Lanjutan Novel Jingga dan Senja...
Bab 4 (1)
Kemunculan Ari dan kesediaan cowok itu untuk
berlutut, bahkan di kaki salah satu temannya untuk keselamatan Tari, akhirnya
meyakinkan Angga bahwa Tari memang punya arti penting untuk Ari.
Dan saat Brahmana atau yang biasa disapa Bram,
teman karibnya yang bertugas untuk menghadapi Ari tadi muncul di pintu, Angga
sudah tahu tindakan apa yang harus diambilnya.
“Dia udah pergi,” lapor Bram. Angga mengangguk.
Diliriknya jam di pergelangan tangan.
“Yuk, Tar. Gue anter lo pulang. Fio, lo dianter Bram ya,” ucapnya sambil melompat turun dari meja yang sedari tadi didudukinya. Tari dan Fio menatap Angga dengan bingung. “Kenapa heran? Lo berdua masih mikir kami tu jahat ya?”
Tari melirik Fio. Keduanya saling tatap dengan cemas. Angga tersenyum geli sementara Bram cuma tersenyum tipis.
“Nggaklah. Kalo emang niat mau diapa-apain udah dari tadi, lagi,” Angga menenangkan. “Yuk, udah sore nih.”
Cowok itu kemudian berjalan ke pintu, menyusul Bram yang sudah keluar lebih dulu. Di belakangnya, Bako dan Moko menyusul. Tari dan Fio kembali saling pandang, lalu bangkit berdiri dan menyusul keempat cowok tadi. Di halamna depan, di sisi lapangan basket, Bram sudah berdiri di samping motornya. Diulurkannya jaketnya pada Fio begitu cewek itu sampai di sebelahnya.
“Yuk, Tar. Gue anter lo pulang. Fio, lo dianter Bram ya,” ucapnya sambil melompat turun dari meja yang sedari tadi didudukinya. Tari dan Fio menatap Angga dengan bingung. “Kenapa heran? Lo berdua masih mikir kami tu jahat ya?”
Tari melirik Fio. Keduanya saling tatap dengan cemas. Angga tersenyum geli sementara Bram cuma tersenyum tipis.
“Nggaklah. Kalo emang niat mau diapa-apain udah dari tadi, lagi,” Angga menenangkan. “Yuk, udah sore nih.”
Cowok itu kemudian berjalan ke pintu, menyusul Bram yang sudah keluar lebih dulu. Di belakangnya, Bako dan Moko menyusul. Tari dan Fio kembali saling pandang, lalu bangkit berdiri dan menyusul keempat cowok tadi. Di halamna depan, di sisi lapangan basket, Bram sudah berdiri di samping motornya. Diulurkannya jaketnya pada Fio begitu cewek itu sampai di sebelahnya.
“Sekarang emang udah sore, tapi matahari masih
panas,” ucap Bram dengan gaya kalemnya yang khas.
Angga melakukan hal yang sama. Dia ulurkan jaketnya pada Tari.
Angga melakukan hal yang sama. Dia ulurkan jaketnya pada Tari.
“Nama lo emang Matahari, tapi kalo kepanasan
kulit lo tetep jadi gosong, kan?”
“Ya iyalah.” Tari ketawa agak dipaksa mendengar joke garing Angga itu. Diterimanya jaket yang diulurkan cowok itu.
Bram sudah duduk di atas jok motornya, mesin motornya juga sudah menyala. Melihat itu, Tari dan Fio saling pandang dengan raut muka semakin cemas. Angga yang bisa melihat itu sekali lagi berusaha menenangkan.
“Ya iyalah.” Tari ketawa agak dipaksa mendengar joke garing Angga itu. Diterimanya jaket yang diulurkan cowok itu.
Bram sudah duduk di atas jok motornya, mesin motornya juga sudah menyala. Melihat itu, Tari dan Fio saling pandang dengan raut muka semakin cemas. Angga yang bisa melihat itu sekali lagi berusaha menenangkan.
“Gue yang jamin Bram nggak bakalan ngapa-ngapain
elo di jalan, Fi.”
Bram cuma tersenyum tipis. Dia lalu menoleh dan menatap Fio. “Yuk!” ajaknya.
Dengan canggung Fio duduk di boncengan motor Bram, setelah sebelumnya dia kenakan jaket yang diberikan cowok itu tadi.
“Duluan ya!” ucap Bram dan langsung tancap gas.
“Yuk.” Angga menepuk satu bahu Tari, mengakhiri tatapan cewek itu pada ruas jalan di depan sekolah tempat Bram dan Fio menghilang.
Bram cuma tersenyum tipis. Dia lalu menoleh dan menatap Fio. “Yuk!” ajaknya.
Dengan canggung Fio duduk di boncengan motor Bram, setelah sebelumnya dia kenakan jaket yang diberikan cowok itu tadi.
“Duluan ya!” ucap Bram dan langsung tancap gas.
“Yuk.” Angga menepuk satu bahu Tari, mengakhiri tatapan cewek itu pada ruas jalan di depan sekolah tempat Bram dan Fio menghilang.
Angga sudah duduk di atas motornya yang juga
sudah dalam keadaan mesin menyala. Sama seperti Fio, dengan canggung Tari duduk
di boncengan. Segera mereka tinggalkan halaman SMA Brawijaya. Tapi di tengah
perjalanan Angga menepikan motornya. Dia menoleh ke belakang.
“Kalo motornya Bako ada besi di belakangnya,
jadi bisa dijadiin pegangan. Motor gue nggak ada. Jadi daripada ntar lo jatoh,
mendingan pegangan gue aja deh, Tar. Nggak usah takut gue apa-apain. Yang ada
malah elo yang bisa ngapa-ngapain gue.”
“Mmmm…” Tari bingung.
“Mana lo duduknya nyamping gitu, lagi. Kayak emak gue aja. Gue tuh paling males boncengin cewek yang duduknya nyamping begini. Kecuali nyokap. Ya sutralah kalo dia mah. Soalnya keseimbangan motor jadi nggak bagus.”
“Nggak pa-pa deh. Gue duduknya gini aja,” Tari menolaknya.
“Tapi gue nih yang apa-apa. Bawa motornya jadi nggak tenang. Takut lo jatoh. Tolong tuker posisi dong. Please?” Angga memohon. “Serius, gue takut lo jatoh. Nggak ada maksud apa-apa.”
Tari mengalah. Iya sih. Dia juga deg-degan dari tadi, soalnya nggak pernah duduk di boncengan motor dengan posisi menyamping. Mana di belakang nggak ada besi buat pegangan. Udah gitu ban motornya Angga tuh tinggi. Jadi serasa kayak nangkring dia atas pagar yang diakasih jok.
“Mmmm…” Tari bingung.
“Mana lo duduknya nyamping gitu, lagi. Kayak emak gue aja. Gue tuh paling males boncengin cewek yang duduknya nyamping begini. Kecuali nyokap. Ya sutralah kalo dia mah. Soalnya keseimbangan motor jadi nggak bagus.”
“Nggak pa-pa deh. Gue duduknya gini aja,” Tari menolaknya.
“Tapi gue nih yang apa-apa. Bawa motornya jadi nggak tenang. Takut lo jatoh. Tolong tuker posisi dong. Please?” Angga memohon. “Serius, gue takut lo jatoh. Nggak ada maksud apa-apa.”
Tari mengalah. Iya sih. Dia juga deg-degan dari tadi, soalnya nggak pernah duduk di boncengan motor dengan posisi menyamping. Mana di belakang nggak ada besi buat pegangan. Udah gitu ban motornya Angga tuh tinggi. Jadi serasa kayak nangkring dia atas pagar yang diakasih jok.
“Gitu dong.” Angga tersenyum senang saat Tari
menuruti permintaannya. “Oke, lanjut. Pegangan ya. Pegangan jaket gue aja kalo
lo nggak mau pegangan pinggang gue.”
Kembali Tari menuruti permintaan Angga. Mereka melanjutkan perjalanan. Kira-kira satu kilometer menjelang rumah Tari, Angga menghentikan motornya di depan sebuah warung makan.
Kembali Tari menuruti permintaan Angga. Mereka melanjutkan perjalanan. Kira-kira satu kilometer menjelang rumah Tari, Angga menghentikan motornya di depan sebuah warung makan.
“Makan dulu, yuk? Gue dari pagi belom makan,
nih,” katanya sambil mematikan mesin.
“Nggak ah,” kali ini Tari menolak. Ni cowok
ada-ada aja deh, batinnya. “Gue pulang aja deh. Tinggal deket tuh. Ntar kan lo
bisa makan sendiri.”
“Ya ampun, kejamnya. Gue disuruh makan sendirian. Gue Cuma minta ditemenin aja kok, biar nggak kayak orang bego. Bener. Bukan minta dibayarin.”
“Ntar gue bisa diomelin Nyokap nih. Pulang telat banget.”
“Ntar gue yang ngomong ke nyokap lo. Tenang aja. Gue bukan model cowok nggak tanggung jawab.”
“Nggak ah. Gue mau pulang aja,” Tari tetep ngotot.
“Ya udahlah kalo gitu. Nih kuncinya. Lo bawain motor gue sampe ke rumah lo, ya? Ntar gue ambil. Deket, kan?” Angga mengulurkan kunci motornya dengan tampang bego. “Soalnya gue laper banget. Asli, dari pagi belom makan. Dan pingsan pas lagi bawa motor tuh bahaya banget, tau. Bisa menyebabkan kecelakaan beruntun.”
Hiiihhh! Tanpa sadar Tari menepuk pundak Angga dengan gemas, kemudian turun dari motor.
“Ya udah deh. Tapi jangan lama-lama ya?”
“Oke!” Angga mnyeringai. Cowok itu sepertinya tahu persis bagaimana caranya agar Tari meluluskan setiap permintaannya.
“Ya ampun, kejamnya. Gue disuruh makan sendirian. Gue Cuma minta ditemenin aja kok, biar nggak kayak orang bego. Bener. Bukan minta dibayarin.”
“Ntar gue bisa diomelin Nyokap nih. Pulang telat banget.”
“Ntar gue yang ngomong ke nyokap lo. Tenang aja. Gue bukan model cowok nggak tanggung jawab.”
“Nggak ah. Gue mau pulang aja,” Tari tetep ngotot.
“Ya udahlah kalo gitu. Nih kuncinya. Lo bawain motor gue sampe ke rumah lo, ya? Ntar gue ambil. Deket, kan?” Angga mengulurkan kunci motornya dengan tampang bego. “Soalnya gue laper banget. Asli, dari pagi belom makan. Dan pingsan pas lagi bawa motor tuh bahaya banget, tau. Bisa menyebabkan kecelakaan beruntun.”
Hiiihhh! Tanpa sadar Tari menepuk pundak Angga dengan gemas, kemudian turun dari motor.
“Ya udah deh. Tapi jangan lama-lama ya?”
“Oke!” Angga mnyeringai. Cowok itu sepertinya tahu persis bagaimana caranya agar Tari meluluskan setiap permintaannya.
‘Tapi hue nggak makan lho. Nemenin aja,” kata
Tari sambil mengekor langkah Angga memasuki warung makan itu.
“Iya, nemenin aja.”
Makan memang bukan tujuan Angga. Kesediaan Tari untuk menemaninya, itulah tujuan utamanya. Dan waktu dua puluh menit, dengan sepiring nasi sebagai alasan digunakan Angga untuk pendekatan. Alhasil, banyak info tentang cewek itu yang berhasil dia dapatkan. Terutama yang paling krusial. Nomor telepon rumah dan ponsel. Kemudian diantarnya cewek itu sampai di depan rumah.
“Iya, nemenin aja.”
Makan memang bukan tujuan Angga. Kesediaan Tari untuk menemaninya, itulah tujuan utamanya. Dan waktu dua puluh menit, dengan sepiring nasi sebagai alasan digunakan Angga untuk pendekatan. Alhasil, banyak info tentang cewek itu yang berhasil dia dapatkan. Terutama yang paling krusial. Nomor telepon rumah dan ponsel. Kemudian diantarnya cewek itu sampai di depan rumah.
“Udah deh, lo nggak usah bilang ke nyokap gue.
Biar gue sendiri aja,” kata Tari ketika dilihatnya Angga bersiap turun dari
motor.
“Nggak apa-apa nih?”
“Nggak.”
“Oke kalo gitu.”
Kali ini Angga memaksa. Dalam hati dia malah bersyukur, karena sebenarnya dia juga belum menemukan alasan apa yang akan dikatakannya pada mama Tari atas keterlambatan anaknya pulang sekolah ini.
“Nggak apa-apa nih?”
“Nggak.”
“Oke kalo gitu.”
Kali ini Angga memaksa. Dalam hati dia malah bersyukur, karena sebenarnya dia juga belum menemukan alasan apa yang akan dikatakannya pada mama Tari atas keterlambatan anaknya pulang sekolah ini.
Tiga puluh menit setelah Tari sampai di rumah,
Angga mengirimkan SMS, mengabarkan bahwa dia baru saja sampai di rumah dengan
selamat. Cowok itu juga mengucapkan terima kasih karena Tari sudah bersedia
menemaninya makan, sekaligus minta maaf karena sudah memaksa. Membaca SMS Angga,
senyum Tari mengembang lebar.
“Cowok aneh,” katanya dengan nada yang mungkin
tidak disadarinya, terdengar senang.
***
Berkilo-kilo meter dari situ, keadaan yang
sangat berbeda terjadi. Di sebuah gedung olahraga untuk umum yang berisi tiga
lapangan futsal, Ari duduk gelisah di tribun penonton. Sama sekali tidak
tertarik untuk ikut bermain.
Kepalanya dipenuhi kecemasan akan kondisi Tari.
Meskipun dia merasa janji yang diberikan Angga lewat sorot mata dan ungkapan
lisan salah satu temannya bisa dipegang, itu tidak bisa dijadikan jaminan.
Ditambah lagi, Tari berada di luar jangkauan jaringan komunikasinya. Oji yang
bolak-balik dikontaknya belum juga berhasil mendapatkan nomor telepon Tari atau
orang-orang yang mengenal cewek itu. Ari jadi makin senewen lagi.
“Ri, gantiin Didit tuh. Dia mau pulang!” seru
Ridho dari lapangan. Ari menggeleng.
“Lagi males gue!” balasnya berseru. Tapi tak lama dia berubah pikiran, setelah masuk SMS baru dari Oji, yang lagi-lagi melaporkan bahwa pelacakannya belum membuahkan hasil. Ari berdecak keras sambil menutup fitur pesan.
“Lagi males gue!” balasnya berseru. Tapi tak lama dia berubah pikiran, setelah masuk SMS baru dari Oji, yang lagi-lagi melaporkan bahwa pelacakannya belum membuahkan hasil. Ari berdecak keras sambil menutup fitur pesan.
“Bisa sinting gue nih!” desisnya sambil
meletakkan poselnya di bangku terdekat. Kemudian dia mlepaskan kausnya dan
melemparkannya begitu saja ke deretan bangku terdekat. Dengan bertelanjang
dada, cowok itu berlari menuruni tangga tribun lalu melompati pagar pembatas.
“Gue ikutan!” serunya sambil berjalan ke tengah
lapangan.
Ridho dan delapan cowok yang berdiri di lapangan
menyambut bergabungnya Ari dengan senang hati. Bukan saja mereka bisa
meneruskan permainan, tapi juga setelah ini mereka punya alasan untuk minta
traktir. Ari memang sudah terkenal banyak duit dan asyiknya, nggak pelit.
“Gitu dong. Kami udah mau bubaran nih gara-gara
jumlahnya nggak berimbang,” kata Rachman. Sementara Didit berjalan ke luar
lapangan.
“Gue balik dulu ya!” serunya.
“Oke!” balas semuanya. Ari mengambil bola dari tangan Eki.
“Sampe pagi, ya?” katanya.
“Haaah?” teman-temannya menatap ternganga, tapi tidak sempat bertanya karena Ari keburu menendang bola yang tadi dipegangnya.
Kecemasan dan kegelisahan itu hanya miliknya sendiri, tapi sembilan orang teman diajaknya untuk ikut menanggungnya. Semula mereka mengira Ari hanya bercanda. Tapi ternyata cowok itu benar-benar memaksa semua temannya bermain futsal selama berjam-jam. Dihadangnya keinginan mereka untuk pulang dengan satu kalimat yang sebenarnya membuat kesembilan cowok itu dalam hati merasa kesal.
“Gue balik dulu ya!” serunya.
“Oke!” balas semuanya. Ari mengambil bola dari tangan Eki.
“Sampe pagi, ya?” katanya.
“Haaah?” teman-temannya menatap ternganga, tapi tidak sempat bertanya karena Ari keburu menendang bola yang tadi dipegangnya.
Kecemasan dan kegelisahan itu hanya miliknya sendiri, tapi sembilan orang teman diajaknya untuk ikut menanggungnya. Semula mereka mengira Ari hanya bercanda. Tapi ternyata cowok itu benar-benar memaksa semua temannya bermain futsal selama berjam-jam. Dihadangnya keinginan mereka untuk pulang dengan satu kalimat yang sebenarnya membuat kesembilan cowok itu dalam hati merasa kesal.
“Lo-lo kayak cewek aja sih. Baru jam segini udah
ribut minta pulang.”
Sama sekali bukan karena Ari yang membayar sewa lapangan ditambah berbotol-botol minuman dingin yang membuat kesembilan temannya kemudian terpaksa menuruti kemauannya itu. Tapi karena mereka tahu Ari nggak punya ibu, melainkan hanya punya seorang ayah yang hubungannya juga sama sekali jauh dari baik apalagi hangat.
Sama sekali bukan karena Ari yang membayar sewa lapangan ditambah berbotol-botol minuman dingin yang membuat kesembilan temannya kemudian terpaksa menuruti kemauannya itu. Tapi karena mereka tahu Ari nggak punya ibu, melainkan hanya punya seorang ayah yang hubungannya juga sama sekali jauh dari baik apalagi hangat.
Jadi, tidak akan ada yang menelepon Ari lalu
berteriak di seberang sana, bertanya kenapa belum pulang juga. Tidak akan ada
yang menyambutnya di teras atau di pintu rumah dengan muka marah, yang akan
disusul dengan rentetan pertanyaan menyelidik yang harus dijawab. Dari mana,
dengan siapa, dan aoa saja yang dilakukan sampai harus pulang sangat sangat
terlambat.
Tidak ada hukuman berupa pengurangan uang saku,
pemberlakuan jam malam, penghapusan uang pusa, bahkan penyitaan ponsel.
Intinya, Ari nggak tahu, kalo udah marah, seorang Ibu tuh bisa nyebelin banget.
Setelah bermain futsal sampai kelelahan, Ari
menggelandang kesembilan temannya ke tempat karaoke. Lomba cempreng-cemprengan
nyanyi sambil makan sekenyang-kenyangnya. Tapi acara itu hanya berlangsung
kurang dari setengah jam. Bombardir telepon masuk dan SMS membuat kesembilan
temannya memaksa untuk pulang.
Ari tidak lagi bisa menahan karena waktu memang
sudah menunjukkan beberapa menit menjelang tepat pukul sebelas malam. Ruangan
yang tadi ingar-bingar kini lengang. Tak ayal, kecemasan itu muncul lagi, juga
perasaan sunyi dan sendirian yang sudah sangat akrab dengannya selama ini.
Akhirnya Ari memutuskan untuk membuat dirinya
lelah, bukan pikirannya. Dikendarainya motornya tak tentu arah.
Bernyanyi-nyanyi sendiri di atas kedua roda yang berputar itu, dibelahnya malam
Jakarta dengna berbagai macam suasananya.
Sudut-sudut yang sepi dan lengang. Pasar Induk
yang justru riuh dan ingar-bingar. Deretan rumah dengan tirai tertutup rapat
dan lampu remang-remang. Pos-pos jaga yang berisi orang-orang yang sedang
bermain catur atau sejkedar mengobrol ringan. Begitu dirasakannya tubuhnya
mulai letih dan matanya mulai berat, baru cowok itu memutuskan untuk pulang.
***
Besoknya Ari berangkat ke sekolah pagi-pagi.
Kecemasan membuat tubuhnya tetap kuat meskipun hanya tidur kurang dari tiga
jam. Dua orang petugas sekuriti yang berjaga di pintu gerbang sampai
terheran-heran. Mereka kemudian malah curiga, jangan-jangan Ari sengaja dating
pagi untuk menggalang kekuatan guna membals serangan SMA Brawijaya kemarin
siang.
Setelah memarkir motornya, Ari langsung menuju
kelas Tari. Baru satu orang yang dating, yaitu Jimmy, yang memang terkenal
rajin datang pagi. Ari menghampiri cowok itu dan langsung bertanya tanpa prolog
apalagi salam perkenalan.
“Tari dating jam berapa?”
Jimmy yang sedang tenggelam dalam novel grafis V for Fendetta mendongak kaget. Dan jadi lebih kaget lagi begitu tahu siapa yang berdiri di depannya.
Jimmy yang sedang tenggelam dalam novel grafis V for Fendetta mendongak kaget. Dan jadi lebih kaget lagi begitu tahu siapa yang berdiri di depannya.
“Iya, Kak?” tanyanya dengan sikap duduk yang
langusng berubah.
“Tari dating jam berapa?” Ari mengulang pertanyannya .
“Tari yang mana, Kak? Soalnya ada dua Tari.”
Meskipun Jimmy merasa yakin Tari mana yang dicari Ari, dia memutuskan untuk bertanya. Biar lebih jelas. Soalnya yang sedang berdiri di depannya ini senior yang paling ditakuti para junior, jadi dia tidak ingin sampai membuat kesalahan.
“Tari dating jam berapa?” Ari mengulang pertanyannya .
“Tari yang mana, Kak? Soalnya ada dua Tari.”
Meskipun Jimmy merasa yakin Tari mana yang dicari Ari, dia memutuskan untuk bertanya. Biar lebih jelas. Soalnya yang sedang berdiri di depannya ini senior yang paling ditakuti para junior, jadi dia tidak ingin sampai membuat kesalahan.
“Gitu?” Ari terlihat agak kaget.
“Iya. Kakak nyari Tari yang mana? Uteri atau Tari yang satunya?”
“Yang rambutnya lurus panjang. Yang sering pake aksesori warna oranye.”
“Oh, kalo dia sih nggak tentu. Kadang pagi-pagi gini udah dating. Kadang jam setengah tujuh. Kadang udah mau bel baru nongol.”
“Itu yang namanya Utari?”
“Bukan. Uteri yang rambutnya pendek. Yang rambutnya panjang itu namanya Matahari.”
Kedua mata Ari seketika membelalak.
“Namanya Matahari?” desisnya.
“Iya,” Jimmy ketawa. “Tau tuh cewek, namanya aneh banget.”
“Matahri siapa?”
Jimmy tidak langsung menjawab. Dari dalam saku celana, poselnya mengeluarkan ringtone pertanda ada SMS masuk. Dikeluarkannya benda itu.
“Bentar ya, Kak. Ada SMS dari ibu saya,” katanya. Ari mengangguk. “Nama lengakpnya sih unik. Indah malah,” kata Jimmy. Kepalanya menunduk, menekan-nekan tombol poselnya.
“Iya. Kakak nyari Tari yang mana? Uteri atau Tari yang satunya?”
“Yang rambutnya lurus panjang. Yang sering pake aksesori warna oranye.”
“Oh, kalo dia sih nggak tentu. Kadang pagi-pagi gini udah dating. Kadang jam setengah tujuh. Kadang udah mau bel baru nongol.”
“Itu yang namanya Utari?”
“Bukan. Uteri yang rambutnya pendek. Yang rambutnya panjang itu namanya Matahari.”
Kedua mata Ari seketika membelalak.
“Namanya Matahari?” desisnya.
“Iya,” Jimmy ketawa. “Tau tuh cewek, namanya aneh banget.”
“Matahri siapa?”
Jimmy tidak langsung menjawab. Dari dalam saku celana, poselnya mengeluarkan ringtone pertanda ada SMS masuk. Dikeluarkannya benda itu.
“Bentar ya, Kak. Ada SMS dari ibu saya,” katanya. Ari mengangguk. “Nama lengakpnya sih unik. Indah malah,” kata Jimmy. Kepalanya menunduk, menekan-nekan tombol poselnya.
“Siapa?” Tanya Ari.
“Jingga Matahari.”
Jingga Matahari!
Ari terkesiap. Tubuhnya terhuyung. Cepat-cepat disambarnya tepi meja Jimmy. Kekagetan itu tak tersembunyikan. Ari membeku di depan Jimmy. Shock. Pucat pasi.
“Jingga Matahari.”
Jingga Matahari!
Ari terkesiap. Tubuhnya terhuyung. Cepat-cepat disambarnya tepi meja Jimmy. Kekagetan itu tak tersembunyikan. Ari membeku di depan Jimmy. Shock. Pucat pasi.
“Jingga Matahari!?” desisnya, di luar kesadaran.
“Iya,” Jimmy mengangguk sambil tertawa. Kepalanya masih menunduk, membaca deretan kalimat di layar poselnya. “Waktu pertama kali denger, kami juga…” Kalimat Jimmy tidak selesai, tawanya juga langsung terhenti begitu mendongak dan mendapati kondisi Ari. Tatapan heran Jimmy membuat Ari tersadar.
“Iya,” Jimmy mengangguk sambil tertawa. Kepalanya masih menunduk, membaca deretan kalimat di layar poselnya. “Waktu pertama kali denger, kami juga…” Kalimat Jimmy tidak selesai, tawanya juga langsung terhenti begitu mendongak dan mendapati kondisi Ari. Tatapan heran Jimmy membuat Ari tersadar.
“Jangan bilang kalo gue nyari dia,” ucap Ari
dengan suara kering. Jimmy mengangguk.
Diiringi tatapan heran Jimmy, Ari balik badan dan berjalan ke luar kelas. Cowok itu melangkah menuju tempat parker dengan muka pucat dan langkah gamang. Tatapannya terarah lurus ke depan, tapi semua orang yang berpapasan dengannya bisa melihat, focus Ari tidak ada di sana, karena cowok itu seperti tidak mendengar setiap sapaan yang ditujukan untuknya di sepanjang jalan.
Diiringi tatapan heran Jimmy, Ari balik badan dan berjalan ke luar kelas. Cowok itu melangkah menuju tempat parker dengan muka pucat dan langkah gamang. Tatapannya terarah lurus ke depan, tapi semua orang yang berpapasan dengannya bisa melihat, focus Ari tidak ada di sana, karena cowok itu seperti tidak mendengar setiap sapaan yang ditujukan untuknya di sepanjang jalan.
“Jingga Matahari!?” desis Ari. Masih dengan efek
yang sama. Sesuatu seperti menghantam dadanya kuat-kuat dan membuatnya sesak
napas.
Pantas saja ada begitu banyak warna jingga yang melekat pada Tari. Cewek itu begitu mencintai warna matahari, karena ternyata namanya memang Matahari!
Pantas saja ada begitu banyak warna jingga yang melekat pada Tari. Cewek itu begitu mencintai warna matahari, karena ternyata namanya memang Matahari!
Begitu keluar dari koridor utama dan melihat
motornya di kejauhan, Ari merogoh saku celana panjangnya dan mengeluarkan
kunci. Sekolah, belajar, buku-buku, dan para guru, bahkan teman-teman akrabnya,
semua telah terlempar dari benaknya karena satu nama itu. Dia hanya ingin pergi
dan menyendiri.
Baru saja Ari menyalakan mesin motornya,
terdengar satu seruan keras.
“Ari, mau ke mana kamu!?” Bu Sam ternyata sudah
berdiri di mulut koridor.
“Cabut, Bu!” Ari balas berseru.
Bu Sam tercengang. “Ari, turun dari motor! Sekarang!” bentaknya.
Tidak peduli dengan bentakan keras Bu Sam, Ari memacu motornya kea rah pintu gerbang. Meninggalkan bunyi raungan mesin yang membuat siapa pun yang berada di area depan sekolah jadi menoleh sambil tutup kuping.
“Cabut, Bu!” Ari balas berseru.
Bu Sam tercengang. “Ari, turun dari motor! Sekarang!” bentaknya.
Tidak peduli dengan bentakan keras Bu Sam, Ari memacu motornya kea rah pintu gerbang. Meninggalkan bunyi raungan mesin yang membuat siapa pun yang berada di area depan sekolah jadi menoleh sambil tutup kuping.
“ARI! ARII!!!” teriak Bu Sam, tapi sia-sia.
Akhirnya guru itu Cuma bisa geleng-geleng kepala ketika Ari hilang dari
pamdangan.
Membelah lalu lintas pagi Jakarta yang mulai padat, Ari memacu motornya kea rah luar kota. Ada satu tempat yang selalu ditujunya tiap kali dia merasa kacau. Satu tempat yang membuatnya bisa melepaskan semua emosi yang menyesakkan dada, yang bisa membuatnya meninggalkan topeng yang selama ini dia kenakan. Satu-satunya tempat yang masih tersisa dari banyak tempat yang telah menghilang dalam kenangannya.
Membelah lalu lintas pagi Jakarta yang mulai padat, Ari memacu motornya kea rah luar kota. Ada satu tempat yang selalu ditujunya tiap kali dia merasa kacau. Satu tempat yang membuatnya bisa melepaskan semua emosi yang menyesakkan dada, yang bisa membuatnya meninggalkan topeng yang selama ini dia kenakan. Satu-satunya tempat yang masih tersisa dari banyak tempat yang telah menghilang dalam kenangannya.
Di satu ruas jalan Ari menepikan motornya karena
ada yang harus dia lakukan. Dikeluarkannya sehelai T-shirt dari dalam tas.
Cowok itu memang selalu membawa baju ganti karena rumahnya ada di mana-mana.
Rumah dalam arti harfiah, yang bagi sebagian besar teman-temannya adalah tujuan
utama setelah bel pulang berbunyi, atau tujuan pada saat hati dan pikiran
sedang galau. Bagi Ari, rumah justru jadi terminal paling akhir. Because
there’s nobody at home. Just silence.
Selesai mengganti baju seragamnya dengan kaus,
dikeluarkannya ponsel dari saku celana dan dikontaknya Oji. Teman semejanya itu
terkenal punya kebiasaan aneh. Biarpun kena hukuman skorsing, tu anak tetep aja
berangkat sekolah. Lengkap dengan seragam dan buku-buku pelajaran sesuai dengan
jadwal hari itu. Kalau guru memaksanya keluar ruangan, dengan tampang memelas
Oji akan ngomong, “Yaah, Ibu kok tega sih? Saya kan pengin belajar…”
Oji tetap keluar kelas, tapi nggak jauh-jauh. Dia lalu akan berdiri di depan salah satu jendela, melanjutkan menyimak pelajaran dan tetap mencatat dengan posisi buku dia letakkan menempel di kaca jendela. Persis kayak anak nggak mampu yang pengin sekolah tapi nggak bisa.
Oji tetap keluar kelas, tapi nggak jauh-jauh. Dia lalu akan berdiri di depan salah satu jendela, melanjutkan menyimak pelajaran dan tetap mencatat dengan posisi buku dia letakkan menempel di kaca jendela. Persis kayak anak nggak mampu yang pengin sekolah tapi nggak bisa.
Perbuatan Oji itu bikin setiap orang yang
ngeliat jadi terenyuh dan bikin guru yang menyuruhnya keluar kelas jadi merasa
bersalah. Buntutnya, Oji disuruh masuk kelas lagi.
Kalo lagi kena skorsing, Oji juga jadi betah
duduk anteng di bangkunya. Dia juga jadi rajin mencatat dan menyimak setiap
penjelasan guru dengan serius. Padahal kalo hari-hari biasa, maksudnya kalo dia
lagi nggak kena hukuman, tu cowok seneng banget menciptakan huru-hara yang
membuat kelasnya riuh, apalagi kalo Ari yang nyuruh.
“Ji, lo masuk?” Tanya Ari. Di seberang, Oji
langsung terkekeh geli.
“Masuk lah, Bos. Lo kan tau di rumah gue kagak
ada siapa-siapa. Sepi banget.”
“Tolong gue kalo gitu. Tu cewek kelas sepuluh sembilan, Ji. Namanya Jingga Matahari.”
“HAAA!?” Oji kontan memekik. Ari sampai menjauhkan poselnya sesaat dari telinga.
“Tolong gue kalo gitu. Tu cewek kelas sepuluh sembilan, Ji. Namanya Jingga Matahari.”
“HAAA!?” Oji kontan memekik. Ari sampai menjauhkan poselnya sesaat dari telinga.
“Tadi gue udah ke kelasnya, tapi tu cewek belom
dating. Sekarang tolong lo cek barangkali dia udah dating. Kalo udah, liat
kondisinya gimana. Baik-baik aja atau gimana. Trus lo bilang sama dia, jangan
cerita apa-apa soal kemaren. Oke, Ji?”
“Oke. Cewek yang satunya lagi?”
Oji bukannya bego, tetapi karena dia terus menerus mendengar kata benda dalam bentuk tunggal, juga karena ada getar hebat yang coba diredam Ari saat menyebut nama lengkap Tari dan Oji tetap bisa mendengarnya dengan jelas. Kini Oji nmengerti kenapa Ari peduli pada Tari. Karena dia bernama Matahari.
“Oke. Cewek yang satunya lagi?”
Oji bukannya bego, tetapi karena dia terus menerus mendengar kata benda dalam bentuk tunggal, juga karena ada getar hebat yang coba diredam Ari saat menyebut nama lengkap Tari dan Oji tetap bisa mendengarnya dengan jelas. Kini Oji nmengerti kenapa Ari peduli pada Tari. Karena dia bernama Matahari.
“Ya iyalah,” terdengar nada heran dalam suara
Ari. “Suruh mereka jangan cerita apa-apa dulu. Soalnya ini masalah sensi.”
“Sensi?” kening Oji mengerut. “Maksudnya?”
“Ck. Udah deh, nggak usah banyak Tanya. Kerjain aja yang gue suruh. Lo masih mau subsidi makan siang sama rokok nggak?”
“Oke, Bos!” Oji langsung sadar diri. “Lo mau ke mana?”
“Cabut!” jawab Ari pendek dan langsung menutup telepon. Diubahnya status menjadi silent, karena dia benar-benar tidak ingin diganggu. Benar-benar ingin sendirian.
“Sensi?” kening Oji mengerut. “Maksudnya?”
“Ck. Udah deh, nggak usah banyak Tanya. Kerjain aja yang gue suruh. Lo masih mau subsidi makan siang sama rokok nggak?”
“Oke, Bos!” Oji langsung sadar diri. “Lo mau ke mana?”
“Cabut!” jawab Ari pendek dan langsung menutup telepon. Diubahnya status menjadi silent, karena dia benar-benar tidak ingin diganggu. Benar-benar ingin sendirian.
Oji bengong, tapi sesaat kemudian segera
melangkah menuju kelas Tari.
Ternyata Tari dan Fio belum datang. Oji segera
menuju pintu gerbang. Begitu Tari muncul, langsung dicegatnya cewek itu.
Diamatinya lekat-lekat. Dipandanginya dari ujung rambut sampai ujung sepatu,
membuat Tari ketakutan dan hampir saja kabur. Setelah yakin cewek di depannya
baik-baik saja, baru Oji buka mulut.
“Kata Ari, lo sama temen lo jangan cerita
apa-apa dulu soal kemaren. Dia mau liat apa tujuan Angga yang sebenarnya,”
ucapnya tanpa basa-basi. Setelah mengatakan itu, Oji langsung pergi.
Meninggalkan Tari yang berdiri di pintu gerbang, menatap kepergiannya dengan
tampang bingung.
Berpuluh-puluh kilometer dari situ, Ari tengah memacu motornya meninggalkan Jakarta. Menyusuri jalan aspal yang menanjak menuju ketinggian. Membawa serta emosi yang kacau, penat pikiran yang melelahkan, dan hati yang tidak bisa lagi ditenangkan sejak didengarnya satu nama itu.
Berpuluh-puluh kilometer dari situ, Ari tengah memacu motornya meninggalkan Jakarta. Menyusuri jalan aspal yang menanjak menuju ketinggian. Membawa serta emosi yang kacau, penat pikiran yang melelahkan, dan hati yang tidak bisa lagi ditenangkan sejak didengarnya satu nama itu.
Perjalanan berakhir di mulut sebuah jalan kecil.
Dua bangunan yang berfungsi sebagai loket mengapit jalan itu di kiri-kanan. Ari
kembali memacu motornya setelah membayar sebesar jumlah yang tertera.
Diparkirnya motornya di area parker yang saat itu sepi, karena saat ini memang
bukan hari libur.
Dengan langkah pelan dimasukinya tempat wisata
yang merupakan bagian dari taman nasional itu. Banyak yang telah berubah.
Sesuatu yang pasti dan tak terhindari. Namun, ini masih tempat yang sama,
karena pohon-pohon yang berdiri di sana adalah pohon-pohon yang sama yang tegak
sejak belasan tahun lalu.
Dan di antara bangunan-bangunan baru, masih
tersisa satu dari banyak saung yang dulu pernah menjadi cirri khas tempat ini.
Saung favorit Ari. Saat melihat saung tua itu masih berdiri, Ari seperti
mendapatkan kekuatannya kembali.
Cowok itu lalu berdiri tidak jauh di depan saung
itu. Kelu. Bisu. Kue-kue dan cokelat susu panas pernah dinikmatinya di sana.
Juga nasi dan beragam lauk-pauknya. Tawa dan celoteh seseorang yang dul ernah
jadi bagian dari hati dan hidup Ari seperti bergema. Seseorang yang menjadi
bayangan Ari dan Ari juga menjadi bayangan orang itu. Gema tawa itu memberikan
perih yang baru untuk lukanya yang memang selalu menganaga.
Ari mengehela napas panjang dan
menghembusakannya dengan cara seolah-olah ingin mengeluarkan semua sesak yang
menekan dadanya. Cowok itu melangkah mendekati saung, kemudian duduk bersila di
terasnya setelah sebelumnya dia lepaskan kedua sepatunya.
Saung ini jadi saung favorit karena ini
satu-satunya saung yang menghadap ke langit barat. Cowok itu melirik jam
tangannya. Masih jam sembilan pagi. Masih sembilan jam lagi sebelum matahari
tenggelam di belahan langit itu.
Berkali-kali disaksikannya matahari tenggelam
dari tempat ini. Semburat jingganya memenuhi seluruh langit barat. Indah,
megah, dan tak berubah. Dia masih matahari jingga yang sama. Namun matahri
jingga yang lain telah tenggelam bertahun-tahun lalu. Pergi dari hidupnya.
Apakah Matahari yang muncul di depannya kini
adalah pengganti untuk Matahari-nya yang sudah lama pergi? Atau-kah justru
pertanda bahwa dia akan muncul kembali?
***
Keesokan harinya, begitu Ari memasuki tempat
parker, dilihatnya Oji sedang duduk di atas salah satu motor yang diparkir.
Begitu melihat Ari, Oji langsung melompat turun dan menghampiri.
‘Udah gue datengin lagi tu cewek tadi. Iya, dia
nggak cerita ke siapa-siapa. Dan dia juga baik-baik aja, Bos,” lapornya.
“Sebelomnya gue juga udah ke secretariat, tapi mereka ngotot nggak mau ngasih
tau nomor telepon sama alamat rumah Tari. Gue udah Tanya ke orangnya langsung
sih, tapi dia nggak mau ngasih tau. Gue juga nggak mau maksa.”
Ari mengangguk. Dilihatnya jam tangannya. Masih lima belas menit lagi sebelum bel.
“Titip,” diserahakannya tas dan jaketnya ke Oji. “Gue mau ke kelas tu cewek dulu.” Langsung ditinggalkannya Oji, yang masih berdiri di tempatnya, memeluk jaket dan tas milik Ari sampai sang pemilik hilang dari pandangan.
Ari mengangguk. Dilihatnya jam tangannya. Masih lima belas menit lagi sebelum bel.
“Titip,” diserahakannya tas dan jaketnya ke Oji. “Gue mau ke kelas tu cewek dulu.” Langsung ditinggalkannya Oji, yang masih berdiri di tempatnya, memeluk jaket dan tas milik Ari sampai sang pemilik hilang dari pandangan.
“Bakalan ada berita besar nih. Akhirnya ada
cewek yang ditaksir Ari,” desah Oji sambil berjalan kea rah koridor.
Begitu Ari muncul di pintu kelas Tari, saat itu juga cowok itu menjadi fokus tatapan. Semua yang menyadari kehadiran pentolan sekolah itu seketika menghentikan kegiatan masing-masing dan mengikuti setiap langkahnya dengan penuh perhatian sekaligus tanda tanya.
Begitu Ari muncul di pintu kelas Tari, saat itu juga cowok itu menjadi fokus tatapan. Semua yang menyadari kehadiran pentolan sekolah itu seketika menghentikan kegiatan masing-masing dan mengikuti setiap langkahnya dengan penuh perhatian sekaligus tanda tanya.
Sesaat Ari berdiri di ambang pintu, memindai
seluruh isi kelas. Cewek yang dicarinya berada di antara sekelompok cewek yang
duduk berkelompok. Asyik ngobrol dengan riuh. Dasar cewek, katanya dalam hati.
Sehari aja nggak ngegosip, mati kali ya?
Tak seorang pun dari cewek-cewek itu menyadari
kehadiran Ari. Sampai Ari meraih sebuah bangku lalu menariknya tepat ke sebelah
Tari dan menjatuhkan diri di sana, baru cewek-cewek itu tercengang. Apalagi
Tari. Ari menyambut tatapan-tatapan kaget yang terarah padanya itu dengan
senyum.
“Tolong pada pergi ya. Gue mau ngomong sama
Tari,” ucapnya dengan nada otoritas seorang kakak kelas. Cewek-cewek itu
langsung menurut. Mereka bubar. Berjalan menuju bangku masing-masing, tapi
dengan kedua mata melirik ingin tahu kea rah dua orang itu. Termasuk Fio.
Meskipun yang dia duduki bangkunya sendiri, tu cewek ikutan pergi, duduk
berimpitan dengan Maya.
Ari memajukan tubuhnya. Dia letakkan kedua
lengannya di meja, kesepuluh jarinya saling bertaut. Dlakukannya itu agar bisa
menatap muka Tari, yang tidak bisa dilakukan kalau posisi duduknya sama seperti
cewek itu, menempelkan punggung di sandaran bangku.
Kemunculan Ari membuat suasana kelas menjadi
hening. Semua mata terarah padanya meskipun tidak terang-terangan. Semua
telinga terpasang tajam-tajam. Ari tahu itu, karenanya dia bicara dengan suara
perlahan. Sebenarnya dia bisa masa bodo, tapi akibatnya untuk Tari yang dia
pikirkan.
Dengan kepala dimiringkan, Ari menatap cewek
yang duduk di selah kanannya itu. Ketegangannya terlihat jelas. Bukan hanya di
muka dan sorot kedua matanya, tapi juga sikap tubuhnya.
Sebenarnya Ari juga dalam kondisi yang sama.
Bahkan lebih parah. Gejolak emosi itu sudah membuatnya kacau sejak diketahuinya
nama lengkap cewek ini. Kalau saat ini dia terlihat tenang, itu karena Ari
memaksakan dirinya untuk tenang. Namun, dia tahu dengan sangat pasti,
ketenangannya ini serapuh gelembung sabun.
“Lo nggak cerita ke siapa pun, kan?” tanyanya
dengan suara pelan.
“Nggak, Kak.” Tari menggeleng.
“Angga nganter lo sampe rumah?”
“Nggak, Kak.” Tari menggeleng.
“Angga nganter lo sampe rumah?”
“Iya.” Tari mengangguk, heran gimana Ari bisa
tahu.
“Ngomonga apa aja dia?”
“Cuma ngobrol…”
Tari tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Ari memotongnya dengan satu perintah.
“Majuin duduk lo.” Cowok itu menggerakkan dagunya ke depan. Tari menatapnya bingung.
“Ngomonga apa aja dia?”
“Cuma ngobrol…”
Tari tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Ari memotongnya dengan satu perintah.
“Majuin duduk lo.” Cowok itu menggerakkan dagunya ke depan. Tari menatapnya bingung.
“Gue udah minta lo jangan cerita apa-apa, kan?”
suara Ari makin pelan. “Kalo caranya kayak gini sama aja bohong, lagi.”
“Oh!” Tari langsung mengerti. Dia majukan duduknya, tapi tanpa sadar arahnya menyerong, agak menjauh dari Ari.
“Deketan sini. Malah makin jauh, lagi. Tenang aja, gue nggak ngegigit. Kalopun iya, nggak bakal gue lakuin itu di depan banyak orang.” Kalimat itu kontan membuat muka Tari memerah. Digesernya tubuhnya mendekati Ari.
“Sip!” cowok itu mengangguk kecil. “Sekarang cerita. Jangan ada yang diumpetin ya.”
Tanpa berani menatap Ari, Tari menceritakan semuanya. Sejak dia dan Fio dibawa paksa ke SMA Brawijaya dengan motor Moko dan Bako. Perlakuan yang diterimanya di sana, yang sebagian juga diketahui Ari, sampai dia diantar pulang oleh Angga.
“Oh!” Tari langsung mengerti. Dia majukan duduknya, tapi tanpa sadar arahnya menyerong, agak menjauh dari Ari.
“Deketan sini. Malah makin jauh, lagi. Tenang aja, gue nggak ngegigit. Kalopun iya, nggak bakal gue lakuin itu di depan banyak orang.” Kalimat itu kontan membuat muka Tari memerah. Digesernya tubuhnya mendekati Ari.
“Sip!” cowok itu mengangguk kecil. “Sekarang cerita. Jangan ada yang diumpetin ya.”
Tanpa berani menatap Ari, Tari menceritakan semuanya. Sejak dia dan Fio dibawa paksa ke SMA Brawijaya dengan motor Moko dan Bako. Perlakuan yang diterimanya di sana, yang sebagian juga diketahui Ari, sampai dia diantar pulang oleh Angga.
Selama cewek itu bercerita, suasana kelas
semakin hening lagi. Baik Ari maupun Tari, keduanya menyadari itu. Tari jadi
semakin lirih, membuat Ari jadi menggeser tubuhnya semkain dekat. Kepalanya
yang sejak tadi menoleh ke arah Tari dengan posisi menunduk semakin dia
tundukkan karena kepala Tari juga semakin menunduk. Ketika cerita Tari sampai
di bagian Angga mengajaknya makan, reaksi Ari seperti tersengat.
“Makan!?” desisnya. Kedua matanya yang sejak
tadi terus menatap muka Tari seketika menyipit tajam.
“Iya.” Tari mengangguk, jadi ngeri. “Di deket
rumah sih.”
“Dan elo mau?”
Entah kenapa, seperti ada alarm yang tak mengeluarkan suara bordering di dalam kepala Tari. Yang memeperingatkan cewek itu untuk tidak memperlihatkan keterpihakan pada Angga bahkan dalam skala terkecil, di depan Ari.
“Dan elo mau?”
Entah kenapa, seperti ada alarm yang tak mengeluarkan suara bordering di dalam kepala Tari. Yang memeperingatkan cewek itu untuk tidak memperlihatkan keterpihakan pada Angga bahkan dalam skala terkecil, di depan Ari.
Karena itu Tari nggak berani bilang sikap Angga
tuh baik dan manis. Jadi dia nggak merasa terancam. Beda dengan saat bersama
Ari begini. Meskipun dikelilingi teman sekelas, nggak Cuma berdua, Tari merasa
seperti ada bahaya yang sedang mengintai.
“Katanya dia dari pagi belom makan. Gara-gara
itu…” Tari terdiam. Diliriknya Ari takut-takut. “Itu… sibuk bikin rencana mau
nyerang sekolah kita.” Suaranya jadi semakin lirih lagi, tapi Ari bisa
mendengarnya dengan jelas.
“Karena dia sibuk bikin rencana nyerang sekolah kita, yang langsung dilanjut dengan realisasi, jadi nggak sempet makan. Trus lo nemenin dia makan. Hebat!” Ari mengangguk-angguk.
Tari langsung menyesal kenapa bagian yang ini nggak dia simpan untuk diri sendiri aja. Tapi kalo dipelototin gini, mau nggak jujur susah juga.
“Karena dia sibuk bikin rencana nyerang sekolah kita, yang langsung dilanjut dengan realisasi, jadi nggak sempet makan. Trus lo nemenin dia makan. Hebat!” Ari mengangguk-angguk.
Tari langsung menyesal kenapa bagian yang ini nggak dia simpan untuk diri sendiri aja. Tapi kalo dipelototin gini, mau nggak jujur susah juga.
“Cuma sebentar kok. Yang makan juga cuma dia.
Saya cuma minum aja.”
Ari mengangguk-angguk lagi.
“Elo dimaafkan kalo begitu.”
Diam-diam Tari menarik nafas panjang, lega. Ari menatap jam tangannya. Kurang lima menit lagi bel masuk akan berbunyi. Sekarang ganti cowok itu yang menarik napas panjang diam-diam. Kedua matanya menatap lurus-lurus ke depan. Ke arah whiteboard yang saat itu bersih tanpa sedikit pun tulisan. Cowok itu mencoba mencari kekuatan dalam belantara putih di fokus pandangannya itu.
Ari mengangguk-angguk lagi.
“Elo dimaafkan kalo begitu.”
Diam-diam Tari menarik nafas panjang, lega. Ari menatap jam tangannya. Kurang lima menit lagi bel masuk akan berbunyi. Sekarang ganti cowok itu yang menarik napas panjang diam-diam. Kedua matanya menatap lurus-lurus ke depan. Ke arah whiteboard yang saat itu bersih tanpa sedikit pun tulisan. Cowok itu mencoba mencari kekuatan dalam belantara putih di fokus pandangannya itu.
Ari tidak sadar, dia telah menciptakan
keheningan yang mencekam. Meskipun tidak bisa mendengar percakapan kedua orang
itu dengan jelas, seisi kelas bisa merasakan ketegangan sedang meningkat,
karena bahasa tubuh Ari mengatakan itu dengan jelas.
Ari menoleh, mengembalikan tatapannya pada cewek
yang duduk diam di sebelahnya. Rambut panjangnya diikat ekor kuda. Sebuah pita
oranye menghiasi ikatan itu. Kedua telinganya dihiasi anting-anting plastic
berbentuk matahari sedang bersinar. Lagi-lagi berwarna oranye dengan gradiasi
kuning. Ada sebentuk cincin lucu melingkari jari tengah tangan kirinya.
Lagi-lagi berbentuk matahari. Kali ini matahari itu sedang tersenyum lebar.
Cewek ini! Desis Ari dalam hati. Kelu. Bisa dirasakannya
detak jantungnya mulai bergemuruh, karena luka-lukanya yang memang selalu
terbyka mulai mendenyutkan rasa sakit. Ketika kemudian mulutnya terbuka, Ari
sudah nyaris mengerahkan seluruh kekuatannya agar emosinya tetap terjaga.
“Bener nama lo Jingga Matahari?” bisiknya.
“Iya.” Tari mengangguk.
Ari jadi tertegun. Seiring dengan jawaban Tari, kedua mata hitam Ari menggelam dengan cepat.
“Ada embel-embelnya? Siapa Jingga Matahari, atau Jingga Matahari siapa?” suara Ari masih berupa bisikan, tapi kali ini ada getar hebat yang tak mampu lagi diredamnya.
“Iya.” Tari mengangguk.
Ari jadi tertegun. Seiring dengan jawaban Tari, kedua mata hitam Ari menggelam dengan cepat.
“Ada embel-embelnya? Siapa Jingga Matahari, atau Jingga Matahari siapa?” suara Ari masih berupa bisikan, tapi kali ini ada getar hebat yang tak mampu lagi diredamnya.
“Jingga Matahari aja.”
“Jingga Matahari atau Matahari Jingga?” kejar Ari, membuat kening Tari jadi mengerut.
“Jingga Matahari.”
“Jingga Matahari ya, bukan Matahari Jingga?” Ari seperti meminta kepastian.
“Jingga Matahari atau Matahari Jingga?” kejar Ari, membuat kening Tari jadi mengerut.
“Jingga Matahari.”
“Jingga Matahari ya, bukan Matahari Jingga?” Ari seperti meminta kepastian.
“Iya. Jingga Matahari.” Tari mengangguk.
Ari mengangguk-angguk. Nyaris di luar kesadarannya, karena kedua matanya masih tertancap lurus-lurus pada raut muka Tari. Baginya, kombinasi kedua kata itu tidaklah penting. Kenyataan cewek ini menyandang kedua kata itu, itulah yang terpenting.
Ari mengangguk-angguk. Nyaris di luar kesadarannya, karena kedua matanya masih tertancap lurus-lurus pada raut muka Tari. Baginya, kombinasi kedua kata itu tidaklah penting. Kenyataan cewek ini menyandang kedua kata itu, itulah yang terpenting.
Kalau sebelumnya Tari bisa mengatakan sepertinya
dia kenal Ari, kali ini dia benar-benar nggak tahu siapa cowok yang duduk di
sebelahnya itu. Bel berbunyi. Ari bangkit berdiri.
“Kak,” panggil Tari buru-buru, membatalkan
langkah pertama Ari menuju pintu. “Ng… itu…,” Tari menatapnya takut-takut,
“kertas yang waktu itu diselipin Angga di kamus saya, masih ada nggak?”
“Kenapa” suara Ari langsung menajam.
“Boleh saya minta nggak?” tanya Tari dengan nada hati-hati.
Ari membungkukkan tubuhnya. Benar-benar rendah di atas Tari, sampai cewek itu terpaksa melengkungkan punggungnya untuk menciptakan jarak.
“Kenapa” suara Ari langsung menajam.
“Boleh saya minta nggak?” tanya Tari dengan nada hati-hati.
Ari membungkukkan tubuhnya. Benar-benar rendah di atas Tari, sampai cewek itu terpaksa melengkungkan punggungnya untuk menciptakan jarak.
“Elo mau digebukin orang satu sekolah?” bisik
Ari. Tari menatapnya bingung. “Tu cowok anak Brawijaya!”
“Oh.” Tari langsung mengerti. “Cuma pengin tau aja kok, dia nulis apa.”
“Ngajak kenalan. Waktu itu gue udah bilang,kan?”
“Iya. Ya udah kalo gitu.” Tari mengangguk.
Ari menegakkan punggungnya, balik badan lalu berjalan ke luar kelas. Tari menatapnya sambil menarik napas lega. Begitu Ari hilang dari pandangan, seisi kelas sudah bersiap akan menyerbu meja Tari lalu memberondongnya dengan pertanyaan.
“Oh.” Tari langsung mengerti. “Cuma pengin tau aja kok, dia nulis apa.”
“Ngajak kenalan. Waktu itu gue udah bilang,kan?”
“Iya. Ya udah kalo gitu.” Tari mengangguk.
Ari menegakkan punggungnya, balik badan lalu berjalan ke luar kelas. Tari menatapnya sambil menarik napas lega. Begitu Ari hilang dari pandangan, seisi kelas sudah bersiap akan menyerbu meja Tari lalu memberondongnya dengan pertanyaan.
Sayangnya, Pak Isman, guru fisika, keburu
muncul. Guru itu memasuki kelas setelah sesaat berdiri di luar pintu, menatap
Ari yang berjalan menjauh dengan kening berkerut. Untuk kedua kalinya Tari
menarik napas lega. Bukan apa-apa. Dari cara Ari ngomong tadi, pelan bahkan
beberapa kali dengan berbisik, ditambah cowok itu memintanya untuk duduk agak
merapat, jelas Ari nggak ingin orang lain tahu isi pembicaraan mereka tadi.
Fio kembali ke tempat duduknya. Sesaat kedua
matanya menatap Tari. Terlihat cemas. Tari hanya bisa membalas tatapan itu
dengan ekspresi tak berdaya.
Bab 4 (2)
Bel masuk sudah berbunyi, tapi Ari justru
melangkahkan kakinya menuju kantin. Dia sedang nggak mood belajar. Daripada
nanti dibuatnya kelas jadi rusuh dan ingar-bingar, lebih baik dia menyepi. Jadi
paling nggak yang rugi cuma dirinya sendiri.
Setelah selesai melahap dua potong arem-arem bersama segelas teh manis hangat, Ari menghampiri Mas Wiji, pedagang gorengan yang saat itu sedang bersiap-sipa membuat adonan bakwan. Mas Wiji itu perokok berat dan selalu punya stok rokok yang cukup buat orang se-RT, yang disimpannya di dalam salah satu laci.
“Mas, rokok sebungkus dong,” kata Ari.
Meskipun stok rokoknya bukan untuk dijual, terhadap murid yang satu ini Mas Wiji membuat pengecualian. Tanpa banyak cakap, dikeluarkannya sebungkus lalu diserahkannya pada Ari. Setelah menerimanya, Ari mengulurkan selembar uang dan langsung berlalu tanpa meminta kembalian.
Dengan sebatang rokok terselip di bibir, Ari menarik sebuah bangku ke dekat jendela yang menghadap ke arah lapangan dan area depan sekolah. Cowok itu lalu duduk diam dengan kedua kaki diletakkan di ambang jendela. Kedua matanya menatap keluar sementara kedua bibirnya mengisap lalu mengembuskan asap rokok tanpa henti.
Tidak dipedulikannya kesibukan para pedagang di kantin yang mulai menyiapkan dagangan masing-masing. Sama seperti sikap para pedagang itu, yang tak acuh dengan keberadaan Ari. Karena pemandangan cowok itu membolos saat jam pelajaran memang sudah jadi hal biasa.
“Gerak cepat juga tu anak!” desis Ari, saat teringat ucapan Tari bahwa Angga mengajaknya makan. Tekadnya semula untuk membicarakan hal ini kalau urusannya memang soal hati, sudah batal sejak diketahuinya Tari menyandang dua kata yang baginya sangat sacral.
Cewek itu hanya boleh bersamanya!
Tiba-tiba ponselnya bordering. Nama Oji muncul di layar.
“Ya?”
“Cabut, Bos?”
“Hm…”
“Bu Sam nanyain elo tuh.”
“Bilang gue lagi PMS.”
“Oke.” Di seberang, Oji menyeringai. “Katanya dia lagi nggak mood belajar, Bu. Soalnya lagi PMS!” lapor Oji dengan suara lantang. Seisi kelas kontan tertawa riuh.
Ari yang bisa mendengar karena Oji sengaja tidak mematikan ponselnya, menyeringai lebar lalu tertawa tanap suara.
Muka Bu Sam langsung jadi kencang. “Di mana dia sekarang?” tanyanya galak. Oji menempelkan lagi ponselnya ke kuping.
“ Bos di mana sekarang?” tanyanya.
“Kantin kelas sepuluh.”
“Oh,” Oji mengangguk lalu menjauhkan ponselnya dari kuping. “Lagi check-up, Bu. Di tempatnya Dokter Boyke. Katanya itunya sakit,” Oji menempelkan lagi poselnya ke kuping. “Apanya yang sakit, Bos?”
Meskipun yang didengar Oji hanya tawa Ari – yang terdengar jelas dilakukan bersamaan dengan mengisap rokok lalu mengembuskan asapnya – Oji menjabarkannya dengan kata-kata karangannya sendiri.
“Dadanya yang sakit, Bu. Rasanya kayak bengkak gitu. Katanya kalo dipegang-pegang sakit.”
“Cara megangnya dong,” sela Ridho. “Kalo kenceng-kenceng ya jelas sakitlah. Megangnya yang lembut, pake perasaan.”
Oji menyempatkan diri menoleh ke arah Ridho lalu merespons komentar temannya itu bukan hanya dengan sikap yang serius, tapi ekspresi muka yang juga sama.
“Kacau lo, man. Porno lo.” Kemudian pandangannya kembali ke Bu Sam. “Sama itunya, Bu. Bagian di bawah pusarnya juga sakit. Maksudnya bagian perut di bawah pusar,” Oji meneruskan laporannya, tetap dengan gaya seolah-olah itu laporan ilmiah.
Seketika kelas meledak lagi dalam tawa. Juga Ari yang berada di kantin. Cowok itu sampai menurunkan kedua kakinya, terbahak-bahak sampai badannya membungkuk.
Bu Sam sudah setengah mati menahan marah, tapi beliau tahu tidak ada yang bisa dilakukan karena biang keroknya tidak ada di tempat. Akhirnya guru itu memerintahkan kelas untuk diam, bukan hanya dengan bentakan, tapi juga dengan penghapus whiteboard yang dia hantamkan ke permukaan meja.
“Kita mulai. Jangan buang-buang waktu. Kalian sudah kelas dua belas!” ucapnya dengan nada dingin dan tajam.
Masih dengan sisa-sisa tawa, murid-murid di depannya mulai membuka buku masing-masing. Oji menempelkan ponselnya ke kuping degan gerakan sembunyi-sembunyi.
“Met cabut ya, Bos. Have a nice madol,” bisiknya dan langsung ditutupnya telepon.
Ari tersenyum. Tapi begitu Oji menutup telepon, Ari sadar dia lupa menanyakan nomor telepon Tari.
“Goblok!” makinya pada diri sendiri. Akhirnya dia putuskan untuk mendatangi Tari lagi, jam istirahat pertama nanti. Sekaligus untuk mengalahkan skor yang diperoleh Angga. Tari harus makan bersamanya. Bukan menemani, tapi makan sama-sama!
Setelah selesai melahap dua potong arem-arem bersama segelas teh manis hangat, Ari menghampiri Mas Wiji, pedagang gorengan yang saat itu sedang bersiap-sipa membuat adonan bakwan. Mas Wiji itu perokok berat dan selalu punya stok rokok yang cukup buat orang se-RT, yang disimpannya di dalam salah satu laci.
“Mas, rokok sebungkus dong,” kata Ari.
Meskipun stok rokoknya bukan untuk dijual, terhadap murid yang satu ini Mas Wiji membuat pengecualian. Tanpa banyak cakap, dikeluarkannya sebungkus lalu diserahkannya pada Ari. Setelah menerimanya, Ari mengulurkan selembar uang dan langsung berlalu tanpa meminta kembalian.
Dengan sebatang rokok terselip di bibir, Ari menarik sebuah bangku ke dekat jendela yang menghadap ke arah lapangan dan area depan sekolah. Cowok itu lalu duduk diam dengan kedua kaki diletakkan di ambang jendela. Kedua matanya menatap keluar sementara kedua bibirnya mengisap lalu mengembuskan asap rokok tanpa henti.
Tidak dipedulikannya kesibukan para pedagang di kantin yang mulai menyiapkan dagangan masing-masing. Sama seperti sikap para pedagang itu, yang tak acuh dengan keberadaan Ari. Karena pemandangan cowok itu membolos saat jam pelajaran memang sudah jadi hal biasa.
“Gerak cepat juga tu anak!” desis Ari, saat teringat ucapan Tari bahwa Angga mengajaknya makan. Tekadnya semula untuk membicarakan hal ini kalau urusannya memang soal hati, sudah batal sejak diketahuinya Tari menyandang dua kata yang baginya sangat sacral.
Cewek itu hanya boleh bersamanya!
Tiba-tiba ponselnya bordering. Nama Oji muncul di layar.
“Ya?”
“Cabut, Bos?”
“Hm…”
“Bu Sam nanyain elo tuh.”
“Bilang gue lagi PMS.”
“Oke.” Di seberang, Oji menyeringai. “Katanya dia lagi nggak mood belajar, Bu. Soalnya lagi PMS!” lapor Oji dengan suara lantang. Seisi kelas kontan tertawa riuh.
Ari yang bisa mendengar karena Oji sengaja tidak mematikan ponselnya, menyeringai lebar lalu tertawa tanap suara.
Muka Bu Sam langsung jadi kencang. “Di mana dia sekarang?” tanyanya galak. Oji menempelkan lagi ponselnya ke kuping.
“ Bos di mana sekarang?” tanyanya.
“Kantin kelas sepuluh.”
“Oh,” Oji mengangguk lalu menjauhkan ponselnya dari kuping. “Lagi check-up, Bu. Di tempatnya Dokter Boyke. Katanya itunya sakit,” Oji menempelkan lagi poselnya ke kuping. “Apanya yang sakit, Bos?”
Meskipun yang didengar Oji hanya tawa Ari – yang terdengar jelas dilakukan bersamaan dengan mengisap rokok lalu mengembuskan asapnya – Oji menjabarkannya dengan kata-kata karangannya sendiri.
“Dadanya yang sakit, Bu. Rasanya kayak bengkak gitu. Katanya kalo dipegang-pegang sakit.”
“Cara megangnya dong,” sela Ridho. “Kalo kenceng-kenceng ya jelas sakitlah. Megangnya yang lembut, pake perasaan.”
Oji menyempatkan diri menoleh ke arah Ridho lalu merespons komentar temannya itu bukan hanya dengan sikap yang serius, tapi ekspresi muka yang juga sama.
“Kacau lo, man. Porno lo.” Kemudian pandangannya kembali ke Bu Sam. “Sama itunya, Bu. Bagian di bawah pusarnya juga sakit. Maksudnya bagian perut di bawah pusar,” Oji meneruskan laporannya, tetap dengan gaya seolah-olah itu laporan ilmiah.
Seketika kelas meledak lagi dalam tawa. Juga Ari yang berada di kantin. Cowok itu sampai menurunkan kedua kakinya, terbahak-bahak sampai badannya membungkuk.
Bu Sam sudah setengah mati menahan marah, tapi beliau tahu tidak ada yang bisa dilakukan karena biang keroknya tidak ada di tempat. Akhirnya guru itu memerintahkan kelas untuk diam, bukan hanya dengan bentakan, tapi juga dengan penghapus whiteboard yang dia hantamkan ke permukaan meja.
“Kita mulai. Jangan buang-buang waktu. Kalian sudah kelas dua belas!” ucapnya dengan nada dingin dan tajam.
Masih dengan sisa-sisa tawa, murid-murid di depannya mulai membuka buku masing-masing. Oji menempelkan ponselnya ke kuping degan gerakan sembunyi-sembunyi.
“Met cabut ya, Bos. Have a nice madol,” bisiknya dan langsung ditutupnya telepon.
Ari tersenyum. Tapi begitu Oji menutup telepon, Ari sadar dia lupa menanyakan nomor telepon Tari.
“Goblok!” makinya pada diri sendiri. Akhirnya dia putuskan untuk mendatangi Tari lagi, jam istirahat pertama nanti. Sekaligus untuk mengalahkan skor yang diperoleh Angga. Tari harus makan bersamanya. Bukan menemani, tapi makan sama-sama!
@@@
Begitu bel istirahat berbunyi, seluruh isi kelas
langsung menyerbu Tari. Bak selebriti yang tiba-tiba diterjunkan di tengah massa
fanatiknya, teman-temannya mengerumuni dalam bentuk lingkaran rapat dengan Tari
sebagai titik pusat. Bak badai suara dalam skala tinggi, semuanya membuka mulut
pada saat bersamaan dan mendesak Tari untuk menceritakan isi pembicaraannya
dengan Ari tadi pagi.
Tari kebingungan. Soalnya dia nggak tahu boleh cerita atau nggak. Soal dirinya dan Fio dibawa paksa ke SMA Brawijaya, Ari memang sudah tegas-tegas melarangnya untuk cerita. Tapi soal pembicaraan mereka tadi pagi, cowok itu nggak ngomong apa-apa. Jadi mungkin aja dia boleh cerita, tapi bisa jadi juga nggak.
Saat Ari berjalan memasuki kelas Tari, tak seorang pun menyadari kehadiran cowok itu karena perhatian mereka semua sedang tercurah penuh pada Tari. Ari mengahampiri kerumunan itu lalu mengetuk-ngetuk punggung cowok yang berdiri paling belakang dengan satu jari. Cowok itu, Andri, menoleh dan seketika terkejut.
“Kak…” Andri menganggukkan kepala.
Dengan gerakan dagu, Ari menyuruh Andri menepi. Andri langsung memenuhi perintah itu. Dia segera menyingkir dari depan Ari sambil menyikut Ahmed dan Chiko, dua orang yang berdiri di depannya. Kedua cowok itu bereaksi sama persis dengan Andri. Kaget kemudian menyingkir sambil menyikut orang di depannya.
Gerakan menyikut estafet itu akhirnya menciptakan jalan untuk Ari. Sekaligus juga mengirangi tekanan terhadap Tari, karena setiap anak yang telah menyadari kehadiran Ari langsung mengunci mulut rapat-rapat. Suara yang memaksa Tari untuk bercerita juga jadi berkurang satu demi satu, sampai akhirnya hening. Semuanya diam. Dengan tenang Ari menyeruak kerumunan itu.
“Ada apa nih? Pembagian zakat?” tanyanya dengan nada ringan, berlagak nggak tahu. Tidak ada yang berani menjawab. Cowok itu kemudian mengulurkan tangan kirinya pada Tari dengan posisi kelima jarinya terbuka.
“Makan yuk!”
Bukan cuma Tari yang terpana mendengar ajakan Ari itu, juga semua teman sekelasnya. Cewek itu menatap tangan yang terulur di depannya. Ari berdecak tak sabar.
“Cepetan. Gue udah laper nih.”
Dia gerakkan kelima jarinya yang sejak tadi terbuka lebar-lebar, meminta Tari segera menyambut uluran tangannya itu. Tapi karena cewek itu tetap terdiam, akhirnya Ari meraih satu tangan Tari. Dengan paksa ditariknya cewek itu sampai berdiri.
“Elo tuh reaksinya emang suka lambat ya?” katanya sambil menarik Tari ke arah pintu.
Diiringi seluruh temansekelasnya yang menatap ternganga, Tari dibawa Ari ke luar kelas. Cewek itu berjalan dengan wajah sedikit menunduk. Bukan cuma teman-teman sekelasnya yang shock, tapi juga seluruh siswa kelas sepuluh yang menyaksikan adegan itu.
Banyak dari mereka yang bahkan tidak mampu menyembunyikan kekagetan itu dan menatap keduanya dengan mulut ternganga!
Kenapa sih pake gandeng-gandeng segala? Keluh Tari dalam hati. Dia jlan berdua Ari aja udah menciptakan kegemparan, masih tambah digandeng pula. Di depan temen-temen sekelas sih masih nggak apa-apa. Tapi kalo di depan seluruh murid kelas sepuluh begini, Tari nggak bisa membayangkan dia mesti gimana nanti. Pasti bakalan terus diperhatiin dan bisa jadi bakalan ditanya-tanyain.
Kemudian Tari berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Ari, tapi malah menyebabkan cowok itu menguatkan cengkeraman jari-jarinya di pergelangan Tari.
“Nggak usah gandengan deh, Kak,” akhirnya Tari menggunakan cara verbal.
“Emang kenapa sih? Santai ajalah.” Ari merespons kegelisahan Tari dengan sikap santai. “Harusnya lo bersyukur. Banyak cewek yang berharap bisa kayak gini. Digandeng sama gue. Dan elo jadi yang pertama.” Cowok itu menoleh. Dikedipkannya satu matanya sambil tersenyum.
Tari jadi makin kesal mendengar kalimta itu. Lo sadar pesona, terserah deh. Tapi nasib gue niiiiihhh! Cewek itu menjerit dalam hati.
“Lagipula kalo nggak gue gandeng, ntar lo pasti bakaalan kabur. Iya, kan?” Ari melirknya sekilas. Tari nggak menjawab, tapi dalam hati membenarkan kalimat itu.
Begitu memasuki kantin, suasana yang sama langsung menyambut kedatangan keduanya. Muka-muak kaget dan terpana seketika memenuhi seluruh ruangan kantin. Banyak dari mereka bahkan sampai berhenti makan saking nggak percayanya dengan pemandangan itu.
“Lo mau makan apa?” Ari menoleh dan menatap Tari.
“Eeeemmm….” Tari memandang deretan penjual makanan di depannya. Bukannya bingung, tapi dia sedang menentukan makanan apa yang bisa dihabiskannya dalam waktu cepat. Jadi dia juga bisa cepat pergi dari sini. Tetapi, nervous dan rasa tak nyaman karena terus menjadi fokus tatapan semua orang membuat Tari akhirnya memutuskan untuk nggak makan. Selain itu, perutnya juga jadi nggak lapar.
“Nggak usah deh, Kak. Saya minum aja.”
“Oh, nggak bisa. Lo harus makan,” tandas Ari.
“Kok?”
“Pokoknya lo harus makan!” Ari nggak ingin menjelaskan. “Gue yang mesenin kalo lo lagi nggak punya pilihan.”
Pilihan cowok itu jatuhpada siomay, soalnya sebenarnya dia juga lagi nggak mood makan dan dilihatnya Tari juga sama. Lagipula, ini cuma usahanya untuk melalmpaui skor yang diperoleh Angga.
Setelah memesan dua porsi siomay dan dua gelas es jeruk, Ari menggandeng Tari ke salah satu bangku panjang dari enam belas bangku yang ada, yang mengapit delapan meja. Diperintahkannya para siswa kelas sepuluh yang sudah lebih dulu menduduki bangku itu untuk bergeser. Perintahnya langsung dipatuhi tanpa protes sedikit pun. Seorang cowok bahkan harus pindah ke bangku lain supaya Ari bisa duduk.
Sementara menunggu pesanan mereka datang, Ari ingat tujuannya kembali mencari Tari, selain untuk melampaui progress yang dicapai Angga. Dikeluarkannya ponselnya dari saku celana.
“Berapa nomor HP lo?” tanyanya dengan suara pelan, karena meskipun sibuk dengan makanan masing-masing, bisa dipastikan perhatian seisi kantin tetap terarah pada mereka berdua.
Dengan perasaan enggan tapi nggak berani nolak, Tari menyebutkan nomor ponselnya. Begitu angka terakhir ter-input, Ari langsung menekan tombol kontak. Seketika I Can, satu lagu lama milik NAS, terdengar dari saku kemeja seragam Tari. Cewek itu mengeluarkan poselnya.
“Itu nomor gue,” kata Ari sambil mengetikkan nama Tari. Kemudian dia masukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. “Tau nama gue, kan?” tanyanya. Tari mengangguk. “Nomor gue di-save dong. Kok dicuekin?”
Sambil menahan-nahan kesabaran, Tari memencet “save” dan mengetikkan kata “Kak Ari” untuk nomor yang muncul di layar ponselnya itu.
“Cuma sepotong itu ya, yang lo tau?” Ari tertawa mendengus. Tari menatapnya.
“Emang nama lengkap Kakak siapa?”
“Ntar aja gue kasih tau. Sekarang makan dulu.”
Pesanan mereka memang sudah datang. Tari makan dengan lambat. Selain perutnay mendadak kenyang saat Ari muncul kembali di kelasnya tadi lalu menyeretnya ke sini, juga karena Tari bisa merasakan mereka berdua tetap menjadi pusat perhatian seisi kantin. Beberapa pasang mata malah menatap terang-terangan, sedangkan yang lainnya sebentar-sebentar melirik sekilas dan diam-diam.
“Nggak usah nervous gitu. Lo aman sama gue,” bisik Ari santai.
Lo enak ngomong gitu. Gue nih! Gerutu Tari dalam hati. Sudah terbayang di matanya, dirinya bakal dibombardir pertanyaan dari teman-teman sekelasnya. Yang pasti, mereka makin nggak sabar dan makin penasaran karena tadi Tari belum sempat membuka mulut sama sekali. Bahkan bisa jadi anak-anak dari kelas lain bakal ikut-ikutan.
“Lo lahir pagi atau sore?” tanya Ari sambil menyuapkan potongan siomay ke mulut.
“Sore.”
Ari mengangguk-angguk. Nggak terlalu kaget. Dia sudah mengira cewek ini pasti lahir pada sore hari, saat matahari akan tenggelam. Hanya pada saat itulah matahari dam langit yang melingkupinya benar-benar berwarna jingga.
Diliriknya Tari. Cewek itu sedang mendorong piring siomaynya yang masih terisi setengah ke tengah meja, kemudian meraih gelas es jeruknya. Ditunggunya sampai cewek itu menghabiskan separuh minumannya, sekaligus menunggu sampai suasana kantin agak sepi. Lima menit lagi bel berbunyi. Meskipun masih sangat penasaran, mau nggak mau para siswa kelas sepuluh itu harus meninggalkan kantin dan kembali ke kelas masing-masing.
“Lo percaya nggak kalo gue bilang kita berdua kayak benda dan bayangan? Lo bayangan gue dan gue bayangan elo,” ucap Ari pelan, mulai mengatakan bagian prolog untuk menyiapkan cewek di sebelahnya itu.
“Maksud Kakak?” Tari menoleh dan menatap Ari dengan kening berkerut.
“Gue lahirnya juga sore.”
“Oh ya?” Tari mengangkat kedua alisnya. Tapi tidak terlalu terkesan, karena banyak orang yang lahir pada sore hari. Jadi persamaan itu bukan sesuatu yang istimewa.
“Iya,” Ari mengangguk. “Gua juga lahir pas matahari terbenam. Sama kayak elo.” Baru perhatian Tari mulai tercurah.
“Bener-bener pas matahari mau terbenam?” tanyanya memastikan.
“Iya!” Ari menganggu tegas. Ditatapnya cewek itu tepat di manik mata. “Dan elo tau siapa nama lengkap gue?”
Tari menggeleng. Entah kenapa kedua mata itu seperti menguncinya. Membuatnya tidak mampu berpaling ke arah lain. Ari tidak langsung menjawab. Ketika kemudian kedua bibirnya terbuka, suaranya terdengar seperti datang dari tempat yang sangat jauh.
“Matahari Senja!”
Tari terenyak. Kedua matanya terbelalak menatap Ari. “Nggak mungkin!” desisnya dengan suara tercekat.
Ari hanya balas menatapnya. Tanpa bicara apa-apa. Karena itu memang fakta. Mereka berdua sama-sama lahir pada saat matahari sedang tenggelam. Dan sama-sama menyandang nama benda langit pusat tata surya itu.
Matahari dan Matahari!
Tari kebingungan. Soalnya dia nggak tahu boleh cerita atau nggak. Soal dirinya dan Fio dibawa paksa ke SMA Brawijaya, Ari memang sudah tegas-tegas melarangnya untuk cerita. Tapi soal pembicaraan mereka tadi pagi, cowok itu nggak ngomong apa-apa. Jadi mungkin aja dia boleh cerita, tapi bisa jadi juga nggak.
Saat Ari berjalan memasuki kelas Tari, tak seorang pun menyadari kehadiran cowok itu karena perhatian mereka semua sedang tercurah penuh pada Tari. Ari mengahampiri kerumunan itu lalu mengetuk-ngetuk punggung cowok yang berdiri paling belakang dengan satu jari. Cowok itu, Andri, menoleh dan seketika terkejut.
“Kak…” Andri menganggukkan kepala.
Dengan gerakan dagu, Ari menyuruh Andri menepi. Andri langsung memenuhi perintah itu. Dia segera menyingkir dari depan Ari sambil menyikut Ahmed dan Chiko, dua orang yang berdiri di depannya. Kedua cowok itu bereaksi sama persis dengan Andri. Kaget kemudian menyingkir sambil menyikut orang di depannya.
Gerakan menyikut estafet itu akhirnya menciptakan jalan untuk Ari. Sekaligus juga mengirangi tekanan terhadap Tari, karena setiap anak yang telah menyadari kehadiran Ari langsung mengunci mulut rapat-rapat. Suara yang memaksa Tari untuk bercerita juga jadi berkurang satu demi satu, sampai akhirnya hening. Semuanya diam. Dengan tenang Ari menyeruak kerumunan itu.
“Ada apa nih? Pembagian zakat?” tanyanya dengan nada ringan, berlagak nggak tahu. Tidak ada yang berani menjawab. Cowok itu kemudian mengulurkan tangan kirinya pada Tari dengan posisi kelima jarinya terbuka.
“Makan yuk!”
Bukan cuma Tari yang terpana mendengar ajakan Ari itu, juga semua teman sekelasnya. Cewek itu menatap tangan yang terulur di depannya. Ari berdecak tak sabar.
“Cepetan. Gue udah laper nih.”
Dia gerakkan kelima jarinya yang sejak tadi terbuka lebar-lebar, meminta Tari segera menyambut uluran tangannya itu. Tapi karena cewek itu tetap terdiam, akhirnya Ari meraih satu tangan Tari. Dengan paksa ditariknya cewek itu sampai berdiri.
“Elo tuh reaksinya emang suka lambat ya?” katanya sambil menarik Tari ke arah pintu.
Diiringi seluruh temansekelasnya yang menatap ternganga, Tari dibawa Ari ke luar kelas. Cewek itu berjalan dengan wajah sedikit menunduk. Bukan cuma teman-teman sekelasnya yang shock, tapi juga seluruh siswa kelas sepuluh yang menyaksikan adegan itu.
Banyak dari mereka yang bahkan tidak mampu menyembunyikan kekagetan itu dan menatap keduanya dengan mulut ternganga!
Kenapa sih pake gandeng-gandeng segala? Keluh Tari dalam hati. Dia jlan berdua Ari aja udah menciptakan kegemparan, masih tambah digandeng pula. Di depan temen-temen sekelas sih masih nggak apa-apa. Tapi kalo di depan seluruh murid kelas sepuluh begini, Tari nggak bisa membayangkan dia mesti gimana nanti. Pasti bakalan terus diperhatiin dan bisa jadi bakalan ditanya-tanyain.
Kemudian Tari berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Ari, tapi malah menyebabkan cowok itu menguatkan cengkeraman jari-jarinya di pergelangan Tari.
“Nggak usah gandengan deh, Kak,” akhirnya Tari menggunakan cara verbal.
“Emang kenapa sih? Santai ajalah.” Ari merespons kegelisahan Tari dengan sikap santai. “Harusnya lo bersyukur. Banyak cewek yang berharap bisa kayak gini. Digandeng sama gue. Dan elo jadi yang pertama.” Cowok itu menoleh. Dikedipkannya satu matanya sambil tersenyum.
Tari jadi makin kesal mendengar kalimta itu. Lo sadar pesona, terserah deh. Tapi nasib gue niiiiihhh! Cewek itu menjerit dalam hati.
“Lagipula kalo nggak gue gandeng, ntar lo pasti bakaalan kabur. Iya, kan?” Ari melirknya sekilas. Tari nggak menjawab, tapi dalam hati membenarkan kalimat itu.
Begitu memasuki kantin, suasana yang sama langsung menyambut kedatangan keduanya. Muka-muak kaget dan terpana seketika memenuhi seluruh ruangan kantin. Banyak dari mereka bahkan sampai berhenti makan saking nggak percayanya dengan pemandangan itu.
“Lo mau makan apa?” Ari menoleh dan menatap Tari.
“Eeeemmm….” Tari memandang deretan penjual makanan di depannya. Bukannya bingung, tapi dia sedang menentukan makanan apa yang bisa dihabiskannya dalam waktu cepat. Jadi dia juga bisa cepat pergi dari sini. Tetapi, nervous dan rasa tak nyaman karena terus menjadi fokus tatapan semua orang membuat Tari akhirnya memutuskan untuk nggak makan. Selain itu, perutnya juga jadi nggak lapar.
“Nggak usah deh, Kak. Saya minum aja.”
“Oh, nggak bisa. Lo harus makan,” tandas Ari.
“Kok?”
“Pokoknya lo harus makan!” Ari nggak ingin menjelaskan. “Gue yang mesenin kalo lo lagi nggak punya pilihan.”
Pilihan cowok itu jatuhpada siomay, soalnya sebenarnya dia juga lagi nggak mood makan dan dilihatnya Tari juga sama. Lagipula, ini cuma usahanya untuk melalmpaui skor yang diperoleh Angga.
Setelah memesan dua porsi siomay dan dua gelas es jeruk, Ari menggandeng Tari ke salah satu bangku panjang dari enam belas bangku yang ada, yang mengapit delapan meja. Diperintahkannya para siswa kelas sepuluh yang sudah lebih dulu menduduki bangku itu untuk bergeser. Perintahnya langsung dipatuhi tanpa protes sedikit pun. Seorang cowok bahkan harus pindah ke bangku lain supaya Ari bisa duduk.
Sementara menunggu pesanan mereka datang, Ari ingat tujuannya kembali mencari Tari, selain untuk melampaui progress yang dicapai Angga. Dikeluarkannya ponselnya dari saku celana.
“Berapa nomor HP lo?” tanyanya dengan suara pelan, karena meskipun sibuk dengan makanan masing-masing, bisa dipastikan perhatian seisi kantin tetap terarah pada mereka berdua.
Dengan perasaan enggan tapi nggak berani nolak, Tari menyebutkan nomor ponselnya. Begitu angka terakhir ter-input, Ari langsung menekan tombol kontak. Seketika I Can, satu lagu lama milik NAS, terdengar dari saku kemeja seragam Tari. Cewek itu mengeluarkan poselnya.
“Itu nomor gue,” kata Ari sambil mengetikkan nama Tari. Kemudian dia masukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. “Tau nama gue, kan?” tanyanya. Tari mengangguk. “Nomor gue di-save dong. Kok dicuekin?”
Sambil menahan-nahan kesabaran, Tari memencet “save” dan mengetikkan kata “Kak Ari” untuk nomor yang muncul di layar ponselnya itu.
“Cuma sepotong itu ya, yang lo tau?” Ari tertawa mendengus. Tari menatapnya.
“Emang nama lengkap Kakak siapa?”
“Ntar aja gue kasih tau. Sekarang makan dulu.”
Pesanan mereka memang sudah datang. Tari makan dengan lambat. Selain perutnay mendadak kenyang saat Ari muncul kembali di kelasnya tadi lalu menyeretnya ke sini, juga karena Tari bisa merasakan mereka berdua tetap menjadi pusat perhatian seisi kantin. Beberapa pasang mata malah menatap terang-terangan, sedangkan yang lainnya sebentar-sebentar melirik sekilas dan diam-diam.
“Nggak usah nervous gitu. Lo aman sama gue,” bisik Ari santai.
Lo enak ngomong gitu. Gue nih! Gerutu Tari dalam hati. Sudah terbayang di matanya, dirinya bakal dibombardir pertanyaan dari teman-teman sekelasnya. Yang pasti, mereka makin nggak sabar dan makin penasaran karena tadi Tari belum sempat membuka mulut sama sekali. Bahkan bisa jadi anak-anak dari kelas lain bakal ikut-ikutan.
“Lo lahir pagi atau sore?” tanya Ari sambil menyuapkan potongan siomay ke mulut.
“Sore.”
Ari mengangguk-angguk. Nggak terlalu kaget. Dia sudah mengira cewek ini pasti lahir pada sore hari, saat matahari akan tenggelam. Hanya pada saat itulah matahari dam langit yang melingkupinya benar-benar berwarna jingga.
Diliriknya Tari. Cewek itu sedang mendorong piring siomaynya yang masih terisi setengah ke tengah meja, kemudian meraih gelas es jeruknya. Ditunggunya sampai cewek itu menghabiskan separuh minumannya, sekaligus menunggu sampai suasana kantin agak sepi. Lima menit lagi bel berbunyi. Meskipun masih sangat penasaran, mau nggak mau para siswa kelas sepuluh itu harus meninggalkan kantin dan kembali ke kelas masing-masing.
“Lo percaya nggak kalo gue bilang kita berdua kayak benda dan bayangan? Lo bayangan gue dan gue bayangan elo,” ucap Ari pelan, mulai mengatakan bagian prolog untuk menyiapkan cewek di sebelahnya itu.
“Maksud Kakak?” Tari menoleh dan menatap Ari dengan kening berkerut.
“Gue lahirnya juga sore.”
“Oh ya?” Tari mengangkat kedua alisnya. Tapi tidak terlalu terkesan, karena banyak orang yang lahir pada sore hari. Jadi persamaan itu bukan sesuatu yang istimewa.
“Iya,” Ari mengangguk. “Gua juga lahir pas matahari terbenam. Sama kayak elo.” Baru perhatian Tari mulai tercurah.
“Bener-bener pas matahari mau terbenam?” tanyanya memastikan.
“Iya!” Ari menganggu tegas. Ditatapnya cewek itu tepat di manik mata. “Dan elo tau siapa nama lengkap gue?”
Tari menggeleng. Entah kenapa kedua mata itu seperti menguncinya. Membuatnya tidak mampu berpaling ke arah lain. Ari tidak langsung menjawab. Ketika kemudian kedua bibirnya terbuka, suaranya terdengar seperti datang dari tempat yang sangat jauh.
“Matahari Senja!”
Tari terenyak. Kedua matanya terbelalak menatap Ari. “Nggak mungkin!” desisnya dengan suara tercekat.
Ari hanya balas menatapnya. Tanpa bicara apa-apa. Karena itu memang fakta. Mereka berdua sama-sama lahir pada saat matahari sedang tenggelam. Dan sama-sama menyandang nama benda langit pusat tata surya itu.
Matahari dan Matahari!
Bab 5 (1)
Ari melakukan kesalahan di langkah pertamanya.
Terlalu memaksa. Fakta bahwa mereka menyandang nama yang sama sudah membuat
Tari shock. Dan apa yang dikatakan cowok itu selanjutnya membuat Tari lebih
shock lagi.
Bel masuk sudah berbunyi, tapi cowok itu masih menahannya di kantin. Sengaja menunggu sampai ruangan kantin benar-benar kosong, untuk menegaskan kembali ucapannya. Bahwa mereka dipertemukan bukan karena satu kebetulan. Bahwa dia dan Tari adalah benda dan bayangan untuk satu sama lain. Karena itu Ari meminta, dengan nada yang bagi Tari lebih tepat terdengar memaksa, untuk menolak tawaran dari cowok mana pun yang ingin mengajaknya makan, atau ajakan apa pun yang sifatnya pedekate.
Secara spesifik Ari memang tdiak menyebut nama Angga, namun dengan kemunculan Ari di kelas Tari yang mencapai jumlah tiga kali dalam waktu cuma dua hari, ditambah cowok itu menggandengnya dengan demonstrasif di depan begitu banyak mata, sudah tertutup kemungkinan bagi Tari untuk bisa dapat cowok dari lingkungan satu sekolah.
Sepuluh menit setelah bel berbunyi, Ari mengantar Tari ke kelas, untuk menjelaskan pada guru yang sedang mengajar bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab atas keterlambatan Tari masuk kelas.
Perjalanan singkat dari kantin ke kelas ditempuh Tari dalam kondisi setengah sadar. Kepalanya penuh dengan kata-kata cowok yang berjalan di sebelahnya itu. Bahwa mereka berdua adalah bayangan untuk satu sama lain! Dan karenanya dia harus menolak cowok mana pun yang mau pedekate.
Itu tadi nembak atau apa sih?
Sialnya, begitu sampai kelas, lagi-lagi Bu Pur yang sedang mengajar. Begitu Ari pergi, tentu saja setelah cowok itu sesaat menggoda sang guru, langsung Tari mendapatkan teguran keras. Kalau sebelumnya Bu Pur memanggilnya ke ruang guru agar pembicaraan itu hanya jadi rahasia mereka, kali ini Bu Pur melakukannya terang-terangan di depan kelas.
Dengan kepala agak tertunduk dan muka merah padam menahan malu, Tari mendengarkan rentetan kalimat keras Bu Pur yang juga bisa didengar seluruh isi kelas itu. Itulah kejadian yang menjadi awal timbulnya rasa tidak suka Tari terhadap Ari.
Begitu bel istirahat kedua berbunyi, kejadian yang sama persis seperti waktu istirahat pertama terulang. Tari dikerubungi seisi kelas dan langsung dibombardir pertanyaan. Tapi kali ini ia tahu, Ari nggak mungkin nongol lagi. Jadi ia nggak bisa mengelak dan terpaksa menceritakan sebagian isi pembicaraannya dengan cowok itu.
Saat dikatakannya bahwa nama lengkap Ari adalah Matahari Senja, semuanya kontan berseru kaget. Dan semuanya kompak, sependapat, bahwa Tari dan Ari jangan-jangan jodoh. Soulmate.
Soalnya punya nama yang sama. Apalagi kalau ingat mereka pernah dua kali dipertemukan oleh ketidaksengajaan.
Pendapat teman-temannya itu seperti bentuk lain dari apa yang dikatakan Ari tapi tidak diceritakan Tari pada mereka. Benda dan bayangan.
Di luar dugaan Tari, teman-teman sekelasnya menyambut berita itu dengan girang. Nggak cewek nggak cowok, karena itu berarti mereka bisa minta perlindungan Ari –lewat Tari tentunya– kalau nanti mereka kena gencet anak kelas sebelas apalagi kelas dua belas. Begitu ceritanya selesai, Tari langsung mendapatkan ucapan selamat.
“Orang dia cuma ngasih tau kalo nama kami tuh sama kok,” ucap Tari dengan nada lelah campur kesal, karena azas manfaat yang diperlihatkan terang-terangan itu.
“Itu namanya pedekate, Oneng!” kata Christian. “Udah, terima aja. Soalnya kalo nggak, sekelas bisa bonyok nih.”
“Iya ya? Bener juga. Iya, Tar. Terima aja.” Nyoman mengangguk-angguk, baru menyadari kebenaran kalimat Christian itu. Yang lain juga setuju.
“Jadi, daripada yang bonyok satu kelas, mending gue sendiri aja yang jadi korban, gitu ya?” Tari memandang teman-teman sekelasnya dengan dongkol.
“Ya iyalaah!” mereka menjawab kompak, kemudian ketawa geli.
“Masa pacaran bisa bikin lo bonyok sih? Kecuali kalo lo selingkuh,” kata Maya.
“Udah, Tar. Terima aja. Demi keamanan dan keselamatan kelas kita,” putus Renanta, sang ketua kelas. Mendengar itu, Tari jadi makin sebel sama Ari.
Bel masuk sudah berbunyi, tapi cowok itu masih menahannya di kantin. Sengaja menunggu sampai ruangan kantin benar-benar kosong, untuk menegaskan kembali ucapannya. Bahwa mereka dipertemukan bukan karena satu kebetulan. Bahwa dia dan Tari adalah benda dan bayangan untuk satu sama lain. Karena itu Ari meminta, dengan nada yang bagi Tari lebih tepat terdengar memaksa, untuk menolak tawaran dari cowok mana pun yang ingin mengajaknya makan, atau ajakan apa pun yang sifatnya pedekate.
Secara spesifik Ari memang tdiak menyebut nama Angga, namun dengan kemunculan Ari di kelas Tari yang mencapai jumlah tiga kali dalam waktu cuma dua hari, ditambah cowok itu menggandengnya dengan demonstrasif di depan begitu banyak mata, sudah tertutup kemungkinan bagi Tari untuk bisa dapat cowok dari lingkungan satu sekolah.
Sepuluh menit setelah bel berbunyi, Ari mengantar Tari ke kelas, untuk menjelaskan pada guru yang sedang mengajar bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab atas keterlambatan Tari masuk kelas.
Perjalanan singkat dari kantin ke kelas ditempuh Tari dalam kondisi setengah sadar. Kepalanya penuh dengan kata-kata cowok yang berjalan di sebelahnya itu. Bahwa mereka berdua adalah bayangan untuk satu sama lain! Dan karenanya dia harus menolak cowok mana pun yang mau pedekate.
Itu tadi nembak atau apa sih?
Sialnya, begitu sampai kelas, lagi-lagi Bu Pur yang sedang mengajar. Begitu Ari pergi, tentu saja setelah cowok itu sesaat menggoda sang guru, langsung Tari mendapatkan teguran keras. Kalau sebelumnya Bu Pur memanggilnya ke ruang guru agar pembicaraan itu hanya jadi rahasia mereka, kali ini Bu Pur melakukannya terang-terangan di depan kelas.
Dengan kepala agak tertunduk dan muka merah padam menahan malu, Tari mendengarkan rentetan kalimat keras Bu Pur yang juga bisa didengar seluruh isi kelas itu. Itulah kejadian yang menjadi awal timbulnya rasa tidak suka Tari terhadap Ari.
Begitu bel istirahat kedua berbunyi, kejadian yang sama persis seperti waktu istirahat pertama terulang. Tari dikerubungi seisi kelas dan langsung dibombardir pertanyaan. Tapi kali ini ia tahu, Ari nggak mungkin nongol lagi. Jadi ia nggak bisa mengelak dan terpaksa menceritakan sebagian isi pembicaraannya dengan cowok itu.
Saat dikatakannya bahwa nama lengkap Ari adalah Matahari Senja, semuanya kontan berseru kaget. Dan semuanya kompak, sependapat, bahwa Tari dan Ari jangan-jangan jodoh. Soulmate.
Soalnya punya nama yang sama. Apalagi kalau ingat mereka pernah dua kali dipertemukan oleh ketidaksengajaan.
Pendapat teman-temannya itu seperti bentuk lain dari apa yang dikatakan Ari tapi tidak diceritakan Tari pada mereka. Benda dan bayangan.
Di luar dugaan Tari, teman-teman sekelasnya menyambut berita itu dengan girang. Nggak cewek nggak cowok, karena itu berarti mereka bisa minta perlindungan Ari –lewat Tari tentunya– kalau nanti mereka kena gencet anak kelas sebelas apalagi kelas dua belas. Begitu ceritanya selesai, Tari langsung mendapatkan ucapan selamat.
“Orang dia cuma ngasih tau kalo nama kami tuh sama kok,” ucap Tari dengan nada lelah campur kesal, karena azas manfaat yang diperlihatkan terang-terangan itu.
“Itu namanya pedekate, Oneng!” kata Christian. “Udah, terima aja. Soalnya kalo nggak, sekelas bisa bonyok nih.”
“Iya ya? Bener juga. Iya, Tar. Terima aja.” Nyoman mengangguk-angguk, baru menyadari kebenaran kalimat Christian itu. Yang lain juga setuju.
“Jadi, daripada yang bonyok satu kelas, mending gue sendiri aja yang jadi korban, gitu ya?” Tari memandang teman-teman sekelasnya dengan dongkol.
“Ya iyalaah!” mereka menjawab kompak, kemudian ketawa geli.
“Masa pacaran bisa bikin lo bonyok sih? Kecuali kalo lo selingkuh,” kata Maya.
“Udah, Tar. Terima aja. Demi keamanan dan keselamatan kelas kita,” putus Renanta, sang ketua kelas. Mendengar itu, Tari jadi makin sebel sama Ari.
***
Sampai malam, Tari masih kacau. PR dan tuags
yang bejibun jadi terbengkalai, bahkan bisa dibilangterlupakan. Lewat telepon
akhirnya dia ceritakan semuanya kepada Fio. Teman semejanya itu kontan kaget.
“Dia nembak elo, Tar. Udah nggak salah lagi.”
“Trus, gue mesti gimana dong?” tanya Tari cemas.
“Yah… kalo gitu ceritanya sih, ya udah. Apa boleh buat?”
“Yaaah,” Tari langsung lemas. “Elo kok ngomongnya sama kayak temen-temen sekelas gitu sih?”
“Abis kalo storinya udah gitu, kayaknya emang nggak ada jalan lain, Tar.”
“Tapi gue nggak mau pacaran sama dia. Serem, tau.”
“Tapi dulu kan lo suka sama dia? Sempet suka, maksud gue.”
“Dulu pas upacara itu? Waktu itu kan gue belom tau kalo dia itu yang namanya Ari. Malah kita semua belum tau.”
“Tapi waktu lo diselametin Ari pas kejebak tawuran itu, yang lo dianterin sampe kelas, lo bilang lo ngeras dia itu sebenarnya baik. Inget, nggak? Berarti kan sebenernya lo suka sama dia?”
“Itu gue ngomong dengan kapasitas orang yang kayaknya nggak mungkin bisa pacaran sama dia. Ngerti kan lo? Sama kayak elo gitu deh, Fi. Lo naksir Thomas, ketua OSIS. Tapi lo ngerasa kayaknya nggak mungkin bisa jadian sama dia. Jangankan jadian, bisa deket aja kayaknya nggak mungkin. Iya, kan? Gue masih inget kok lo pernah ngomong gitu.”
“Hehehehe, iya sih,” di seberang, Fio ketawa malu.
“Lagian sekarang gue jadi sebel sama dia, gara-gara ngeliat dia godain Bu Pur. Bener-bener tu orang, nggak tau sopan santunnya parah banget.”
“Iya emang,” fio setuju. “Jadi rencana lo gimana?”
“Belom tau. Bingung…” Tari menghela napas. “Yang jelas, nggak mau deh pacaran sama dia. Nggak banget!”
Tiba-tiba terdengar nada sela.
“Bentar, Fi. Ada telepon masuk.” Tari menjauhkan ponselnya dari telinga. Nama Angga muncul di layar. Dia dekatkan lagi ponselnya ke telinga. “Dari Angga. Udah dulu ya, Fi.”
“He-eh. Kalo ada apa-apa, cerita ya.”
“Iya. Daah!” diputuskannya hubungan telepon dengan Fio dan langsung diangkatnya panggilan Angga. “Ya, halo?”
“Sibuk banget kayaknya ya? Lagi online sama siapa? Pasti cowok.” Kalimat yang sebenarnya bermaksud menyelidik itu diungkapkan Angga dengan nada menggoda yang manis. Yang memang sengaja dia gunakan untuk menyamarkan.
“Nggak. Sama Fio.”
“Oh, kirain sama cowok. Syukur deh. Gue nggak jadi patah hati.”
“Ha?”
“Udah makan?”
“Nggak, tadi itu maksudnya apa sih?” tanya Tari. Keningnya sudah mengerut rapat.
“Kalimta tadi? Ya begitu,” ucap Angga. Suaranya mendadak melembut. “Udah makan belom?”
“Ng… udah belom ya? Udah deh kayaknya.”
“Kok kayaknya?” di seberang Angga mengerutkan kedua alisnya.
Dan kekacauan Tari yang tadi sudah langsung bisa dirasakan Angga lewat suara kini bisa ditangkapnya dengan jelas lewat kata-kata.
“Elo kenapa, Tar? Kok kayaknya kacau banget?”
“Nggak. Nggak pa-pa.”
Meskipun tak ada pengakuan yang keluar, Angga sudah bisa menduga Ari-lah pangkal penyebabnya. Tapi Angga tidak bertanya apa-apa. Seperti Ari sama sekali tidak menyinggung nama Angga, Angga juga melakukan hal yang sama. Cowok itu tidak menyinggung nama Ari sama sekali. Namun keduanya tahu dengan paati, siapa lawan masing-masing.
“Minum teh manis anget gih. Biar tenang,” saran Angga. Suara lembutnya begitu sarat perhatian.
“Iya, ntar. Ada apa lo telepon?”
“Nggak ada apa-apa. Emangnya harus ada apa-apa dulu ya, baru boleh telepon?”
Tari tertawa pelan, jadi merasa nggak enak. “Ya nggak juga sih. Tapi nggak mungkin nggak ada maksud deh.”
Ganti Angga tertawa pelan. “Lo itu ternyata cerdas ya?”
“Itu mah cewek bego juga tau, lagi.”
Kali ini tawa pelan Angga berkembang menjadi tawa geli.
“Besok pagi lo gue jemput ya, Tar.” Gue anter sampe sekolah.”
Tari tercengang. “Lo gila ya? Lo bisa bonyok, tau!”
“Nggak sampe depan sekolah. Gue juga tau itu sama aja nganter nyawa. Sampe halte aja. Oke? Besok lo gue jemput jam enam kurang. Sampe ketemu besok ya? Bye.”
Dan telepon langsung ditutup. Angga sengaja tidak member Tari kesempatan untuk menolak ajakannya. Tari ternganga, masih dengan ponsel menempel di satu telinganya.
Tari langsung teringat percakapan awalnya dengan Angga tadi. Cowok itu bilang nggak jadi patah hati karena ternyata Tari lagi online sama Fio dan bukannya sama cowok.
Itu tadi nembak atau apa sih? Tari mengetuk-ngetukkan ponselnya ke kepala. Bingung, sekaligus cemas.
“Telepon Fio deh,” desahnya dan buru-buru dikontaknya teman semejanya itu.
“Iya. Itu dia nembaaaaak!” Fio langsung memekik begitu tari menceritakan. “Wah, ini gawat, Tar!”
“Iya, gue tau. Jadi gimana dong?” pertanyaan Tari itu tidak terjawab. Fio juga bingung.
“Ya udah. Liat gimana perkembangannya aja nanti.” Akhirnya cuma itu yang bisa diusulkan Fio. Keduanya kemudian mengakhiri pembicaraan.
“Hari ini kok kacau banget sih?” desis Tari, sambil mati-matian berusaha berkonsentrasi mengerjakan PR. Akhirnya cewek itu jatuh tertidur. Dengan kepala menelungkup di atas meja dan PR yang tidak selesai.
“Dia nembak elo, Tar. Udah nggak salah lagi.”
“Trus, gue mesti gimana dong?” tanya Tari cemas.
“Yah… kalo gitu ceritanya sih, ya udah. Apa boleh buat?”
“Yaaah,” Tari langsung lemas. “Elo kok ngomongnya sama kayak temen-temen sekelas gitu sih?”
“Abis kalo storinya udah gitu, kayaknya emang nggak ada jalan lain, Tar.”
“Tapi gue nggak mau pacaran sama dia. Serem, tau.”
“Tapi dulu kan lo suka sama dia? Sempet suka, maksud gue.”
“Dulu pas upacara itu? Waktu itu kan gue belom tau kalo dia itu yang namanya Ari. Malah kita semua belum tau.”
“Tapi waktu lo diselametin Ari pas kejebak tawuran itu, yang lo dianterin sampe kelas, lo bilang lo ngeras dia itu sebenarnya baik. Inget, nggak? Berarti kan sebenernya lo suka sama dia?”
“Itu gue ngomong dengan kapasitas orang yang kayaknya nggak mungkin bisa pacaran sama dia. Ngerti kan lo? Sama kayak elo gitu deh, Fi. Lo naksir Thomas, ketua OSIS. Tapi lo ngerasa kayaknya nggak mungkin bisa jadian sama dia. Jangankan jadian, bisa deket aja kayaknya nggak mungkin. Iya, kan? Gue masih inget kok lo pernah ngomong gitu.”
“Hehehehe, iya sih,” di seberang, Fio ketawa malu.
“Lagian sekarang gue jadi sebel sama dia, gara-gara ngeliat dia godain Bu Pur. Bener-bener tu orang, nggak tau sopan santunnya parah banget.”
“Iya emang,” fio setuju. “Jadi rencana lo gimana?”
“Belom tau. Bingung…” Tari menghela napas. “Yang jelas, nggak mau deh pacaran sama dia. Nggak banget!”
Tiba-tiba terdengar nada sela.
“Bentar, Fi. Ada telepon masuk.” Tari menjauhkan ponselnya dari telinga. Nama Angga muncul di layar. Dia dekatkan lagi ponselnya ke telinga. “Dari Angga. Udah dulu ya, Fi.”
“He-eh. Kalo ada apa-apa, cerita ya.”
“Iya. Daah!” diputuskannya hubungan telepon dengan Fio dan langsung diangkatnya panggilan Angga. “Ya, halo?”
“Sibuk banget kayaknya ya? Lagi online sama siapa? Pasti cowok.” Kalimat yang sebenarnya bermaksud menyelidik itu diungkapkan Angga dengan nada menggoda yang manis. Yang memang sengaja dia gunakan untuk menyamarkan.
“Nggak. Sama Fio.”
“Oh, kirain sama cowok. Syukur deh. Gue nggak jadi patah hati.”
“Ha?”
“Udah makan?”
“Nggak, tadi itu maksudnya apa sih?” tanya Tari. Keningnya sudah mengerut rapat.
“Kalimta tadi? Ya begitu,” ucap Angga. Suaranya mendadak melembut. “Udah makan belom?”
“Ng… udah belom ya? Udah deh kayaknya.”
“Kok kayaknya?” di seberang Angga mengerutkan kedua alisnya.
Dan kekacauan Tari yang tadi sudah langsung bisa dirasakan Angga lewat suara kini bisa ditangkapnya dengan jelas lewat kata-kata.
“Elo kenapa, Tar? Kok kayaknya kacau banget?”
“Nggak. Nggak pa-pa.”
Meskipun tak ada pengakuan yang keluar, Angga sudah bisa menduga Ari-lah pangkal penyebabnya. Tapi Angga tidak bertanya apa-apa. Seperti Ari sama sekali tidak menyinggung nama Angga, Angga juga melakukan hal yang sama. Cowok itu tidak menyinggung nama Ari sama sekali. Namun keduanya tahu dengan paati, siapa lawan masing-masing.
“Minum teh manis anget gih. Biar tenang,” saran Angga. Suara lembutnya begitu sarat perhatian.
“Iya, ntar. Ada apa lo telepon?”
“Nggak ada apa-apa. Emangnya harus ada apa-apa dulu ya, baru boleh telepon?”
Tari tertawa pelan, jadi merasa nggak enak. “Ya nggak juga sih. Tapi nggak mungkin nggak ada maksud deh.”
Ganti Angga tertawa pelan. “Lo itu ternyata cerdas ya?”
“Itu mah cewek bego juga tau, lagi.”
Kali ini tawa pelan Angga berkembang menjadi tawa geli.
“Besok pagi lo gue jemput ya, Tar.” Gue anter sampe sekolah.”
Tari tercengang. “Lo gila ya? Lo bisa bonyok, tau!”
“Nggak sampe depan sekolah. Gue juga tau itu sama aja nganter nyawa. Sampe halte aja. Oke? Besok lo gue jemput jam enam kurang. Sampe ketemu besok ya? Bye.”
Dan telepon langsung ditutup. Angga sengaja tidak member Tari kesempatan untuk menolak ajakannya. Tari ternganga, masih dengan ponsel menempel di satu telinganya.
Tari langsung teringat percakapan awalnya dengan Angga tadi. Cowok itu bilang nggak jadi patah hati karena ternyata Tari lagi online sama Fio dan bukannya sama cowok.
Itu tadi nembak atau apa sih? Tari mengetuk-ngetukkan ponselnya ke kepala. Bingung, sekaligus cemas.
“Telepon Fio deh,” desahnya dan buru-buru dikontaknya teman semejanya itu.
“Iya. Itu dia nembaaaaak!” Fio langsung memekik begitu tari menceritakan. “Wah, ini gawat, Tar!”
“Iya, gue tau. Jadi gimana dong?” pertanyaan Tari itu tidak terjawab. Fio juga bingung.
“Ya udah. Liat gimana perkembangannya aja nanti.” Akhirnya cuma itu yang bisa diusulkan Fio. Keduanya kemudian mengakhiri pembicaraan.
“Hari ini kok kacau banget sih?” desis Tari, sambil mati-matian berusaha berkonsentrasi mengerjakan PR. Akhirnya cewek itu jatuh tertidur. Dengan kepala menelungkup di atas meja dan PR yang tidak selesai.
***
Angga datang jam enam kurang sepuluh. Tari yang
mengetahui kedatangan cowok itu lewat panggilan mamanya segera membenahi
buku-bukunya. Gara-gara semalam ketiduran, PR-nya jadi nggak selesai. Terpaksa
dia bangun sebelum subuh.
“Itu cowok yang waktu itu sore-sore nganterin kamu?” Mama langsung menyambut dengan pertanyaan begitu Tari keluar kamar. Ada tatapan ingin tahu di kedua mata Mama.
“Iya. Dia mau nganter Tari sampe sekolah.” Tari mengangguk. “Tari berangkat ya, Ma,” pamitnya sambil berjalan menuju pintu depan.
“Ati-ati di jalan, bilang sama cowok itu.”
“Iya.”
Begitu Tari muncul di pintu, Angga yang duduk di atas jok motornya yang diparkir di luar pagar langsung menyambutnya dengan senyum.
“Udah baikan?” tanyanya begitu Tari sudah berada di depannya.
Tari mengerutkan kening. “Maksudnya?”
“Semalem lo kacau banget.”
“Ooh…” Tari tersenyum. “Udah.”
“Udah sarapan?”
“Udah.”
“Tidurnya semalem cukup?”
“Apaan sih lo? Norak, tau.” Tari jadi jengah dengan rentetan pertanyaan Angga yang sarat perhatian itu. Cewek itu tidak mampu mencegah rona merah menjalari kedua pipinya. Angga menatap rona merah itu. Dia kedipkan satu matanya.
“Yuk.” Angga mengulurkan helm dan jaket pada Tari, lalu menstater motornya. Saat itulah Tari menyadari Angga tidak mengenakan seragam. Cowok itu memakai celana jins biru, dan dari risleting jaketnya yang terbuka di bagian atasnya Tari bisa melihat T-shirt putih di baliknya.
“Lo nggak pake seragam?” tanyanya heran.
“Gampang. Tinggal ganti di toilet sekolah,” Angga menjawab ringan. “Yuk. Udah jam enam lewat nih.”
Tari buru-buru mengenakan jaket dan helm yang diulurkan Angga.
“Duduknya jangan nyamping ya, Non.”
‘Udah tau. Biar lo nggak kayak lagi boncengin emak lo, kan?”
Angga menyeringai. “Bukan. Biar gue nggak dikira tukang ojek.”
Tari tergelak. Disingsingkannya rok panjangnya, kemudian duduk di belakang Angga.
“Udah?” Angga menatapnya lewat spion.
“Yap!”
“Oke. Pegangan ya.”
Keduanya membelah lalu lintas pagi Jakarta yang mulai padat. Sepanjang jalan Angga sengaja mengajak Tari ngobrol, membuat Tari merasa nyaman hingga tidak menyadari Angga tidak menepati janjinya yang katanya hanya mengantar sampai di halte.
Pengamatan yang selalu dilakukan sebelum melakukan penyerangan membuat Angga tahu kebiasaan Ari. Cowok itu sering menuggu bel masuk dengan duduk-duduk di tepi lapangan futsal yang dinaungi pohon, di area depan sekolahnya.
Tari terpengarah ketika Angga menghentikan motornya tepat di depan sekolah, kira-kira lima belas meter dari pintu gerbang.
“Gila lo, di depan sekolah!” bisiknya tegang.
“Makanya gue nggak bisa lama-lama.” Angga mengangkat kaca helmnya, balas berbisik tapi dengan nada santai.
Tari buru-buru turun. Cepat-cepat ia melepaskan helm dan jaket Angga yang dipakainya, lalu mengembalikannya kepada sang pemilik.
‘Thanks ya,” ujarnya.
“Oke. Cepet masuk sana!”
“Elo yang cepet pergi sana!”
Angga ketawa geli. “Oke deh. Sampe ketemu ya.” Cowok itu menurunkan kembali kaca helmnya lalu langsung tancap gas.
Emang nggak perlu lama-lama. Seperti dugaan Angga, Ari sedang duduk di tepi lapangan futsal bersama teman-temannya. Dan keberadaan Angga tepat di depan sekolah, meskipun cuma tiga puluh detik, jelas tertangkap kedua matanya.
Tanpa seragam dan dengan kepala terbugkus helm membuat tak seorang pun siswa SMA Airlangga menyadari kehadiran pentolan SMA musuh bebuyutan sekolah mereka itu.
Hanya Ari. Pertama karena Tari, kedua karena kedua mata Angga terarah tepat padanya. Ari sangat hafal bentuk kedua mata itu dan sorot khasnya. Dan tindakan Angga itu membuat Ari tecengang. Benar-benar di luar dugaannya cowok itu berani mengantar Tari sampai di depan sekolah.
Dengan geram Ari bangkit berdiri. Dengan langkah-langkah cepat dia berjalan ke arah pintu gerbang lalu berdiri dengan punggung bersandar di dinding pos sekuriti. Sementara itu sesaat setelah Ari meninggalkan teman-temannya, Tari berjalan kea rah pintu gerbang dengan langkah-langkah cepat. Lewat sela-sela jeruji pagar, diawasinya tepi lapangan futsal tempat Ari biasa duduk. Ketika dilihatnya cowok itu, Tari menarik napas panjang-panjang.
“Fiuuuuh, aman! Aman…!” desahnya lega. Seketika langkah-langkahnya jadi melambat.
“Dianter siapa tadi?”
Tari nyaris saja melompat. Kaget karena tiba-tiba saja Ari sudah ada di depannya, sesaat begitu dilewatinya ambang gerbang sekolah. Sontak cewek itu memucat. Bukan saja karena kaget, tapi juga karena orang yang paling ingin dihindarinya ternyata malah muncul tepat di depan mata.
“Angga?” Ari menjawab sendiri pertanyaannya.
“Emmm, iya,” Tari menjawab dengan suara pelan. Kedua matanya yang sempat menatap Ari buru-buru dia alohkan ke tempat lain. Ngeri melihat tatapan tajam Ari yang terarah lurus-lurus padanya.
“Lupa yang gue bilang di kantin, kemaren?”
“Dia yang jemput ke rumah kok.”
“Bisa lo tolak, kan?”
“Nggak ada alasannya.”
“Kan gue udah bilang di kantin kemaren. Lupa?” Ari mengulang kalimatnya. Sekarang sambil dia tundukkan kepalanya rendah-rendah. Tari serentak mundur. Mukanya bersemu merah.
“Maksudnya, nggak ada alasan yang pas buat nolak dia. Gitu lho,” kilah Tari, lalu buru-buru kabur.
Ari menatap Tari yang berjalan menjauh dengan langkah-langkah cepat. Dia sudah tahu , pasti Angga yang mengambil inisiatif. Tapi keduanya terlihat akrab. Untuk peretmuan yang baru terjadi dua kali, dengan setting yang juga jauh dari manis apalagi romantic, kemajuan yang dicapai Angga cukup mengejutkan. Sekali lagi cowok itu mendahului langkahnya!
Tubuh Ari menegang. Mendadak saja dia dicekam ketakutan. Seketika dikejarnya Tari. Tari kaget saat tiba-tiba satu tangannya ditarik dari belakang.
“Sekarang gue kasih lo alasan yang pas!” Ari langsung menyambutnya dengan satu kalimat tandas.
“Eh!? Eh!? Kakak apa-apaan sih!?” Tari berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Ari. Tapi itu justru membuat Ari mengetatkan cekalan kelima jarinya di pergelangan tangan Tari. Tari memucat ketika tahu ke mana Ari tengah menyeretnya. Area kelas dua belas!
“Kak Ari, lepas!”
Sekuat tenaga Tari menarik tangannya yang berada dalam genggaman Ari, sementara kelima kuku dari tangannya yang bebas dia tancapkan dalam-dalam ke dalam lengan Ari. Tapi itu justru membuat Ari jadi semakin marah. Ditariknya Tari dengan sentakan keras. Sampai tubuh cewek itu membentur tubuhnya.
“Brenti berontak, kalo lo nggak mau gue jadi kasar!” desisnya. Tari langsung kooperatif. Bukan saja karena sepasang mata nyalang Ari membuat nyalinya ciut, juga karena mereka sudah menaiki tangga menuju lantai dua gedung selatan, tempat kelas-kelas dua belas berada.
Kalau sebelumnya kegemparan itu terjadi di area kelas sepuluh, merembet ke area kelas sebelas dalam bentuk berita dan laporan heboh beberapa saksi mata, kemudian sampai di area kelas dua belas dalam bentuk laporan tanpa saksi mata, kini kegemparan itu terjadi langsung di area kelas dua belas.
Dan kegemparan yang terjadi di area angkatan dengan hierarki tertinggi itu jelas lebih hebat daripada yang terjadi di area kelas sepuluh. Karena kelas dua belas adalah angkatan yang paling mengenal Ari.
Mereka tahu dengan pasti kosongnya “tempat” di sebelah Ari selama ini. Karena itu munculnya sang pentolan sekolah itu dengan seorang cewek yang digandengnya erat-erat jelas menimbulkan kegemparan lebih dari sekadar tatap-tatap terkesima dan mulut-mulut ternganga seperti yang terjadi di area kelas sepuluh.
Begitu memasuki kelas dua belas, sebagian dari tatap-tatap terkesima dan mulut-mulut ternganga kemudian mengekor di belakang keduanya. Tidak tidak diam di tempat seperti yang terjadi di area kelas sepuluh.
Lama-lama jumlah pengekor semakin banyak dan keduanya jadi terlihat seperti sepasang pengantin yang sedang diiringi sanak keluarga dan orang sekampung. Yang mengiringi bukan hanya dengan rasa ingin tahu, tapi juga berondongan pertanyaan dan komentar.
“Siapa, Ar? Siapa? Kenalin dong!” teriak satu suara.
“Cewek lo, Ar? Akhirnya! Gue kirain lo homo!” satu suara lain melengking keras.
“Anak sekolah kita juga?” satu suara lain menyeruak dari dengungan.
“Ya iyalah. Liat badgenya dong. Goblok banget lo nanyanya,” lontaran pertanyaan itu langsung mendapatkan jawaban.
Sementara itu, di sebelah Ari, Tari melangkah seperti dalam mimpi. Riuhnya suasana yang mengelilingi mereka membuatnya tak lagi mampu mencerna apa yang tengah terjadi. Di samping itu, di antara tatap-tatap ingin tahu yang tidak bersuara, dia menemuka sorot iri, benci, bahkan kemarahan. Satu hal yang bisa dia sadari, mulai saat ini hari-harinya ke depan bisa dipastikan bakalan runyam dan banyak masalah.
Rombongan pengiring it uterus mengikuti Ari menggandeng Tari masuk ke kelasnya. Dibawanya cewek itu ke bangku Oji, yang hari ini nggak masuk. Setelah itu ditariknya bangkunya sendiri, rapat di sebelah bangku Oji yang kini diduduki Tari. Kemudian Ari duduk dan merentangkan kedua tangannya. Satu dai letakkan di puncak sandaran kursi yang diduduki Tari, satu di meja depan cewek itu. Dia sangat menyadari takut yang dirasakan Tari. Karena begitu memasuki area kelas dua belas, cewek itu berhenti berontak dan tidak lagi mengeluarkan suara.
Ari sengaja bersikap ambigu. Proteksi sekaligus unjuk kekuasaan. Lo aman di sebelah gue, karena gue berkuasa!
Pak Yusuf, guru Bahasa Indonesia yang mengajar di jam pertama, memasuki kelas dengan kening berkerut karena ruangan itu sudah seperti tempat penampungan yang memuat terlalu banyak pengungsi.
“Ada apa ini!?” serunya sambil mengetuk-ngetuk whiteboard dengan spidol keras-keras. Seisi ruangan menoleh kaget. “Cepat ke kelas masing-masing. Sudah bel!”
Para pengiring Ari dan Tari kontan bubar. Begitu yang tersisa tinggal penghuni asli kelas XII IPA 3, Pak Yusuf langsung menyadari adanya pendatang baru. Bukan karena dia hafal isi kelas itu, tapi karena Tari telihat takut dan canggung berada di antara orang-orang yang tidak dikenalnya.
“Kamu bukan siswa kelas ini, kan?” tanyanya.
“Bukan, Pak,” jawab Tari pelan disertai gelengan kepala. Gelengan kepala itulah yang membuat Pak Yusuf tahu, karena suara Tari sama sekali tidak terdengar olehnya.
“Kamu kelas berapa?”
Duh! Tari mengeluh dalam hati. Kenapa pake nanya gue kelas berapa sih? Suruh aja gue pergi dari sini! Jeritnya dalam hati. Meskipun sejak tadi dirinya sudah jadi pusat perhatian, hadirnya Pak Yusuf dan mata seisi kelas yang terarah padanya membuat Tari merasa kehadiran guru itu sama sekali tidak berguna.
“Bapak nanya saya aja. Saya tau kok dia kelas berapa,” Ari menawarkan diri. Pak Yusuf tidak mengacuhkan. Kedua matanya tetap tertuju pada Tari.
“Kelas berapa kamu?” ulangnya.
“Sepuluh sembilan, Pak,” jawab Tari setelah menghela napas diam-diam.
“Berapa?” Pak Yusuf menyipitkan kedua matanya. Tidak bisa mendengar suara Tari saking lirhnya.
“Sepuluh sembilan!” Ari yang menjawab, dengan suara lantang dan sambil melirik cewek di sebelahnya itu. “Udah saya bilangin, Bapak nanya sama saya aja. Ni cewek suaranya allus banget, Pak. Saya aja yang di sebelahnya nggak denger.”
“OOOH, KELAS SEPULUH SEMBILAAAAN!!!” seisi kelas membeo dalam bentuk koor yang kompak dan nyaring.
“Nama kamu?” tanya Pak Yusuf lagi.
“Jingga Matahari, Pak!” lagi-lagi Ari yang menjawab. Begitu Ari menyebutkan nama lengkap Tari, kontan ruangan kelas jadi sunyi senyap. Tapi hanya sesaat. Kemudian suasana berubah riuh. Semua membicarakan persamaan nama dua orang yang duduk bersebelahan itu. Heran. Takjub.
Pak Yusuf mengetuk-ngetuk meja dengan penghapus whiteboard keras-keras. Memerintahkan kelas agar tenang. Tapi belum sempat beliau bicara, Eki sudah menyerukan usulan agar hari ini mereka bebas, nggak belajar.
“Pak, hari ini nggak usah belajar deh. Kita merayakan bertemunya dua Matahari ini.”
“SETUJU! SETUJUUU!!!” seisi kelas langsung menyambut dengan gegap-gempita.
“Terus kenapa kalau mereka punya nama yang sama?” tanya Pak Yusuf dengan nada dingin.
“Ya kan orang yang namanya Matahari itu jarang banget, Pak. Seumur hidup malah baru ini saya punya temen namanya Matahari. Kalo nama Bapak, Yusuf, buanyak buanget, Pak. Coba deh Bapak pergi ke pasar, terus teriak manggil nama sendiri. Ada kali lima puluh orang ikutan nengok juga, Pak.”
Ucapan Eki membuat seisi kelas ketawa geli.
“Kurang ajar lo sama orang tua, Ki. Dosa, tau!” kata Ical.
Eki buru-buru berkilah. “Bukan begitu, Pak,” katanya sambil tersenyum sumir. “Maksud saya, nama ‘Matahari’ itu superlangka. Jadi bertemunya dua ‘Matahari’ jelas peristiwa yang juga sangat langka. Berarti ini suratan takdir. Kehendak dari Sang Maha Pemberi Hidup yang bertakhta di keabadian untuk mempertemukan kedua insan ini, Pak. Makanya perlu dirayakan.” Eki menoleh ke Ical lalu meringis. “Keren banget kan kata-kata gue?”
“Iya. Gila, lo Gibran banget, man. Nggak nyangka.” Ical geleng-geleng kepala sambil mendecakkan lidah dan mengacungkan kedua ibu jarinya.
Kembali kelasriuh dipenuhi tawa-tawa geli. Pak Yufuf menatap Eki dan Ical dengan pandangan dingin, lalu perhatiannya kembali ke Tari.
“Kenapa kau ada disini?”
“Saya yang bawa dia kesini, Pak,” ucap Ari dengan gaya khasnya apabila sedang melakukan penentangan. Tenang, lugas, tandas.
Pak Yusuf jadi semakin kesal. Kemungkinan besar dia akan semakin banyak kehilangan waktu mengajarnya, karena lagi-lagi Ari membuat ulah.
“Kembali ke kelas kamu. Cepat!” perintahnya. Dengan lega Tari berdiri. Akhirnya dirinya bebas juga. Tapi Ari langsung mencekal pergelangan tangan Tari dan menariknya sampai cewek itu jatuh terduduk di sebelahnya lagi.
“Oji nggak masuk, Pak. Makanya dia saya ajak ke sini. Semuanya pada punya pasangan, masa saya sendirian? Kan nggak adil. Lagipula, hari ini mnedung. Kayaknya bakalan hujan deras.
Sendirian, pas dingin-dingin, terus di tengah pasangan-pasangan. Sumpah, itu rasanya merana banget, Pak.”
“Ya udah. Gue duduk sama elo deh,” Ridho menawarkan diri.
Ari menoleh lalu menatapnya sambil menggelengkan kepala. “Poligami, oke. Tapi kalo homo-homoan, mending gue sama satu orang aja deh. Cukup si Oji aja, man. Too much love will kill you,” ucap Ari kalem. Seisi kelas kontan tertawa riuh.
Di saat Pak Yusuf berpikir keras bagaimana caranya menyelesaikan masalah di depannya, karena Ari sudah terkenal semakin dikerasii akan semakin frontal, tiba-tiba Bu Sam muncul di pintu kelas. Rupanya Fio sempat melihat saat Tari dibawa Ari dengan paksa. Dan ketika teman semejanya itu tidak muncul-muncul juga, Fio langsung melapor pada wali kelas mereka, Bu Pur. Bu Pur otomatis melaporkan peristiwa itu pada wali kelas Ari, Bu Sam.
Bu Sam, yang selalu meras telah terkena kutukan setiap kali teringat dirinya menjadi wali kelas Ari, langsung berjalan menuju kelas XII IPA 3 dengan langkah lebar dan roman muka kesal. Setelah mengangguk ke arah rekan sejawatnya, Pak Yusuf, Bu Sam langsung melayangkan pandangannya pada Tari.
“Kamu Tari?”
“Iya Bu.” Tari mengangguk, kembali terlihat lega.
“Kembali ke kelas kamu. Sekarang!”
Tari langsung berdiri dan bergegas keluar. Tak lama kemudian suara langkah-langkah kebebasannya di sepanjang koridor menghilang. Di luar dugaan semua orang, Ari membiarkan. Dia cuma tersenyum tipis kemudian berdecak sambil menggelengkan kepala.
“Ibu tuh kayaknya nggak bisa banget kalo ngeliat saya seneng dikit aja ya?”
Bu Sam tidak mengacuhkan ucapan Ari itu. Dia mengangguk ke arah Pak Yusuf sambil mengucapkan terima kasih, kemudian pergi. Pak Yusuf segera memrintahkan seisi kelas agar membuka buku cetak masing-masing. Kemudian beliau berdiri di depan whiteboard dan mulai menuliskan poin-poin penting untuk dicatat. Begitu membalikkan badan, guru bahasa Indonesia itu kaget karena Ari sudah menghilang dari bangkunya.
“Ke mana dia?” tanyanya tajam.
“Nggak tau Paaak!” seisi kelas menjawab kompak.
Di kelas X-9, Bu Pur baru saja menyuruh Tari duudk di bangkunya, tanpa bertanya apa-apa karena dilihatnya muka cewek itu pucat dan terlihat jelas sedang berusaha keras menahan tangis.
Beliau kemudian meneruskan pekerjaannya yang sempat tertunda, memindahkan isi buku catatannya ke whiteboard agar disalin para muridnya.
Tapi ketika beberapa saat kemudian dia membalikkan badan, ibu guru muda itu terkejut. Karena Ari sudah berada di dalam kelasnya. Duduk manis di sebelah Tari. Sementara Fio, sang pemilik bangku yang terusir, berdiri bingung di lorong antarbaris.
Bu Pur berdecak pelan, kesal saat masalah yang terjadi di kelas XII IPA 3 berpindah ke kelasnya. Untungnya tak lama kemudian Bu Sam muncul, dan tidak sendiri. Pak Rahardi, sang kepsek, menyusul di belakangnya.
“Maaf mengganggu sebentar, Bu Pur.” Pak Rahardi mengangguk ke arah Bu Pur, kemudian melangkah masuk dan berhenti di depan kelas. Sementara Bu Sam tetap berdiri di luar kelas, dengan muka yang sangat jelas terlihat sedang menahan marah. Pak Rahardi langsung melayangkan pandangannya pada Ari.
“Ari, kamu ikut Bapak!”
Ari menahan napas kemudian berdecak kesal. Sambil bangkit berdiri, cowok itu memukul meja di depannya.
“Beraninya pada keroyokan!” ucapnya.
Tari dan seluruh teman sekelasnya menatap ternganga. Walaupun telah berulang kali menyaksikan sikap Aro yang suka seenaknya, mereka tak menyangka itu juga berlaku di depan Pak Rahardi. Kepsek! Orang yang dianggap paling berpenagruh dan paling dihormati di sekolah.
“Ntar siang lo gue nater pulang.” Ari menepuk lengan Tari, bicara tanpa menoleh, kemudian melangkah keluar.
“Terimakasih Bu Pur, silahkan diteruskan.” Pak Rahardi menganggukkan kepala diikuti Bu Sam, kemudian pergi.
Melihat seisi kelas masih ternganga-nganga, menatap ke arah pintu tempat Ari menghilang bersama Pak Rahardi dan Bu Sam, Bu Pur mengetuk-ngetuk whiteboard dengan spidol.
“Ayo, kita lanjutkan!”
Tari menatap Fio dengan raut putus asa.
“Ntar kita omongin pas istirahat,” Fio menenangkan sebisanya.
Bersambung
“Itu cowok yang waktu itu sore-sore nganterin kamu?” Mama langsung menyambut dengan pertanyaan begitu Tari keluar kamar. Ada tatapan ingin tahu di kedua mata Mama.
“Iya. Dia mau nganter Tari sampe sekolah.” Tari mengangguk. “Tari berangkat ya, Ma,” pamitnya sambil berjalan menuju pintu depan.
“Ati-ati di jalan, bilang sama cowok itu.”
“Iya.”
Begitu Tari muncul di pintu, Angga yang duduk di atas jok motornya yang diparkir di luar pagar langsung menyambutnya dengan senyum.
“Udah baikan?” tanyanya begitu Tari sudah berada di depannya.
Tari mengerutkan kening. “Maksudnya?”
“Semalem lo kacau banget.”
“Ooh…” Tari tersenyum. “Udah.”
“Udah sarapan?”
“Udah.”
“Tidurnya semalem cukup?”
“Apaan sih lo? Norak, tau.” Tari jadi jengah dengan rentetan pertanyaan Angga yang sarat perhatian itu. Cewek itu tidak mampu mencegah rona merah menjalari kedua pipinya. Angga menatap rona merah itu. Dia kedipkan satu matanya.
“Yuk.” Angga mengulurkan helm dan jaket pada Tari, lalu menstater motornya. Saat itulah Tari menyadari Angga tidak mengenakan seragam. Cowok itu memakai celana jins biru, dan dari risleting jaketnya yang terbuka di bagian atasnya Tari bisa melihat T-shirt putih di baliknya.
“Lo nggak pake seragam?” tanyanya heran.
“Gampang. Tinggal ganti di toilet sekolah,” Angga menjawab ringan. “Yuk. Udah jam enam lewat nih.”
Tari buru-buru mengenakan jaket dan helm yang diulurkan Angga.
“Duduknya jangan nyamping ya, Non.”
‘Udah tau. Biar lo nggak kayak lagi boncengin emak lo, kan?”
Angga menyeringai. “Bukan. Biar gue nggak dikira tukang ojek.”
Tari tergelak. Disingsingkannya rok panjangnya, kemudian duduk di belakang Angga.
“Udah?” Angga menatapnya lewat spion.
“Yap!”
“Oke. Pegangan ya.”
Keduanya membelah lalu lintas pagi Jakarta yang mulai padat. Sepanjang jalan Angga sengaja mengajak Tari ngobrol, membuat Tari merasa nyaman hingga tidak menyadari Angga tidak menepati janjinya yang katanya hanya mengantar sampai di halte.
Pengamatan yang selalu dilakukan sebelum melakukan penyerangan membuat Angga tahu kebiasaan Ari. Cowok itu sering menuggu bel masuk dengan duduk-duduk di tepi lapangan futsal yang dinaungi pohon, di area depan sekolahnya.
Tari terpengarah ketika Angga menghentikan motornya tepat di depan sekolah, kira-kira lima belas meter dari pintu gerbang.
“Gila lo, di depan sekolah!” bisiknya tegang.
“Makanya gue nggak bisa lama-lama.” Angga mengangkat kaca helmnya, balas berbisik tapi dengan nada santai.
Tari buru-buru turun. Cepat-cepat ia melepaskan helm dan jaket Angga yang dipakainya, lalu mengembalikannya kepada sang pemilik.
‘Thanks ya,” ujarnya.
“Oke. Cepet masuk sana!”
“Elo yang cepet pergi sana!”
Angga ketawa geli. “Oke deh. Sampe ketemu ya.” Cowok itu menurunkan kembali kaca helmnya lalu langsung tancap gas.
Emang nggak perlu lama-lama. Seperti dugaan Angga, Ari sedang duduk di tepi lapangan futsal bersama teman-temannya. Dan keberadaan Angga tepat di depan sekolah, meskipun cuma tiga puluh detik, jelas tertangkap kedua matanya.
Tanpa seragam dan dengan kepala terbugkus helm membuat tak seorang pun siswa SMA Airlangga menyadari kehadiran pentolan SMA musuh bebuyutan sekolah mereka itu.
Hanya Ari. Pertama karena Tari, kedua karena kedua mata Angga terarah tepat padanya. Ari sangat hafal bentuk kedua mata itu dan sorot khasnya. Dan tindakan Angga itu membuat Ari tecengang. Benar-benar di luar dugaannya cowok itu berani mengantar Tari sampai di depan sekolah.
Dengan geram Ari bangkit berdiri. Dengan langkah-langkah cepat dia berjalan ke arah pintu gerbang lalu berdiri dengan punggung bersandar di dinding pos sekuriti. Sementara itu sesaat setelah Ari meninggalkan teman-temannya, Tari berjalan kea rah pintu gerbang dengan langkah-langkah cepat. Lewat sela-sela jeruji pagar, diawasinya tepi lapangan futsal tempat Ari biasa duduk. Ketika dilihatnya cowok itu, Tari menarik napas panjang-panjang.
“Fiuuuuh, aman! Aman…!” desahnya lega. Seketika langkah-langkahnya jadi melambat.
“Dianter siapa tadi?”
Tari nyaris saja melompat. Kaget karena tiba-tiba saja Ari sudah ada di depannya, sesaat begitu dilewatinya ambang gerbang sekolah. Sontak cewek itu memucat. Bukan saja karena kaget, tapi juga karena orang yang paling ingin dihindarinya ternyata malah muncul tepat di depan mata.
“Angga?” Ari menjawab sendiri pertanyaannya.
“Emmm, iya,” Tari menjawab dengan suara pelan. Kedua matanya yang sempat menatap Ari buru-buru dia alohkan ke tempat lain. Ngeri melihat tatapan tajam Ari yang terarah lurus-lurus padanya.
“Lupa yang gue bilang di kantin, kemaren?”
“Dia yang jemput ke rumah kok.”
“Bisa lo tolak, kan?”
“Nggak ada alasannya.”
“Kan gue udah bilang di kantin kemaren. Lupa?” Ari mengulang kalimatnya. Sekarang sambil dia tundukkan kepalanya rendah-rendah. Tari serentak mundur. Mukanya bersemu merah.
“Maksudnya, nggak ada alasan yang pas buat nolak dia. Gitu lho,” kilah Tari, lalu buru-buru kabur.
Ari menatap Tari yang berjalan menjauh dengan langkah-langkah cepat. Dia sudah tahu , pasti Angga yang mengambil inisiatif. Tapi keduanya terlihat akrab. Untuk peretmuan yang baru terjadi dua kali, dengan setting yang juga jauh dari manis apalagi romantic, kemajuan yang dicapai Angga cukup mengejutkan. Sekali lagi cowok itu mendahului langkahnya!
Tubuh Ari menegang. Mendadak saja dia dicekam ketakutan. Seketika dikejarnya Tari. Tari kaget saat tiba-tiba satu tangannya ditarik dari belakang.
“Sekarang gue kasih lo alasan yang pas!” Ari langsung menyambutnya dengan satu kalimat tandas.
“Eh!? Eh!? Kakak apa-apaan sih!?” Tari berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Ari. Tapi itu justru membuat Ari mengetatkan cekalan kelima jarinya di pergelangan tangan Tari. Tari memucat ketika tahu ke mana Ari tengah menyeretnya. Area kelas dua belas!
“Kak Ari, lepas!”
Sekuat tenaga Tari menarik tangannya yang berada dalam genggaman Ari, sementara kelima kuku dari tangannya yang bebas dia tancapkan dalam-dalam ke dalam lengan Ari. Tapi itu justru membuat Ari jadi semakin marah. Ditariknya Tari dengan sentakan keras. Sampai tubuh cewek itu membentur tubuhnya.
“Brenti berontak, kalo lo nggak mau gue jadi kasar!” desisnya. Tari langsung kooperatif. Bukan saja karena sepasang mata nyalang Ari membuat nyalinya ciut, juga karena mereka sudah menaiki tangga menuju lantai dua gedung selatan, tempat kelas-kelas dua belas berada.
Kalau sebelumnya kegemparan itu terjadi di area kelas sepuluh, merembet ke area kelas sebelas dalam bentuk berita dan laporan heboh beberapa saksi mata, kemudian sampai di area kelas dua belas dalam bentuk laporan tanpa saksi mata, kini kegemparan itu terjadi langsung di area kelas dua belas.
Dan kegemparan yang terjadi di area angkatan dengan hierarki tertinggi itu jelas lebih hebat daripada yang terjadi di area kelas sepuluh. Karena kelas dua belas adalah angkatan yang paling mengenal Ari.
Mereka tahu dengan pasti kosongnya “tempat” di sebelah Ari selama ini. Karena itu munculnya sang pentolan sekolah itu dengan seorang cewek yang digandengnya erat-erat jelas menimbulkan kegemparan lebih dari sekadar tatap-tatap terkesima dan mulut-mulut ternganga seperti yang terjadi di area kelas sepuluh.
Begitu memasuki kelas dua belas, sebagian dari tatap-tatap terkesima dan mulut-mulut ternganga kemudian mengekor di belakang keduanya. Tidak tidak diam di tempat seperti yang terjadi di area kelas sepuluh.
Lama-lama jumlah pengekor semakin banyak dan keduanya jadi terlihat seperti sepasang pengantin yang sedang diiringi sanak keluarga dan orang sekampung. Yang mengiringi bukan hanya dengan rasa ingin tahu, tapi juga berondongan pertanyaan dan komentar.
“Siapa, Ar? Siapa? Kenalin dong!” teriak satu suara.
“Cewek lo, Ar? Akhirnya! Gue kirain lo homo!” satu suara lain melengking keras.
“Anak sekolah kita juga?” satu suara lain menyeruak dari dengungan.
“Ya iyalah. Liat badgenya dong. Goblok banget lo nanyanya,” lontaran pertanyaan itu langsung mendapatkan jawaban.
Sementara itu, di sebelah Ari, Tari melangkah seperti dalam mimpi. Riuhnya suasana yang mengelilingi mereka membuatnya tak lagi mampu mencerna apa yang tengah terjadi. Di samping itu, di antara tatap-tatap ingin tahu yang tidak bersuara, dia menemuka sorot iri, benci, bahkan kemarahan. Satu hal yang bisa dia sadari, mulai saat ini hari-harinya ke depan bisa dipastikan bakalan runyam dan banyak masalah.
Rombongan pengiring it uterus mengikuti Ari menggandeng Tari masuk ke kelasnya. Dibawanya cewek itu ke bangku Oji, yang hari ini nggak masuk. Setelah itu ditariknya bangkunya sendiri, rapat di sebelah bangku Oji yang kini diduduki Tari. Kemudian Ari duduk dan merentangkan kedua tangannya. Satu dai letakkan di puncak sandaran kursi yang diduduki Tari, satu di meja depan cewek itu. Dia sangat menyadari takut yang dirasakan Tari. Karena begitu memasuki area kelas dua belas, cewek itu berhenti berontak dan tidak lagi mengeluarkan suara.
Ari sengaja bersikap ambigu. Proteksi sekaligus unjuk kekuasaan. Lo aman di sebelah gue, karena gue berkuasa!
Pak Yusuf, guru Bahasa Indonesia yang mengajar di jam pertama, memasuki kelas dengan kening berkerut karena ruangan itu sudah seperti tempat penampungan yang memuat terlalu banyak pengungsi.
“Ada apa ini!?” serunya sambil mengetuk-ngetuk whiteboard dengan spidol keras-keras. Seisi ruangan menoleh kaget. “Cepat ke kelas masing-masing. Sudah bel!”
Para pengiring Ari dan Tari kontan bubar. Begitu yang tersisa tinggal penghuni asli kelas XII IPA 3, Pak Yusuf langsung menyadari adanya pendatang baru. Bukan karena dia hafal isi kelas itu, tapi karena Tari telihat takut dan canggung berada di antara orang-orang yang tidak dikenalnya.
“Kamu bukan siswa kelas ini, kan?” tanyanya.
“Bukan, Pak,” jawab Tari pelan disertai gelengan kepala. Gelengan kepala itulah yang membuat Pak Yusuf tahu, karena suara Tari sama sekali tidak terdengar olehnya.
“Kamu kelas berapa?”
Duh! Tari mengeluh dalam hati. Kenapa pake nanya gue kelas berapa sih? Suruh aja gue pergi dari sini! Jeritnya dalam hati. Meskipun sejak tadi dirinya sudah jadi pusat perhatian, hadirnya Pak Yusuf dan mata seisi kelas yang terarah padanya membuat Tari merasa kehadiran guru itu sama sekali tidak berguna.
“Bapak nanya saya aja. Saya tau kok dia kelas berapa,” Ari menawarkan diri. Pak Yusuf tidak mengacuhkan. Kedua matanya tetap tertuju pada Tari.
“Kelas berapa kamu?” ulangnya.
“Sepuluh sembilan, Pak,” jawab Tari setelah menghela napas diam-diam.
“Berapa?” Pak Yusuf menyipitkan kedua matanya. Tidak bisa mendengar suara Tari saking lirhnya.
“Sepuluh sembilan!” Ari yang menjawab, dengan suara lantang dan sambil melirik cewek di sebelahnya itu. “Udah saya bilangin, Bapak nanya sama saya aja. Ni cewek suaranya allus banget, Pak. Saya aja yang di sebelahnya nggak denger.”
“OOOH, KELAS SEPULUH SEMBILAAAAN!!!” seisi kelas membeo dalam bentuk koor yang kompak dan nyaring.
“Nama kamu?” tanya Pak Yusuf lagi.
“Jingga Matahari, Pak!” lagi-lagi Ari yang menjawab. Begitu Ari menyebutkan nama lengkap Tari, kontan ruangan kelas jadi sunyi senyap. Tapi hanya sesaat. Kemudian suasana berubah riuh. Semua membicarakan persamaan nama dua orang yang duduk bersebelahan itu. Heran. Takjub.
Pak Yusuf mengetuk-ngetuk meja dengan penghapus whiteboard keras-keras. Memerintahkan kelas agar tenang. Tapi belum sempat beliau bicara, Eki sudah menyerukan usulan agar hari ini mereka bebas, nggak belajar.
“Pak, hari ini nggak usah belajar deh. Kita merayakan bertemunya dua Matahari ini.”
“SETUJU! SETUJUUU!!!” seisi kelas langsung menyambut dengan gegap-gempita.
“Terus kenapa kalau mereka punya nama yang sama?” tanya Pak Yusuf dengan nada dingin.
“Ya kan orang yang namanya Matahari itu jarang banget, Pak. Seumur hidup malah baru ini saya punya temen namanya Matahari. Kalo nama Bapak, Yusuf, buanyak buanget, Pak. Coba deh Bapak pergi ke pasar, terus teriak manggil nama sendiri. Ada kali lima puluh orang ikutan nengok juga, Pak.”
Ucapan Eki membuat seisi kelas ketawa geli.
“Kurang ajar lo sama orang tua, Ki. Dosa, tau!” kata Ical.
Eki buru-buru berkilah. “Bukan begitu, Pak,” katanya sambil tersenyum sumir. “Maksud saya, nama ‘Matahari’ itu superlangka. Jadi bertemunya dua ‘Matahari’ jelas peristiwa yang juga sangat langka. Berarti ini suratan takdir. Kehendak dari Sang Maha Pemberi Hidup yang bertakhta di keabadian untuk mempertemukan kedua insan ini, Pak. Makanya perlu dirayakan.” Eki menoleh ke Ical lalu meringis. “Keren banget kan kata-kata gue?”
“Iya. Gila, lo Gibran banget, man. Nggak nyangka.” Ical geleng-geleng kepala sambil mendecakkan lidah dan mengacungkan kedua ibu jarinya.
Kembali kelasriuh dipenuhi tawa-tawa geli. Pak Yufuf menatap Eki dan Ical dengan pandangan dingin, lalu perhatiannya kembali ke Tari.
“Kenapa kau ada disini?”
“Saya yang bawa dia kesini, Pak,” ucap Ari dengan gaya khasnya apabila sedang melakukan penentangan. Tenang, lugas, tandas.
Pak Yusuf jadi semakin kesal. Kemungkinan besar dia akan semakin banyak kehilangan waktu mengajarnya, karena lagi-lagi Ari membuat ulah.
“Kembali ke kelas kamu. Cepat!” perintahnya. Dengan lega Tari berdiri. Akhirnya dirinya bebas juga. Tapi Ari langsung mencekal pergelangan tangan Tari dan menariknya sampai cewek itu jatuh terduduk di sebelahnya lagi.
“Oji nggak masuk, Pak. Makanya dia saya ajak ke sini. Semuanya pada punya pasangan, masa saya sendirian? Kan nggak adil. Lagipula, hari ini mnedung. Kayaknya bakalan hujan deras.
Sendirian, pas dingin-dingin, terus di tengah pasangan-pasangan. Sumpah, itu rasanya merana banget, Pak.”
“Ya udah. Gue duduk sama elo deh,” Ridho menawarkan diri.
Ari menoleh lalu menatapnya sambil menggelengkan kepala. “Poligami, oke. Tapi kalo homo-homoan, mending gue sama satu orang aja deh. Cukup si Oji aja, man. Too much love will kill you,” ucap Ari kalem. Seisi kelas kontan tertawa riuh.
Di saat Pak Yusuf berpikir keras bagaimana caranya menyelesaikan masalah di depannya, karena Ari sudah terkenal semakin dikerasii akan semakin frontal, tiba-tiba Bu Sam muncul di pintu kelas. Rupanya Fio sempat melihat saat Tari dibawa Ari dengan paksa. Dan ketika teman semejanya itu tidak muncul-muncul juga, Fio langsung melapor pada wali kelas mereka, Bu Pur. Bu Pur otomatis melaporkan peristiwa itu pada wali kelas Ari, Bu Sam.
Bu Sam, yang selalu meras telah terkena kutukan setiap kali teringat dirinya menjadi wali kelas Ari, langsung berjalan menuju kelas XII IPA 3 dengan langkah lebar dan roman muka kesal. Setelah mengangguk ke arah rekan sejawatnya, Pak Yusuf, Bu Sam langsung melayangkan pandangannya pada Tari.
“Kamu Tari?”
“Iya Bu.” Tari mengangguk, kembali terlihat lega.
“Kembali ke kelas kamu. Sekarang!”
Tari langsung berdiri dan bergegas keluar. Tak lama kemudian suara langkah-langkah kebebasannya di sepanjang koridor menghilang. Di luar dugaan semua orang, Ari membiarkan. Dia cuma tersenyum tipis kemudian berdecak sambil menggelengkan kepala.
“Ibu tuh kayaknya nggak bisa banget kalo ngeliat saya seneng dikit aja ya?”
Bu Sam tidak mengacuhkan ucapan Ari itu. Dia mengangguk ke arah Pak Yusuf sambil mengucapkan terima kasih, kemudian pergi. Pak Yusuf segera memrintahkan seisi kelas agar membuka buku cetak masing-masing. Kemudian beliau berdiri di depan whiteboard dan mulai menuliskan poin-poin penting untuk dicatat. Begitu membalikkan badan, guru bahasa Indonesia itu kaget karena Ari sudah menghilang dari bangkunya.
“Ke mana dia?” tanyanya tajam.
“Nggak tau Paaak!” seisi kelas menjawab kompak.
Di kelas X-9, Bu Pur baru saja menyuruh Tari duudk di bangkunya, tanpa bertanya apa-apa karena dilihatnya muka cewek itu pucat dan terlihat jelas sedang berusaha keras menahan tangis.
Beliau kemudian meneruskan pekerjaannya yang sempat tertunda, memindahkan isi buku catatannya ke whiteboard agar disalin para muridnya.
Tapi ketika beberapa saat kemudian dia membalikkan badan, ibu guru muda itu terkejut. Karena Ari sudah berada di dalam kelasnya. Duduk manis di sebelah Tari. Sementara Fio, sang pemilik bangku yang terusir, berdiri bingung di lorong antarbaris.
Bu Pur berdecak pelan, kesal saat masalah yang terjadi di kelas XII IPA 3 berpindah ke kelasnya. Untungnya tak lama kemudian Bu Sam muncul, dan tidak sendiri. Pak Rahardi, sang kepsek, menyusul di belakangnya.
“Maaf mengganggu sebentar, Bu Pur.” Pak Rahardi mengangguk ke arah Bu Pur, kemudian melangkah masuk dan berhenti di depan kelas. Sementara Bu Sam tetap berdiri di luar kelas, dengan muka yang sangat jelas terlihat sedang menahan marah. Pak Rahardi langsung melayangkan pandangannya pada Ari.
“Ari, kamu ikut Bapak!”
Ari menahan napas kemudian berdecak kesal. Sambil bangkit berdiri, cowok itu memukul meja di depannya.
“Beraninya pada keroyokan!” ucapnya.
Tari dan seluruh teman sekelasnya menatap ternganga. Walaupun telah berulang kali menyaksikan sikap Aro yang suka seenaknya, mereka tak menyangka itu juga berlaku di depan Pak Rahardi. Kepsek! Orang yang dianggap paling berpenagruh dan paling dihormati di sekolah.
“Ntar siang lo gue nater pulang.” Ari menepuk lengan Tari, bicara tanpa menoleh, kemudian melangkah keluar.
“Terimakasih Bu Pur, silahkan diteruskan.” Pak Rahardi menganggukkan kepala diikuti Bu Sam, kemudian pergi.
Melihat seisi kelas masih ternganga-nganga, menatap ke arah pintu tempat Ari menghilang bersama Pak Rahardi dan Bu Sam, Bu Pur mengetuk-ngetuk whiteboard dengan spidol.
“Ayo, kita lanjutkan!”
Tari menatap Fio dengan raut putus asa.
“Ntar kita omongin pas istirahat,” Fio menenangkan sebisanya.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar