apa ngadu,” desis Tari kesal.
“Ini laporan. Bukan ngadu,” jawab Oji kalem. Perhatiannya kemudian kembali ke ponsel yang masih menempel di satu telinganya itu.
“Siap Bos!” dia mengangguk-angguk. Dijauhkannya ponselnya dari telinga.
“Kata Bos Ari, terima, terima semua. Tolak, tolak semua. Jadi, sini seragam lo. Kasih ke gue.”
“Lo sinting ya!?” Tari kontan melotot. Oji langsung menempelkan kembali ponselnya ke telinga. “Gue dikatain sinting Bos!” lapornya dengan intonasi seolah-olah dirinya terluka dan sakit hati. “Gitu?...siap Bos!” Cowok itu mematikan ponselnya, kemudian menatap Tari.
“Beneran nih elo ngak mau terima coklatnya?” kembali dia memastikan untuk yang terakhir kali. “Iiiih!” Dengan gemas Tari mengetuk-ngetukan bolpoinnya ke meja.
“Kakak tuh budeknya parah banget ya? Nih, gue ulangin. Dengar ya...” Tari diam sesaat. Kemudian dia teruskan kalimatnya dengan penekanan. “Gue...ngak...mau...terima... tu coklat! Ngak akan!!!” Sekali lagi sebagian besar teman-teman sekelas Tari menyesalkan keputusan itu. Kalau Tari ngak sudi menerima apalagi memakannya, banyak banget mulut yang siap menampung. satu stoples gitu doang kurang malah. Gila, tuh coklat bikinan toko coklat te-o-pe be-ge-te. Harganya dipastikan muahal. Rasanya juga bisa dipastikan uenak. Bentuknya juga lucu-lucu buanget. Pokoknya ngak bisa dibandingin sama coklat-coklat yang dijual di supermarket-supermarket. Apalagi coklat yang dijual dikantin. Juauh!
“Oke.” Oji mengangguk. Sikapnya tetap santai. Diambilnya stoples berisi coklat itu, lalu dia masukkan kembali kedalam paperbag. Kemudian didekatkannya ponselnya ke telinga setelah sebelumnya ditekannya tombol kontak.
“Fix, Bos. Dia ngak mau terima coklatnya.” Seisi kelas kontan jadi tegang. Termasuk Tari sendiri. Tapi dia sudah bertekad, akan dilawannya Ari habis-habisan. Biar tu cowok tahu, ngak semua orang takut sama dia. Juga ngak semua cewek naksir dia dan pastinya, ngak semua cewek gampang lumer sama rayuannya. Apalagi cuma pake coklat! Tak lama Ari muncul. Suasana kelas jadi semakin tegang. Kedua matanya langsung tertancap pada Tari. Bahkan ketika Oji mengangsurkan paperbag berisi stoples coklat cantik itu, tatapan Ari tidak berpaling. Diterimanya paperbag itu tanpa bicara. Cowok itu menunjukan ucapan pertamanya untuk Fio.
“Gue pinjem bangku lo sebentar, Fi.” Fio jelas langsung melaksanakan perintah itu.
“Gue ngungsi dulu ya, Tar.” ucapnya lirih. Dengan rasa bersalah tapi tak bisa berbuat apa-apa, Fio bangkit berdiri dan mengungsi ke bangku kosong terdekat.
Sambil meletakkan paperbag diatas meja, Ari menggeser bangku Fio yang sekarang kosong itu, mendekati Tari. Cowok itu duduk dan meletakkan kedua tangannya diatas meja. Kesepuluh jarinya lalu saling bertaut. Kemudian, dengan punggung sedikit dibungkukkan agar sejajar dengan Tari, Ari menoleh dan menatap cewek yang posisi duduknya telah dibuatnya teramat dekat disebelahnya itu. Wajah yang cemberut, mata yang memerah serta menyorotkan kemarah, dan bibir yang terkatup rapat, membuat Ari sejenak menarik napas panjang.
“Sampe kapan lo mau terus ngelawan gue?” tanyanya dengan suara pelan. Tari tidak menjawab. “Bodyguard lo, si Angga, udah ngak ada. Lo mau ngelawan gue sendirian?” Lagi-lagi Tari tidak menjawab. Gangguan Ari yang beruntun dilapangan tadi membuat kekuatan mentalnya mencapai batas akhir. Tapi kedua matanya menentang tatapan Ari, lurus dan terang-terangan. Ari tersenyum. “Capek lo ntar,” ucap Ari lunak. Digesernya paperbag didepannya ke depan Tari. “Ni coklat gue sendiri yang beli. Bukan nyuruh Oji atau orang lain. Gue sendiri yang jalan kesana tadi dan ini pertama kali nya gue ngasih sesuatu buat cewek.” Tari menatap paperbag itu dengan pandangan dingin. Bentuk penolakan tanpa kata-kata. Ari menunggu. Ketika beberapa detik terlewat dan cewek disebelahnya itu tak juga memberikan reaksi lain selain diam, diulurkannya tangan kirinya dan diletakkannya di puncak kepala Tari. Seketika Tari berusaha mengelak dgn menjauhkan kepalanya, tapi ternyata kelima jari Ari mencengkeram puncak kepala Tari seperti jari-jari sebuah robot. Cowok itu kemudian memaksa Tari menatap kedua matanya dan ketika kemudian dia bicara, nada lunaknya mulai diwarnai penekanan.
“Jadi lebih baik lo berenti ngelawan. Karena kalo lo terus kayak gini, terus ngelawan gue, lama-lama gangguan gue akan semakin parah dan belum tentu gue bersedia berenti meskipun lo udah nyerah.” Monolog itu, karena Tari terus bungkam, diucapkan Ari dengan suara pelan. Tapi karena suasana kelas yang sontak hening begitu pentolan sekolah itu muncul di ambang pintu tadi, suara Ari bisa ditangkap oleh hampir sebagian besar isi kelas. Termasuk Oji, yang duduk diatas meja Devi, dua meja dibelakang meja Tari. Cowok itu langsung mengatupkan kedua bibirnya, menahan senyum. Ngasih coklat tapi buntutnya ngancem. Emang dasar si Ari! ucap Oji dalam hati, geli. Tiba-tiba Ari mendekatkan tubuhnya dan berbisik di telinga Tari.
“Ni coklat, murni. Bukan karena Ata abis telepon gue. Curhat lo pasti penuh dengan tangis dan air mata ya, karena tadi ditelepon Ata sampe ngamuk. Sama sekali bukan karena itu. Tanpa Ata telepon pun, gue udah niat ngasih coklat ke elo.” Ari menjauhkan kembali tubuhnya. Diusap-usapnya puncak kepala Tari.
“Okeee?” nada suaranya kembali normal. “Tolong dipertimbangkan omongan gue barusan. Kemudian cowok itu bangkit berdiri.
“Balik Ji,” ucapnya sambil berjalan kearah pintu. Oji langsung melompat turun dari meja yang didudukinya dan menjajari Ari. Tari mengikuti kepergian pentolan sekolah itu dengan tatapan benci. Begitu Ari telah hilang dibalik pintu. Tari langsung berdiri. Dengan kesal disambarnya paperbag berisi coklat pemberian Ari, lalu dilemparnya begitu saja kearah kerumunan teman-temannya. Dengan sigap, Chiko buru-buru menangkap. “Lo-lo pada makan deh tuh coklat. Abisin!”
“Asyeeeeeiiik!!!” langsung terdengar seruan-seruan riang. Setelah mengambil ponselnya dari dalam tas, Tari kemudian bergegas keluar. Melihat itu Fio langsung berdiri. Tapi ternyata untuk mencapai pintu yang jaraknya tidak terlalu jauh itu, sekarang diperlukan usaha keras. Bentuk coklat yang lucu-lucu dan warna-warni pula, ditambah jumlahnya yang mungkin cuma setengah dari jumlah penghuni kelas, kontan mengubah ruang kelas itu menjadi medan pertempuran memperebutkan coklat pemberian Ari. Nongender. Cowok-cewek. Saling tarik, saling dorong, saling rebut. Ruang kelas jadi penuh manusia yang berlarian ke segala arah. Meja dan bangku jd berantakan. Cewek-cewek menggunakan serangan yang para cowok ngak tega untuk membalas. Nyubit. Gantinya, para cowok melancarkan serangan balik yang membuat para cewek berlarian menghindar atau menjerit-jerit. “Ayooo, kasih ngak coklatnya ke gueee? Kalo ngak, entar gue peluk nih. Atau gue cium malah.” Alhasil, yang kemudian keluar sebagai pemenang sebagian besar emang cowok-cowok. Fio, yang setengah mati berusaha mencapai pintu untuk menyusul Tari, akhirnya berseru kesal.
“AWAS KENAPA SIIIH!?” Dia entakkan kaki keras-keras ke lantai.
“Dasar udik. Baru coklat gitu aja direbutin. Pada ngak pernah makan coklat kayak gitu ya? Dasar norak!”
“SPONGEBOB SQUAREPAAAAAANTS!!!” sebuah seruan keras menyertai sebuah tangan yang tiba-tiba terjulur tepat didepan muka Fio, menggenggam salah satu tokoh kartun favoritnya, Spongebob. “Iih, lucuuuuu!” Fio langsung histeris.
“Buat gue! Buat gue!” serunya sambil berusaha merebut coklat itu.
“Enak aja!” Seketika tangan itu, yang ternyata milik Jimmy, menghilang dari depan muka Fio.
“Lo ngak liat apa? Gue harus membunuh 5 orang teman demi mendapatkan si busa kotak.” Jimmy menjauh sambil ketawa-ketawa puas, karena Fio adalah cewek kesekian yang histeris melihat coklat ditangannya tapi tak berdaya untuk merebut.
“Kok gue jadi ikut-ikutan gini sih?” Fio tersadar. “Ck!” Dijitaknya kepalanya sendiri, lalu buru-buru dicarinya jalan untuk mencapai pintu. Fio berhasil keluar kelas bertepatan dengan dua orang guru dari dua kelas yg bersebelahan mendatangi kelasnya dengan muka marah. Soalnya kegaduhan dikelas itu sudah seperti ditengah pasar. Ketika Fio sampai digudang dan membuka pintunya yang ternyata tidak dikunci, dilihatnya Tari sedang bicara ditelepon dengan nada berapi-api.
“Iya, barusan aja dia ngasih coklat. Tapi maksa. Gue kudu terima. Udah gitu, abis itu gue diancem, disuruh berenti ngelawan dia. Katanya kalo gue ngak berenti ngelawan, dia gangguinnya juga bakalan makin parah...coklatnya gue kemanain?...Gue sebar dikelas!...Ngak sudi gue makan coklat yang dikasih kak Ari. Ntar kalo dia taroin racun, gimana hayo? Atau dia kasih jampi-jampi. Dari musuhan trus kami jadi temenan deh gitu. Malah trus jadi akrab banget...Kok lo ketawa sih?...Hiperbola?...Ngaklah. Itu bisa kejadian tau!” Fio mengunci pintu gudang. Sebentar lagi bel istirahat berbunyi. Jangan sampai ada yang tidak sengaja membuka pintu lalu memergoki pembicaraan Tari. Cewek itu kemudian menyandarkan punggung ke dinding. Menunggu Tari selesai menumpahkan kemarahannya, yang bahkan baru diteleponnya 30 menit yang lalu. Begitu menutup telepon, Tari langsung menatap Fio.
“Lo punya duit ngak?”
“Buat apa?” Fio balik menatap, bingung.
“Ya beli baju seragam baru lah. Dikoperasi. Masa gue mesti pake baju seragam gue yang tadi dipake kak Ari? Bekas keringetnya dia gitu. Gila kali!”
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar