Sabtu, 02 April 2016

Rangkuman Novel Jingga dan Senja BAB 4-6 part 2

Bab 5 (2)

Begitu bel istirahat brebunyi, Tari dan Fio langsung bangkit berdiri dan berjalan ke luar kelas, bersamaan dengan seisi kelas yang sudah bersiap melejit ke arah Tari. Apalagi kalau bukan ingin tahu tentang peristiwa jam pertama tadi.
“Eh, mau ke mana? Certain yang tadi pagi dong!” seru beberapa orang bersamaan.

Fio menoleh. “Apaan sih? Anggak tau apa, situasinya udah emergency banget?” tanyanya kesal.
Sementara Tari hanya diam. Gawtnya situsati yang dia hadapi membuat pikirannya kalut, hingga tak sempat lagi menanggapi teman-temannya. Sesaat keduanya berhenti di ambang pintu.
“Kalo Kak Ari dateng trus tanya Tari di mana, plis banget, Man, jangan kasih tau ya?”

“Emang lo berdua mau ke mana?” tanya Nyoman.
Fio tak menjawab. Dia langsung balik badan sambil meraih satu tangan Tari. Ditariknya temannya itu pergi dari situ. Keduanya menjauh dengan langkah bergegas.
Nyoman melongokkan kepala. Mengikuti dengan pandangan hingga tahu ke mana kedua temannya itu menghilang. Gudang di ujung koridor. Sebuah ruangan yang nyaris tidak pernah dimasuki orang. Tempat kursi, meja, dan lemari-lemari rusak disimpan. Sama sekali bukan bermaksud untuk berkhianat. Dia justru ingin membantu seandainya nanti situasi berubah semakin gawat.
Begitu pintu gudang ditutup Fio, ketakutan Tari langsung pecah.
“Sekarang giman nih, Fi?”

“Tadi pagi ada apa sih?”
Dengan berat, karena sebenarnya dia malas mengingat lagi peristiwa tadi pagi, Tari terpaksa menceritakannya pada Fio.
“Ck! Angga cari gara-gara aja!” Fio berdecak lalu menghela napas.
“Makanya sekarang gimana?”
“Tadi Kak Ari bilang mau nganter lo pulang, ya?”
“He-eh. Dan gue nggak mau lagi deket-deket dia.”
Keduanya terdiam. Sibuk berpikir. Tiba-tiba ponsel Tari berdering. Sang pemilik jadi terlonjak karena kaget.
“Dari Angga,” desah Tari lega saat menatap layar ponselnya. “Untung deh bukan Kak Ari.”
Angga terkejut mendengar perkembangan terakhir.
“Ntar siang lo gue jemput,” katanya.
“Jangan!” cegah Tari seketika. “Gila lo. Ini aja udah gawat situasinya. Jangan ditambahin lagi dong.”
“Kalo dia mau marah, sama gue. Bukan elo.”
“Ya, tapi jangan dengan cara lo nganter gue pulang dong.”
“Terus, lo lebih milih dianter Ari, gitu?” suara Angga menajam.
“Ya nggak gitu juga. Ini memang masalah lo sama Kak Ari, tapi sekolah kita kan musuh bebuyutan.”
“Itu sih apa boleh buat, Tar. Kami udah sering saling serang tanpa alasan kok.”
“Jangan bikin gue ge-er dong. Gue jadi ngerasa bak Helen dan Troya nih.” Di tengah impitan rasa takut, Tari masih bisa bercanda. Angga tertawa.
“Trus, rencana lo gimana?”
“Ini lagi gue diskusiin sama Fio.”
“Oke deh. Kabarin gue gimana hasilnya ya.”
“Oke.”
Komunikasi ditutup. Tari menarik napas lega, mengira berhasil mengatasi Angga. Padahal Angga sama sekali tidak berniat mundur. Yang dia inginkan sama sekali bukan kemenangan di belakang. Tapi kemenangan di depan. Kemenangan yang menghancurkan lawan. Kemenangan yang bisa membuat dirinya tertawa keras-keras.
Setelah menghabiskan seluruh waktu istirahat di gudang yang kotor dan pengap, Tari dan Fio berhasil mendapatkan satu cara untuk melarikan diri dari Ari sepulang sekolah nanti. Tapi Tari tidak sempat lagi memberitahu Angga karena bel masuk sudah berbunyi.
Keduanya kembali ke kelas dengan cemas. Menjelang mendekati pintu, langkah keduanya melambat. Nyoman, yang tahu kenapa dua temannya itu bersikap waspada, langsung bangkit dari bangkunya yang memang berada di dekat pintu. Tergesa dia menghampiri. Raut mukanya tegang.
“Kak Ari nggak dating. Tapi ada yang lebih gawat nih,Kak Vero tadi dating, bareng gerombolannya. Nyari elo, Tar.”

Tari tersentak.
“Se… serius?” tanyanya tergagap.

“Ngapain sih gue bohong? Emangnya ini lucu apa, buat bahan bercandaan? Lo tanya anak-anak sekelas deh kalo nggak percaya.”
Tari kontan lemas. Pucat pasi. Tidak mengherankan. Siswa cowok yang paling disegani teman seangkatan dan ditakuti para junior adalah Ari. Untuk cewek, posisi itu dipegang oleh Veronica.
Cewek itu anak ketua yayasan. Mungkin karena itu dia jadi merasa berkuasa. Dia punya geng dan namanya membuat para junior langsung jiper : The Scissors!
Geng ini terkenal suka merusak baju atau barang-barang milik para junior yang mereka anggap telah menyaingi penampilan anggota geng mereka. Sering kali dengan menggunakan gunting. Dan sering kali pula kejadian itu berlangsung di depan banyak mata.
“Pak Yakob udah dating. Buruan masuk kelas,” Nyoman memecahkan kebekuan Tari. Antara sadar dan tidak, Tari mengikuti kedua temannya memasuki kelas.

Istirahat kedua, Tari dan Fio memberanikan diri ke kantin karena perut Fio sudah melilit kelaparan. Tari sendiri sudah kehilangan selera makan sama sekali. Dia hanya sanggup menelan dua potong siomay. Itu pun setelah Fio memaksanya. Keduanya duduk meringkuk di balik tumpukan kotak minuman botol Pak Kumis, pedagang minuman di kantin. Menyembunyikan diri seandainya Ari dan Vero mencari.
Mereka tidak tahu bahwa baik Ari maupun Vero tidak akan muncul. Vero merasa akan merendahkan diri dan gengnya kalau mereka datang lagi untuk mencari cewek kelas sepuluh yang sudah menggemparkan kelas dua belas tadi pagi. Yang penting tu cewek tau kalo dia dicari, itu udah cukup.
Sementara itu, karena menganggap mengembalikan Ari ke kelasnya hanya akan melanjutkan huru-hara yang sudah diciptakan anak itu, Pak Rahardi sengaja membuat Ari sibuk dengan memberikan sederet tugas: memfotokopi lembaran soal milik beberapa guru, mencari beberapa buku sebagai bahan rujukan, juga untuk beberapa guru dari mata pelajaran yang berbeda. Ini yang makan waktu lama, karena buku-buku itu adalah buku-buku lama yang tidak lagi diproduksi. Mau tidak mau Ari harus mencarinya di tempat penjualan buku-buku bekas. Terakhir, Pak Rahardi memrintahkannya untuk mengecek mobilnya yang sudah dua hari menginap di bengkel langganan.
Ari pergi juga meskipun dalam hati dongkol. Pak Rahardi satu-satunya orang di sekolah yang tidak ingin dilawannya. Tapi, karena Ari juga mengerti mesin, dia mulai curiga ada permainan. Soalnya sudah hampir satu jam berlalu dan yang dikerjakan montir itu cuma keluar-masuk kolong mobil dan buka-tutup kap mesin. Tidak jelas apa sebenarnya yang sedang diperbaiki.
“Mas, lo tuh tau mesin nggak sih? Dari tadi nggak kelar-kelar. Atau jangan-jangan Pak Hardi sengaja nyuruh lo nahan gue di sini ya?”

Montir itu terlihat tidak enak, membuat Ari yakin dugaannya tepat.
“Sialan!” maki Ari, lalu langsung balik badan dan dengan langkah cepat berjalan ke arah motornya diparkir.
“Eh, Dik! Dik! Sebentar!” Montir itu meletakkan peralatan yang dipegangnya dan bergegas menyusul.

“Dak-dik-dak-dik! Sejak kapan lo jadi kakak gue?” Ari menatapnya tajam sambil memutar kunci kontak. “Untung lo kongkalikongnya sama Pak Hardi. Kalo sama guru lain, atiati aja lo, Mas.”
Montir itu menatap motor Ari yang melesat pergi sambil geleng-geleng kepala.
“Masih SMA udah kayak gitu. Mau jadi apa itu anak nanti?” dikeluarkannya ponsel dari saku celana. “Gagal, Pak. Anaknya baru saja pergi. Semua bawaannya tadi, buku-buku sama tumpukan kertas, dia tinggal di sini.”
Di seberang, Pak Rahardi menghela napas.
***
Sepuluh menit menjelang bel pulang, Tari dan Fio membereskan buku-buku mereka yang masih berantakan di dalam laci dengan gerakan perlahan agar tidak menimbulkan suara. Soalnya Pak Isman masih serius menerangkan rumus-rumus yang ditulisnya di whiteboard.
Pak Isman punya kebiasaan langsung pulang kalau gilirannya mengajar terletak pada jam terakhir. Dan beliau selalu membawa mobil. Begitu bel berbunyi, Pak Isman mengakhiri pelajarannya dan seisi kelas langsung sibuk berkemas. Tari buru-buru berdiri dan mendekati guru fisika itu. Fio mengekor di belakangnya.
“Pak…,” panggil Tari dengan suara memelas. “Kami boleh numpang mobil Bapak, nggak? Sampe halte pertama di jalan raya aja, Pak. Nanti kami cari taksi.”

Pak Isman menoleh sekilas dari kesibukannya membereskan buku-buku cetak dan lembar-lembar fotokopian. Beliau tidak bertanya apa-apa.
“Boleh ya, Pak?” Tari mengulangi permintaannya. Dengan suara yang makin memelas karena harapannya mulai dikikis rasa takut.
Pak Isman meluluskan permintaan Tari dengan menyodorkan buku-buku dan tumpukan kertas fotokopiannya. Tari menerima dengan hati yang kontan terasa amat sangat lega. Cewek itu malah hampir saja menangis.
“Makanya, kalau bergaul itu pilih-pilih. Jangan sembarangan,” ucap Pak Isman sambil berjalan keluar kelas.

Di tempat lain, Ari membelah kepadatan lalu lintas Jakarta dengan kecepatan tinggi. Tidak peduli jika sampai tertilang polisi dia bisa kena masalah. Masalahnya, baru beberapa hari yang lalu dia kena tilang dan STNK-nya masih ditahan.
Lima belas menit lagi bel pulang berbunyi. Telat sedikit saja bisa dipastikan dia akan kehilangan jejak Tari.
Jam dua tepat. Tidak terkejar. Ari segera menepikan motornya. Dikeluarkannya ponsel dari kantong celana dan dikontaknya Ridho.
“Dho, tolong lo tahan Tari. Gue masih di jalan.”

Telepon langsung ditutup. Ridho, kawan karib ari selain Oji, segera melaksanakan perintah itu. Tak sampai lima menit laporannya masuk.
“Dia ikut mobil Pak Isman.”

“Oke. Thanks.”
Ari langsung balik arah. Pak Isman juga guru fisikanya saat kelas sepuluh dulu. Dan ari hafal rute pulang yang selalu diambil guru itu.
Sementara itu, satu orang yang juga punya kepantingan atas Tari, duduk diam di atas motornya sejak setengah jam yang lalu. Helm yang terus menutupi kepala membuatnya tidak dikenali meskipun berada tepat di mulut kandang lawan. Dan begitu ditangkapnya sosok Tari dan Fio di dalam salah satu mobil yang keluar dari gerbang di depannya, Angga langsung menyalakan mesin dan mengikuti di belakang.
Di dalam mobil Pak Isman suasana begitu hening, karena baik Tari maupun Fio sungkan untuk memulai pembicaraan. Tapi, karena mengira telah berhasil melarikan diri dengan sukses, keduanya merasa lega dan tidak peduli dengan keheningan itu dan fakta bahwa Pak Isman masuk dalam jajaran guru-guru killer.
Padahal, kalau mereka mau melirik kaca spion tengah, mereka bisa melihat bukti awal kegagalan usaha pelarian itu. Sebuah motor menguntit mereka sejak keluar dari gerbang sekolah. Sementara berpuluh-puluh kilometer dari situ, sebuah motor lain tengah digas gila-gilaan dalam usaha untuk mengejar.
***
Ari terkejut ketika akhirnya dilihatnya mobil Pak Isman di kejauhan, dan sebuah motor sedang menguntit mobil itu. Dia langsung tahu siapa orang itu.
“Sialan tu orang!” makinya, dan langsung menambah kecepatan.

Menggambarkan dengan jelas kegeraman sang pengemudi, motor itu melesat dengan kelihaian seorangraja jalanan. Sayangnya, lampu pengatur lalu lintas menyala merah di kejauhan, menghentikan usaha keras itu. Beberapa mobil membentuk dua barisan rapat. Sementara di sisi kiri jalan, motor-motor berhenti dengan posisi menyemut, tanpa ada celah yang bisa diterabas. Tidak ada jalan lain selain berhenti total, kaena belum ada motor yang didesain bisa terbang.
“Sialan! Sialan! Sialan!” rentetan makian keluar, diikuti tinju kanan yang dihantamkan sang pemilik kepalan ke kaca pelindung spidometer.
***
Sesampainya di jalan raya, sesuai permintaan, Pak Isman menurunkan Tari dan Fio di halte bus pertama.
“Terima kasih, Pak.” Keduanya menganggukan kepala dan membungkukkan badan sedikit.

“Ya.” Pak Isman mengangguk kecil. “Kalian hati-hati kalau memilih teman bergaul,” pesannya sebelum pergi.
“Emangnya kita kelihatan kayak pengin bergaul sama Kak Ari, ya?” ucap Tari setelah mobil Pak Isman menjauh.

“Udah deh, nggak usah dipikirin. Buruan pulang yuk. Kalo belom sampe rumah, kayaknya gue belom merasa aman.”
Baru saja ucapan Fio selesai, motor Angga berhenti tepat di hadapan. Membuat keduanya terkejut.
“Gue anter lo pulang, Tar…”

“Tadi kan gue udah bilang…”
“Udah, cepetan!” Angga memotong kalimat Tari. “Nggak aman lo ada di pinggir jalan gini.”
Diraihnya satu tangan Tari dan ditariknya cewek itu ke boncengan motornya.
“Lo juga cepetan pulang, Fi. Tapi sori, gue nggak bisa nganter.”

“Iya, nggak pa-pa. Yang penting dia dulu tuh.” Fio menunjuk Tari dengan dagu.
Tari menyingsingkan rok panjangnya kemudian duduk di belakang Angga.
“Udah?” tanya Angga.
Tari mengangguk. “Tapi Fio gimana?” tanyanya bingung.
“Nggak pa-pa. Gue bisa pake taksi,” sahut Fio. “Udah, buruan pergi deh!”
Begitu Angga dan Tari melesat pergi, Fio langsung celingukan ke dua arah, mencari-cari taksi kosong yang lewat. Cewek itu sadar, dia telah menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam bahaya. Tapi Tari teman semejanya, dan teman pertama yang didapatkannya pada hari pertama MOS, hari yang membuatnya takut dan cemas saat memasuki gerbang SMA Airlangga. Jadi dia nggak bisa nggak peduli. Kalau Tari melarikan diri, otomatis dia juga harus melakukan hal yang sama. Karena dirinyalah orang pertama yang akan dicari lalu diinterogasi.
Sebuah taksi muncul di kejauhan. Tidak pernah berhubungan langsung dengan Ari membuat Fio tidak mengenali sepeda motor yang melaju cepat di depan taksi. Baru setelah motor itu berhenti tepat di hadapannya dan sang pengemudi menaikkan kaca helm, cewek itu membeku.
“Naik!” perintah Ari. Ditunjuknya boncengan motornya dengan dagu. “Tunjukin gue rumah temen semeja lo!”


Bab 6 (1)

“Sori banget, Tar. Soriii…”
“Bukan salah lo, Fi,” desah Tari.
“Tapi kami nggak sampe ngelewatin rumah lo kok. Gue tunjukin dari jauh, trus kami balik arah.”
“Iya. Tapi abis Kak Ari nganter lo pulang, dia lewat depan rumah gue. Gue kan hafal motornya.”
“Iya!?” Fio memekik. “Waktu itu Angga masih ada?”
“Masih. Dia juga ngenalin motor Kak Ari. Pastilah. Namanya juga musuh bebuyutan. Makanya dia besok mau jemput gue terus nganter ke sekolah.”
“Jangan! Jangan! Jangan mau, Tar. Ih, tu orang ya? Nggak sadar juga kalo dia udah bikin situasi jadi kisruh. Lo berangkat sendiri aja. Kalo perlu, besok pagi gue ke rumah lo deh. Kita berangkat bareng.”
“Udah gue tolak. Gue bilang gue mau berangkat sendiri.”
“Trus dia bilang apa?”
”Iya, katanya. Tapi gue nggak yakin dia besok nggak nongol. Secara tadi aja dia sampe ngebuntutin mobil Pak Isman. Pasti dia udah nunggu dari depan sekolah tuh?”
“Nekat banget tu orang.”
“Kalo nggak nekat, nggak bakalan bisa dia jadi lawannya Kak Ari. Liat besok deh. Kalo dia nongol, maksa nganterin, gue mau minta turun di tengah jalan aja. Jangan sampe sekolah.”
Dugaan Tari tepat. Keesokan paginya, jam enam kurang sepuluh, sebuah motor berhenti di depan rumahnya.
“Ck, bener, kan?” desah Tari sambil membereskan buku-bukunya. “Tetep aja tu orang dateng jemput.”

Cewek itu membuka pintu depan dan detik itu juga dia membeku di ambangnya. Bukan Angga yang ada di depan pintu pagar rumahnya. Tapi Ari! Duduk santai di atas motor hitamnya, cowok itu tersenyum tipis. Menikmati keterkejutan sang tuan rumah.
“Pagi…,” sapanya. Tari tidak menjawab, karena separuh kesadarannya masih terlepas di udara. “Jawab dong kalo senior ngasih salam.”

“Emang siapa sih yang minta dijemput Kakak!?” Tari tidak mengacuhkan sapaan Ari. Tanyanya tak terjawab karena mamanya muncul di pintu. Tari langsung menarik napas lega. Kesempatan untuk mengusir Ari. Namun detik berikutnya dan berikutnya lagi, cewek itu terdiam dipeluk ketersimaan.
Di depan matanya Ari bertransformasi. Begitu mama Tari muncul, sikap duduk khas “pentolan sekolah” Ari –satu kaki terlipat di atas tangki bensin sementara kaki yang satu menjejak tanah dan sebatang rokok di bibir – segera menghilang. Berganti dengan sikap duduk sopan bersamaan dengan sang rokok yang terjun bebas, disentil sang pengisap ke selokan. Kemudian cowok itu turun dari motor hitamnya. Tubuh tingginya menjulang di depan pagar.
“Selamat pagi, Tante.” Santun di disapanya mama Tari dengan anggukan kepala, badan setengah membungkuk, dan tentu saja, sebentuk senyum manis.
“Pagi,” mama Tari membalas. Diamatinya Ari karena ini kali pertama kedatangan cowok itu.

“Mau jemput Tari, Tante. Kami satu sekolah.”
Tari ternganga. Gila emang ni orang, selalu main tabrak!
Mama Tari terlihat ragu. Ari tersenyum tipis. Senyum tipis yang sopan dan melukiskan pengertian atas keraguan yang diterimanya. Cowok itu membuka jaket hitamnya lalu meletakannya di atas tangki bensin.
Di balik jaket itu ternyata Tari tidak menemukan pemandangan sehari-hari seperti yang selalu dilihatnya. Kemeja Ari tersetrika licin. Semua kancingnya terkait rapi. Sepatu kedsnya juga terlihat baru dicuci. Semua penampilan Ari yang biasa – satu anting di telinga, kemeja yang selalu berkibar-kibar, kadang dengan T-shirt di dalamnya kadang dada telanjangnya terlihat – menghilang. Rambutnya yang sedikit panjang, yang biasanya dia biarkan berantakan, kini tersisir rapi. Tapi mama Tari tidak terkesan.

“Oh iya. Saya belum memperkenalkan diri,” Ari berlagak baru tersadar. “Nama saya Ari, Tante. Matahari Senja, lengkapnya.”
Seketika itu juga mama Tari ternganga takjub. Siswa SMA yang rapi, banyak. Yang ganteng, juga banyak. Yang rapid an ganteng, pasti banyak juga. Tapi yang rapi, ganteng, sopan, dan punya nama hampir sama dengan nama anaknya, jelas nggak banyak. Bahkan mungkin ini satu-satunya.
Ari menyaksikan ketakjuban itu dengan puas. Kartu pass akhirnya keluar!
Tari cuma bisa berdiri diam. Terpesona saat mamanya dan Ari memperbincangkan nama dirinya dan nama cowok itu dengan keakraban seperti dua kawan lama yang baru kembali berjumpa. Tapi tetap, Ari menempatkan diri seseorang yang lebih muda di hadapan seseorang yang jauh lebih tua. Santun dan penuh tata karma. Keseluruhan jejaknya sebagai siswa paling bermasalah di sekolah benar-benar hilang.
Jam enam lewat lima, Ari memutuskan obrolan akrabnya dengan mama Tari dengan cara melihat jam tangannya lalu berpura-pura kaget.
“Maaf, Tante. Mesti buru-buru berangkat. Udah jam enam lewat.”

“Ya ampun!” Mama Tari terperanjat. “Maaf. Maaf. Tante sampai lupa. Habis tante kaget, ternyata ada juga selain Tante yang jadi penggila sunset, sampai mengabdikannya untuk nama anaknya.”
“Nggak apa-apa, Tan. Saya juga seneng kok ngobrol sama Tante.”
“Kapan-kapan kenalkan Tante dengan mamamu, ya?”
“Pasti, Tan!” Ari mengangguk sambil tersenyum lebar. Sama sekali tidak terlihat bahwa satu kata itu, “mama”, selalu menimbulkan efek menghancurkan untuknya.
Kembali cowok itu berusaha menunjukkan bahwa dirinya bukanlah seseorang yang patut diwaspadai. Kali ini dia gentleman sejati. Dibawakannya tas dan buku-buku Tari, kemudian diulurkannya jaket hitamnya. Ketika Tari tak bereaksi, diselubunginya jaket itu hingga menutupi seluruh tubuh bagian atas Tari. Meski begitu, tatap lembut kedua matanya menyiratkan peringatan keras agar Tari bersikap kooperatif.
Tari menentang peringatan itu, juga lewat sorot mata. Diliriknya mamanya, berharap menemukan peluang untuk membongkar kedok Ari. Sayangnya yang dia temukan masih tampang takjub sang mama melihat bertemunya dua matahari tenggelam.
Tari nggak mungkin bilang bahwa matahari senja yang ini sebaiknya tenggelam selama-lamanya. Nggak perlu terbit lagi besok paginya.
“Ayo cepet, Tar. Ini sudah siang.” Malah itu yang keluar dari bibir mamanya.

Terpaksa Tari menghampiri Ari. Cowok itu menyambutnya dengan satu alis terangkat dan senyum kemenangan yang tercetak samar.
“Duduknya jangan nyamping. Nggak stabil,” ucap cowok itu dengan nada yang terdengar wajar seolah tanpa tujuan. Padahal selama ini dia selalu memerintahkan setiap cewek yang nebeng motornya untuk duduk dengan posisi menyamping. Karena dua alasan. Pertama, biar ngusirnya gampang. Kedua, demi mencegah menempelnya benda asing di punggungnya, yang sering kalidilakukan cewek-cewek itu dengan sengaja. Khusus untuk Tari, Ari justru mencegah supaya cewek itu tidak melarikan diri.
Tari terpaksa menuruti perintah Ari itu. Tapi dia sudah bertekad, bakalan kabur langusng pada kesempatan pertama.
“Berangkat dulu, Tan,” Ari pamit pada mama Tari. Lagi-lagi menggunakan kesempatan itu untuk menunjukkan bahwa dirinya bukan orang yang patut diwaspadai.
“Ya. Hati-hati di jalan ya.”

“Siap, Tan.”
Motor hitam itu meluncur pergi. Tari duduk sejauh mungkin dari Ari. Karena tidak ada besi pegangan, kesepuluh jarinya mencengkeram tepi jok belakang erat-erat.
Di balik helmnya, Ari tersenyum tipis. Tiba-tiba motor hitam itu melesat cepat. Menyentakkan tubuh Tari ke belakang. Cewek itu sudah hampir menjerit. Posisi duduknya sudah di ujung jok. Sentakan tadi nyaris membuatnya terlempar ke jalan di belakang.
Tak lama Ari menghentikan laju motornya. Lagi-lagi dengan tiba-tiba. Tari yang sama sekali tidak menduga, tak ayal terdorong keras ke depan. Tubuhnya membentur punggung Ari dengan keras. Cewek itu memegangi dadanya, mengerang lirih. Anjrit banget ni orang! Makinya dalam hati. Ari menolehkan kepalanya sedikit ke belakang.
“Masih nggak mau pegangan?”

Tari tidak menjawab. Sambil memgangi dadanya, ditatapnya Ari dengan sengit. Meskipun tidak terlihat, Ari bisa merasakan aura penentangan yang dilancarkan cewek di belakangnya.
“Setelah ini nggak ada lampu merah. Kalo nggak ada penghalang begitu, gue suka bawa motor gila-gilaan.”

Masih tidak ada reaksi apa pun dari Tari. Cewek ini memang tidak mendengar kalimat yang diucapkan Ari. Motor dalam keadaan berhenti total di tepi sebuah jalan. Kalau mau kabur, sekaranglah saatnya.
Masalahnya, akibat berhenti mendadak tadi, bukan hanya benturan yang mengakibatkan dada Tari sekarang sakit, juga jaraknya dengan Ari jadi teramat dekat.
Sayangnya, keterdiaman yang merespons kalimat peringatannya membuat Ari langsung sadar. Seketika itu juga pikiran Tari terbaca olehnya. Cowok itu mendesis geram.
“Elo tuh emang suka nantang, ya? Oke, gue jawab!”

Mesin motor menggerung. Disusul sedetik kemudian motor itu bergerak maju dengan entakan, yang ternyata menjadi awal dari putaran kedua rodanya yang gila-gilaan.
Tari, yang sleuruh perhatiannya sedang terfokus pada usahanya untuk melarikan diri, sama sekali tidak menduga hal itu. Tak ayal lagi-lagi tubuhnya membentur Ari begitu sang pemilik membuat motornya melonjak. Begitu tubuh Tari membentur punggung Ari dan melenyapkan jarak di antara mereka, Ari langsung mengulurkan tangan kirinya ke belakang. Dicekalnya tangan kiri Tari tepat di pergelangan kemudian dengan paksa ditariknya ke depan dan diletakkan di antara perut dan dadanya. Di sana, ditekannya tangan itu kuat-kuat.
Dengan satu tangan terkunci begitu, jangankan untuk melarikan diri, merentang jarak pun kini sudah tidak mungkin lagi.
Walaupun hanya dengan satu tangan, Ari ternyata sanggup melarikan motornya dengan kecepatan tinggi. Meliuk di antara padatnya lalu lintas, dibuatnya maneuver-manuver yang akhirnya memaksa Tari menyerah.
Untuk Tari, ini jelas-jelas pengalaman mengerikan. Laju motor yang sangat cepat menyebabkan udara berdesing dan setiap kendaraan yang mereka lewati mengeluarkan raungan klakson. Ridho yang rajanya trek-trekan aja mengakui kegilaan Ari kalo lagi bawa motor.
Tanpa fokusnya teralihkan dari jalan raya di depannya, kedua mata Ari hanya menyipit saat tangan kanan Tari akhirnya melingkari pinggangnya. Cewek itu kemudian menyandarkan kepala di punggung Ari.
Ari tersenyum dingin. Dia mengangkat tangan kirinya yang sejak tadi mencekal dan menekan tangan kiri Tari di atas perutnya. Diraihnya tangan kanan Tari dan ditariknya hingga bertemu dengan tangan kiri.
Penyerahan Tari membuat kegeraman Ari perlahan mereda. Cekalan kelima jarinya dan tekanan lengan kirinya di atas kedua tangan Tari yang bertaut melingkari pinggangnya tidak lagi sekuat awal-awal tadi. Cowok itu juga mulai mengurangi laju gila motor hitamnya.
Di saat emosi Ari perlahan mulai mereda, sebuah motor tiba-tiba menyalip dari sisi kanan. Berdesing dalam hitungan kejap, motor itu langusng menghentikan laju motor dengan paksa.
Seketika Ari menarik rem kuat-kuat, karena motor itu – yang langsung dikenalinya sebagai milik Angga – berhenti dengan posisi melintang tidak sampai dua meter di depannya.

Semuanya berlangsung dalam hitungan singkat. Angga turun dari motornya lalu mengahmpiri Ari dengan langkah panjang dan cepat. Ketika cowok itu menaikkan kaca helmnya, Ari bisa melihat letup tantangan yang sangat jelas dalam sepasang mata yang terarah lurus padanya itu.
Dalam jarak kurang dari dua meter, dalam waktu kurang dari dua detik, Angga sudah tahu di mana dia harus mendaratkan kepalan tanpa harus melukai Tari yang berada di boncengan Ari.
Ari segera menguraikan kedua tangan Tari yang melingkari pinggangnya. “Mundur, Tar!” perintahnya dengan nada mendesak. Sayangnya tidak ada waktu yang tersisa bagi Tari untuk melaksanakan perintah itu.
Memaksa tubuh Tari lekat di tubuhnya yang sebelumnya menjadi satu kemenangan kini justru melemahkan posisi Ari untuk melawan serangan Angga. Dengan mudah Angga melumpuhkan rival utamanya itu.
Dengan tangan kiri ditahannya tinju Ari yang jelas terlihat canggung karena posisinya yang tidak menguntungkan. Dan dengan tangan kanannya yang bebas, Angga mengayunkan kepalannya tepat ke kepala Ari.
Terdengar bunyi erangan, pelan karena teredam helm, bersamaan dengan tubuh Ari yang terdorong keras ke kiri. Akibatnya, motor yang berdiri karena disangga kedua kaki sang pemilik ikut rebah ke arah yang sama.
Angga segera mengulurkan kedua tangannya ke arah Tari. Cewek itu pucat pasi, dan jelas-jelas tidak mampu mencerna apa yang sedang terjadi dengan kesadaran penuh. Setelah melempar jaket hitam Ari yang menyelubungi tubuh Tari begitu saja ke tanah, dengan satu tangan di punggung Tari dan tangan yang lain merengkuh pinggang Tari, Angga menarik Tari dari boncengan motor Ari.
Tindakannya tepat waktu, karena sedetik kemudian motor besar itu terbanting rebah ke aspal jalan. Ari sempat melompat. Dengan amarah yang sudah di hulu ledak, cowok itu melepas helmnya. Dilemparnya helm itu begitu saja sambil berjalan menghampiri Angga dengan langkah cepat. Angga segera berjalan ke arah motornya.
“Buruan, Tar!” bisiknya.

Tari bergesa mengikuti langkah cepat Angga lebih karena cowok itu mencekal satu lengannya. Kali ini Angga terpaksa membiarkan Tari duduk dengan posisi menyamping. Menyuruhnya duduk dengan posisi ke depan kelihatannya akan sama seperti menyuruh Tari mengerjakan soal fisika yang sulit. Butuh bengong yang cukup lama.
Sambil menstater motornya, Angga menatap Ari yang berjalan mendekat, tepat di bola mata.
“Gue anter Tari dulu. Lo tunggu sini. Ntar gue balik!”

“Tu cewek tanggung jawab gue. Gue yang jemput dia dari rumah!”
Angga tidak mengacuhkan, langsung tancap gas.
“Brengsek!” maki Ari dan segera berlari ke arah motornya. Diangkatnya kendaraan itu dari posisi rebah dan langsung dikejarnya Angga.
Pagi itu ratusan orang menyaksikan adegan seperti yang kerap mereka saksikan di film. Dua motor menderu di antara padatnya lalu lintas. Dua-duanya dengan kecepatan tinggi. Satu mengejar yang lain. Seragam putih abu-abu dan adanya seorang cewek di boncengan motor pertama membuat semua yang menyaksikan peristiwa itu kontan mendecakkan lidah sambil gelng-geleng kepala.
“Anak sekarang, nggak tau susahnya orangtua cari uang!” adalah komentar yang muncul seragam.

“Sok kayak jagoan. Masuk gawat darurat keluar cacat, baru tau rasa!” komentar yang lebih ekstrem kaluar dari bibir seorang ibu yang menyaksikan dari jendela sebuah bus. Bus yang ditumpanginya itu terpaksa menginjak rem karena tiba-tiba kedua motor itu menyalip dari sisi kanan.
Angga melirik ke belakang lewat spion kanan. Dilihatnya Ari masih tertinggal cukup jauh. Yang dia takutkan sama sekali bukan rivalnya itu, melainkan Tari. Terus terang, dia mencemaskan cewek yang sekarang duduk rapat di belakangnya ini, karena Tari tidak bersuara sejak ditariknya dari boncengan Ari tadi.
Angga melepaskan tangan kirinya dari setang. Disentuhnya tangan Tari yang melingkari pinggangnya. Dingin kesepuluh jari yang disentuhnya membuat Angga memaksakan diri menoleh ke belakang di tengah-tengah konsentrasinya yang terpusat penuh ke jalan raya dan setiap maneuver yang dibuatnya. Cowok itu menaikkan kaca helmnya.
“Tar, lo nggak apa-apa, kan?” tanyanya dengan suara keras untuk mengalahkan deru mesin.

Tari mengangguk-angguk, yang jelas dilakukannya dalan keadaan setengah sadar, karena anggukan-anggukan itu membuat kepalanya membentur punggung Angga.
Cara Tari mengangguk dan masih juga tidak ada suara yang keluar dari bibirnya akhirnya meyakinkan Angga bahwa cewek di belakangnya ini justru kenapa-kenapa.
Perlahan kedua rahang Angga mengatup keras. Tidak ada jalan lain selain menambah kecepatan motornya dan menciptakan jarak dengan Ari sejauh dan sesegera mungkin.
Mencapai SMA Airlangga dengan menyusuri jalan raya membutuhkan waktu agak lama. Tidak jauh di depan mereka ada sebuah pemukiman padat penduduk yang penuh jalan tikus. Area potong kompas sekaligus tempat menghilangkan diri yang sempurna.
Angga memiringkan sedikit kepalanya, melirik ke belakang lewat spion kanan. Ari yang bisa melihat itu seketika mengirimkan ancaman lewat lampu depan yang dikedipkannya selama tiga kali.
Angga mengulurkan tangan kirinya ke belakang. Direngkuhnya pinggang Tari.
“Rapet lagi, Tar. Pegangan yang kenceng. Sori, terpaksa banget nih!” serunya.

Tari langsung merespons. Cewek itu memajukan duduknya hingga benar-benar melekat di tubuh Angga. Kedua tangannya yang melingkari pinggang Angga semakin mengetat. Terakhir, dia benamkan mukanya di punggung Angga.
“Sip, pinter! Merem aja kalo takut. Tapi ikutin ritme motor ya!” Angga menepuk lembut pinggang Tari. Kemudian pandangannya kembali ke depan. Diturunkannya kaca helm, dan dijawabnya ancaman Ari tadi dengan kecepatan yang mendadak bertambah tinggi.
Ari terpengarah saat motor Angga tiba-tiba saja melesat meninggalkannya. Makian keluar dari mulutnya disertai raungan mesin, dan langsung dikejarnya Angga. Kedua motor berwarna gelap itu melaju dengan kecepatan melewati ambang yang diperbolehkan.
Angga mengatupkan kedua rahangnya keras-keras. Kedua matanya tertancap lurus-lurus ke depan. Dikerahkannya seluruh kemampuannya untuk melepaskan diri dari kejaran Ari. Di satu momen saat dirinya mulai terdesak, Angga sengaja mengagetkan seorang cewek yang sedang menyetir sebuah mobil mewah berbodi besar.
Dari sisi kiri disalipnya mobil itu dalam jarak yang benar-benar dekat, nyaris rapat. Cewek itu tersentak dan seketika menghentikan mobilnya. Pengemudi di mobil belakang ikut kaget dan langsung menghentikan laju mobilnya juga.
Ari yang tengah melaju tepat di belakang mobil kedua sontak menarik rem kuat-kuat. Motornya berhenti nyaris rapat di belakang mobil kedua, dengan ban berdecit dan posisi badan motor melintang miring ke kiri. Nyaris terbanting rebah ke aspal kalau saja tidak refleks disangganya dengan kaki kiri.
Angga langusng menggunakan kesempatan itu untuk merentang jarak sejauh-jauhnya. Dengan kemarahan yang makin melahar, Ari menegakkan motor hitamnya, mundur secukupnya dan kembali mengejar Angga yang kini sudah berupa titik di kejauhan.
Menjelang sampai tujuan, dengan satu tangan yang terulur ke belakang, merengkuh Tari sebisanya, Angga membelokkan motornya dengan gerakan menikung tajam. Memasuki sebuah gang sempit yang merupakan salah satu jalan masuk ke area pemukiman semikumuh yang padat penduduk.
Kecepatan motornya menurun drastic, tapi tetap terlalu cepat untuk ukuran gang sempit yang sarat penghuni – penuh anak-anak berkeliaran dan ibu-ibu yang duduk bergerombol di sana-sini.

Agar tindakannya dapat dimaklumi oleh para ibu itu,juga beberapa laki-laki dewasa yang langsung melotot begitu motornya muncul, Angga memperlihatkan sebuah kontradiksi. Cowok ugal-ugalan yang tahu sopan santun!
Dilepaskannya helmnya lalu diserahkannya pada Tari.
Sejak kecepatan motor Angga menurun tajam, Tari tidak lagi berpegangan kuat-kuat dan membenamkan muka di punggung cowok itu.
Angga memamerkan senyum manis yang sopan, diikuti kalimat, “Maaf, Ibu, Bapak, kami permisi numpang lewat,” yang diucapkannya dengan nada sangat santun sambil mengangguk-anggukkan kepala.

“Pelan-pelan dong bawa motornya. Udah tau ini gang sempit, banyak anak kecil, lagi! Nanti kalo ada yang celaka, gimana!?” hardik seorang ibu. Ucapan ibu itu dibenarkan oleh ibu-ibu lain dengan pelototan mata dan ekspresi muka galak.
“Iya, maaf. Maunya sih pelan-pelan. Tapi maaf, lagi bauru-buru banget. Pacar saya sakit, jadi mesti secepetnya sampe sekolah. Lagipula biar ngebut, saya hati-hati kok.” Sedikit setelah diucapkannya alasan itu, Angga sadar kalimatnya nggak sinkron. Kalo sakit kenapa juga malah ke sekolah? Sesaat dia mengerutkan kening, tapi kemudian menggeleng-menggelengkan kepala. Halah, udahlah. Yang penting bisa lewat!
Tari terpaksa mengimbangi setiap kalimat Angga dengan senyum ramah dan anggukan kepala sopan. Rona pucat di wajahnya yang terlihat jelas membuat para ibu itu memaklumi. Mereka bahkan tidak menyadari kalimat Angga yang nggak konsisten tadi.
Setelah mengulang kalimat yang sama di setiap titik tempat para ibu bergerombol, tapi tetap menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk menambah kecepatan motornya, akhirnya mereka keluar juga dari area permukiman padat itu.
“Fiuuuuh!” Angga menarik napas lega lalu mengembuskannya kuat-kuat. “Gila, gue rasa ni daerah bener-bener mirip Negeri Bahagia di Kalkuta.”

Cowok itu melihat jam tangannya. Kalau dugaannya tepat, saat ini Ari sudah melewati gang sempit tempat dirinya dan Tari menghilang tadi dan sekarang sedang meluncur ke arah sekolah.
Angga mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Dia ingin memastikan Ari menjawab tantangannya atas nama pribadi, tanpa melibatkan satu pun teman-temannya.
“Berapa nomor Ari?”

“Buat apa?” Tari langsung cemas. Angga menoleh ke belakang dan menatapnya.
“kalo udah sampe begini, lo pikir untuk apa?” tanyanya dengan senyum tipis dan kedua alis terangkat.
***
Ketika Ari sampai di mulut gang tersebut, jejak Angga telah menghilang. Dengan bingung ditatapnya berkeliling. Dia sama sekali tidak tahu bahwa gang sempit yang baru saja dilewatinya merupakan jalan pintas untuk sampai sekolah.
Sambil mendesis marah, dihentikannya motor dan dikeluarkannya ponsel dari saku celana.
“Ji….!” Seruan Ari terhenti karena ada panggilan masuk. Dijauhkannya ponselnya dari telinga. Satu nomor yang tidak dikenal terpampang di layar. Didekatkannya kembali ponsel itu ke telinga, kali ini dengan kening sedikit mengerut.
“Halo?”

“Gue tunggu lo di Lapangan Garuda!”
Telepon di seberang langsung ditutup. Sesaat Ari tercengang.
“Bangsat banget tu orang!” makinya. Dimasukannya ponselnya ke saku celana dan langsung tancap gas. Bukan menuju lapangan bola untuk umum seperti yang disebutkan Angga tadi, tapi kea rah sekolah.
***
Jam setengah tujuh kurang tiga menit. Fio memandangi jam tangannya sambil mengerutkan kening. Nggak biasanya sampai jam segini Tari belum datang. Biasanya dia paling telat jam setengah tujuh kurang lima.
Tiba-tiba ponselnya bordering. Dari nomor yang tidak dikenal. Sambil mengerutkan kening Fio menekan tombol bergambar telepon hijau. Belum sempat dia mengucapkan “halo”, seseorang sudah berteriak di ujung sana.

“Fio, jemput Tari di gerbang!”
Telepon langsung ditutup.
“Siapa sih ni orang?” Fio tercengang. Sesaat dia tak bisa mencerna. “Ya ampun! Ada apa nih si Tari?” desisnya kemudian dan langsung berlari menuju tangga.
Semenit serasa seabad saat Angga menghentikan motornya dengan mendadak, sampai menimbulkan bunyi berdecit. Fio langsung menghampiri. Bersama Angga dibantunya Tari yang pucat dan lemas turun dari boncengan.
“Ada apa sih?” tanya Fio. Angga menggeleng, tak ingin menjawab.

“Bawa aja dia ke kelas.” Sesaat Angga menatap Tari yang berjalan menjauh dibimbing Fio. “Kasih teh manis anget, Fi!” serunya dan langsung cabut. Tak bisa berlama-lama karena masih ada urusan yang harus diselesaikannya.
Tak sempat seperempat jalan Angga menuju tempat yang disebutkannya tadi, mendadak Ari muncul dari arah berlawanan dan langsung memotong laju motor Angga dengan gerak menikung tajam.
Angga yang tidak mengira, dengan terkejut menarik rem sekuat-kuatnya. Motornya berhenti mendadak, menimbulkan gaya dorong hebat dan membuat sang pemilik tak ayal terlontar.
Ari turun dari motornya dna menghampiri rival utamanya yang terkapar di aspal itu. Dicekalnya Angga tepat di kerah lalu ditariknya sampai berdiri.
“Tunggu di Lapangan Garuda!?” desisnya tepat di muka Angga. “Lo pikir kita janji main bola!?”
***
Fio merangkul Tari dan bergegas membawanya menuju kelas karena bel sudah berbunyi. Cewek itu tidak tega membuka mulut meskipun kepalanya disesaki tanda tanya. Tanpa dia sadari, Oji yang berdiri di depan pos sekuriti mengikuti dengan pandangan.
Semenja menerima telepon yang hanya berisi suara Ari memanggil suku kata terakhir namanya, dan setelah itu Ari tidak mengangkat telepon meskipun dicobanya untuk menghubungi berkali-kali, Oji langsung menyadari sesuatu pasti telah terjadi. Apalagi ditambah dengan apa yang baru saja terjadi di depan pagar sekolah tadi. Tari turun dari boncengan motor Angga.
Dua tahun lebih duduk semeja membuat Oji sadar, Tari telah membangkitkan sisi macan tidur Ari!
Sepanjang perjalanan menuju kelas, Tari berusaha menenangkan diri secepat mungkin. Sedetik saja dirinya terlihat kenapa-kenapa, teman-temannya pasti langsung mengetahui itu berhubungan dengan Ari. Buntutnya, bombardier pertanyaan akan menyerbunya dari segala penjuru. Yang bukan saja tidak membantu, malah tambah bikin emosi.
Tak lama kemudian Bu Endang, guru biologi, memasuki kelas dan langsung memanggil Maya ke depan. Ternyata ada rapat mendadak. Semua guru yang mengajar di jam pertama harus melepas jam mengajarnya.
Namun, Bu Endang nggak mau rugi-rugi amat. Ia memerintahkan Maya, yang tulisan tangannya terkenal indah, untuk menyalin isi buku yang dibawanya ke whiteboard. Setelah memperingatkan seisi kelas bahwa dia akan kembali pada jam kedua dan memeriksa buku catatan, Bu Endang melangkah keluar.
“Yuk, Tar, ke kantin.” Fio langsung berdiri sambil meraih satu tangan Tari. Di tempatnya, Nyoman juga berdiri.
“Gue mau ke secretariat nih. Bayar SPP,” ucapnya ke seisi kelas. “Ada yang mau titip, nggak? Kertas ulangan? Bolpoin? Atau something else?”

“Kacang atom!”
“Es kue!”
“Keripik pedes!”
“Cimol!”
“Es tape!”
Seketika cowok-cowok di bagian belakang meneriakkan semua jajanan yang ada di koperasi, yang letaknya memang bersebelahan dengan secretariat.
“Pasti deh pake duit gue dulu. Iya, kan?” wajah Nyoman tampak kesal.

“Iyaaaaa!” langsung terdengar koor kompak dari para pemesan itu.
“Wah, kagak dah!” Nyoman geleng kepala dengan ekspresi malas. “Elo-elo tuh kalo makanannya udah abis pasti langsung pada belagak lupa kalo belom bayar.”
Seketika cowok-cowok itu menyeringai geli. Tari, Fiio, dan Nyoman kemudian berjalan bersisian di sepanjang jalan koridor dan berpisah di depan pintu kantin. Jam kosong yang terjadi serentak membuat suasana kantin jadi jam seperti jam istirahat.
“Lo tunggu situ deh. Gue pesenin teh manis.” Fio menunjuk tempat kosong. Tak lama dia kembali dengan segelas teh manis hangat untuk Tari dan segelas es the manis untuk dirinya sendiri.
“Ada apa sih? Gue kaget banget pas Angga teriak di telepon tadi. Nyuruh gue jemput elo di gerbang.”

Tari menarik napas.
“Kacau banget, Fi!”
***
Ari muncul dua puluh menit kemudian. Berantakan dan tampak berbahaya. Noda darah menghiasi beberapa titik di bagian seragamnya yang kusut masai dan robek di beberapa tempat.
Oji membuntuti di belakangnya. Terlihat jelas dia menjaga jarak dan bersikap waspada. Kedua matanya tak lepas dari Ari dan setiap gerak-geriknya. Ari langsung melangkah menuju kelas Tari, mencari target utamanya. Tapi beberapa saat sebelumnya, Nyoman yang berlari pontang-panting dari depan ruang secretariat telah menyampaikan info perihal kemunculan sang pentolan sekolah itu berikut dengan kondisinya. Dia menerobos masuk kantin dan langsung duduk di sebelah Tari.
“Kak Ari lagi ke sini!” bisiknya tegang.

Tari sontak memucat. Dia nggak idiot dengan mengira peristiwa tadi tidak akan berlanjut. Justru sekarang sedang ditunggunta telepon Angga untuk membahas apa yang harus dilakukannya selanjutnya.
Tari tidak tahu, saat ini Angga sedang terkapar di tepi jalan. Babak belur. Motornya ringsek karena kemarahan Ari. Sementara ponselnya rusak saat tubuhnya terlontar dari motor dan mendarat di aspal yang keras.
Beberapa saat yang lalu Angga memaksakan diri untuk bangkit. Dipinjamnya ponsel salah seorang dari sekian banyak orang yang menonton perkelahiannya dengan Ari tadi. Dikontaknya Bram dan dimintanya sahabatnya itu untuk memantau kondisi Tari lewat Fio.
Sebagai seseorang yang paling dekat dengan Angga, Bram melakukan lebih daripada yang diminta. Pada guru yang sedang mengajar, dia meminta izin ke kamar mandi. Tapi sampai dengan mata pelajaran itu berakhir, dua kali empat puluh lima menit kemudian, cowok itu tidak kembali.
Di atas motornya yang melaju kencang menuju tempat Angga terkapar, Bram mengontak Fio. Sayang, waktunya sama sekali tidak tepat.
Info Nyoman tadi telah menyebabkan Tari dan Fio disergap panik.
“Gimana nih?” Tari menatap kedua temannya bergantian. Bertanya dengan suara lirih agar tidak mengundang perhatian.

Kembali ke kelas, jelas tindakan konyol. Satu-satunya tempat bersembunyi cuma gudang. Sayangnya ruangan itu berada di ujung yang berlawanan dengan kantin. Tidak ada jalan lain selain menuruni tangga di depan kantin, meskipun tangga itu berujung di jantung area kelas sebelas.
Saat-saat seperti jam kosong begini, kantin kelas sebelas yang juga berada di depan tangga pasti dipenuhi para siswa. Dan sama seperti siswa kelas sepuluh, mereka juga suka duduk sampai hampir memenuhi seluruh undak-undakan tangga. Menyeruak meminta jalan meskipun sambil mengucapkan “Permisi, Kak. Maaf numpang lewat ya,” dengan intonasi yang bahkan paling sopan, tetep aja judulnya cari gara-gara.

Tari menatap Nyoman, yang segera mengerti maksud tatapan itu.
“Oke, gue kontak Edo atau Aya deh,” Nyoman menyebutkan dua dari seabrek teman-teman kelas sebelasnya. Dikeluarkannya ponselnya dari saku kemeja.

“Lain kali pikir dulu kalo mau ngajak gue main, ya!”
Tari dan kedua temannya tersentak dan memucat. Sedikit waktu untuk kabur itu ternyata telah berakhir.
Ari telah berdiri di hadapan ketiganya!


Bab 6 (2)

Kemunculan Ari dan kondisinya tak pelak membangkitkan keingintahuan yang tak terbendung dari para juniornya.
Di belakang Oji, dalam jarak yang terjaga, dengan cepat terbentuk barisan rapat siswa-siswa kelas sepuluh dan sebagian kelas sebelas. Perhatian Oji sendiri benar-benar terfokus pada Ari, hingga tidak menyadari rombongan pengikut yang terbentuk di belakangnya itu.
Hanya Oji yang mengikuti langkah Ari sampai masuk ke ruangan kantin, lalu berdiri tidak jauh di belakang sang pentolan sekolah itu. Rombongan pengikutnya memilih tempat yang aman. Mereka berdiri berdesakan di depan deretan jendela kantin. Menatap ke dalam ruangan dengan konsentrasi penuh.
Ari sedang menatap Tari lurus-lurus, sebelum kemudian berpindah ke dua orang di kiri-kanan Tari.
“Lo berdua tolong pergi.”

Nyoman bingung, antara pergi atau bertahan. Sementara Fio memilih tidak meninggalkan Tari. Saat itulah ponselnya bergetar dan mengeluarkan ringtone tanda panggilan masuk.
Saat Fio mengeluarkan ponselnya dari saku kemeja, lalu menatapnya dengan kening berkerut, Ari sudah langsung bisa menduga.
“Sini.” Cowok itu mengulurkan tangan kirinya lalu menggerakkan jari telunjuknya.

“Hah?” Fio menatapnya tak mengerti.
“Sini HP lo,” perintah Ari. Kali ini dengan intonasi bernada perintah yang tidak bisa dibantah. Fio terpaksa menyerahkan ponselnya yang masih terus berdering. Sesaat Ari menatap layarnya lalu mendekatkan ponsel itu ke telinga.
“Ya?”

Satu patah kata. Sudah cukup membuat Bram tersentak dan seketika menghentikan motornya. Cowok itu tetap menempelkan ponselnya di telinga, tapi tidak mengeluarkan suara. Dia masih belum yakin bahwa yang didengarnya barusan memang suara Ari.
Keheningan di ujung sana membuat Ari tersenyum tipis. Perlahan kedua bola mata hitanmya bergerak ke arah Tari. Kemudian didekatkannya ponsel Fio ke bibir.
“Kasih tau Angga…,” bisiknya. Jenis bisikan provokatif, karena itu sengaja dia biarkan beberapa orang di sekitarnya bisa mendengarnya dengan jelas, “Tari ada sama gue!”

Ari mengulurkan ponsel itu kembali ke sang pemilik. Saat itulah, saat Fio mengulurkan tangan kanannya untuk menerima ponselnya, Ari menangkap pergelangan tangan Fio dan menjauhkan cewek itu dari Tari dengan paksa.
Ari melakukannya dengan sangat cepat. Ponsel Fio yang tergenggam di tangan kiri segera berpindah ke tangan kanan. Tangn kirinya yang sekarang bebas langsung menatap dan mencekal
pergelangan tangan kanan Fio yang diulurkan pemiliknya tanpa sedikit pun kecurigaan. Kemudian dipaksanya Fio memutari meja, menjauh dari target utamanya.
Begitu meja – benda yang menjadi jarak antara dirinya dan Fio tidak ada lagi – Ari menarik cewek itu ke arahnya. Langsung dimasukannya ponsel itu ke saku kemeja Fio, kemudian didorongnya cewek itu ke arah Oji.
“Suruh dia keluar!”

Oji buru-buru menangkap tubuh Fio yang limbung.
“Udah, lo pergi. Biar nggak tambah kacau,” bisik Oji pada Fio.
Fio melangkah keluar. Kedua matanya yang sarat kecemasan menatap Tari dengan permintaan maaf.
Begitu Fio tersingkirkan dan kedua mata Ari kini terarah lurus padanya, Nyoman tidak perlu merasa harus berpikir lebih dari sekali untuk juga memilih hengkang dari sisi Tari.
“Sori banget, Tar,” bisiknya. Sama seperti Fio, seat kedua matanya menatap dengan permohonan maaf. Kemudian Nyoman melangkah keluar dan berdiri di sebelah Fio, di dekat pintu. Meskipun tak bisa membantu, mereka takkan meninggalkan Tari.
Melihat sikap kasar Ari terhadap Fio, beberapa mulut langsung mengeluarkan komentar dalam bentuk gumaman. Seketika Oji melayangkan pandangan tajam ke arah para penonton itu. Dengung gumaman itu mereda lalu hilang dengan cepat.
“Suasana lagi panas begini, malah pada komentar, lagi!” desis Oji jengkel. Kemudian perhatiannya kembali ke dua orang yang sedang berdiri berhadapan, terpisah jarak oleh sebuah meja panjang itu.

Ari sedang menatap Tari dengan kedua alis terangkat tinggi dan kedua tangan terlipat di depan dada.
“Tadi itu murni sepihak cuma dari Angga, atau lo juga terlibat?”

Sebenarnya murni sepihak. Tari sama sekali tidak tahu bahwa Angga akan muncul dan melakukan tindakan itu, menurunkannya dari boncengan motor Ari.
Dengan cemas Oji mengirimkan sinyal agar Tari jangan melawan. Tapi Tari sama sekali tidak mengacuhkan isyarat itu. Dia sudah muak diperlakukan seenaknya oleh preman sekolah ini.
“Saya terlibat!”

Jawaban pendek, tapi mampu membuat keuda mata Ari seketika melebar.
“Lo mau gue ngomong terang-terangan? Hmm?” cowok itu melirik sekilas ke arah jendela kantin. Deretan jendela itu dipenuhi wajah-wajah ingin tahu, dengan tatapan terfokus penuh ke dalam. “Selagi ada banyak saksi mata nih.”
Bagi Ari, ini memang sama sekali bukan soal hati. Jauh lebih penting daripada itu. Tapi jika demi legitimasi harus dibuatnya pengakuan palsu, tidak masalah. Akan dilakukannya itu!
“Kakak juga mau saya tolak terang-terangan?” Tari balik menantang.

Oji, Fio, dan Nyoman sontak ternganga. Juga semua penonton yang berjubel di luar. Meskipun mereka tidak tahu topic pembicaraan antara Ari dan Tari, aura ketegangan yang sangat terasa sudah cukup membuat mereka bisa menduga, masalahnya pasti gawat.
Tapi yang paling kaget jelas Ari. Kedua matanya sampai menyipit menatap Tari.
“Sekarang lo makin berani ngelawan gue ya!” desisnya.

Tari tidak menjawab. Kedua matanya tetap menentang Ari. Sendirian, terdesak dan tak terlindung, memang sering kali membuat seseorang akhirnya menemukan kekuatannya sendiri. Lagipula sudah sampai begini, dirinya tidak bisa mundur lagi.
“Okeee…” Ari mengangguk-angguk. Dia lalu menoleh ke belakang, menatap Oji yang sejak tadi berdiri dalam kondisi siaga. “Menurut lo?” Ari menggerakkan dagunya ke arah Tari, dengan kedua mata tetap menatap Oji.

“Begini, Bos…,” Oji berusah membujuk. Tapi kalimatnya tak sempat selesai, karena pertanyaan Ari itu ternyata pertanyaan formalitas. Detik berikutnya, cowok itu balik badan dengan gerakan tiba-tiba dan menyingkirkan bangku panjang di depannya, lalu menggeser meja yang menjadi penghalang dirinya dengan Tari. Tari menjerit dan seketika berbalik ke meja panjang berikutnya.
“Ngapain jug ague takut? Emangnya lo kira elo tuh siapa!? Lo cuma cowok tukang bikin onar, tau! Dikira keren, apa!?” serunya. Seruan yang jelas berbeda dengan kenyataan. Ketakutan Tari makin besar, memicu kekuatannya untuk makin melawan. Hingga tanpa sadar cewek itu tidak lagi menggunakan sebutan “kakak” dan “saya”, seperti yang selama ini selalu digunakannya saat berhadapan dengan Ari.

“Aduh!” desis Oji, serentak memegangi kepalanya dengan kedua tepak tangan.
“Kalo gitu, lo lawan gue!” Ari mengukirkan senyum tantangan. “Tapi inget ya, kalo lo kalah, lo jadi cewek gue. Suruh tu cowok mundur, daripada gue yang maksa dia mundur.” Senyum tadi kemudian berubah menjadi seringai. “Deal? Lo emang bener-bener cewek yang mengasyikkan!”

Tari mengatupkan kedua rahangnya kuat-kuat. Meskipun takut, kemarahnnya jadi makin membuncah mndengar kalimat terakhir Ari yang baginya sudah melecehkan itu. Ditatapnya cowok itu dengan sorot mata yang berubah dingin.
“Gue pilih Angga!!!”
Pengakuan Tari itu seketika menciptakan hening yang pekat. Kesunyian yang benar-benar absolute. Semua multu sontak ternganga. Semua mata terbelalak.
Dan kalimat terakhir Tari itu akhirnya meletupkan magma dari kawah vulakniknya.
“SIAPA YANG NYURUH LO MILIH!!!!?”
Ari menggebrak meja di dekatnya dengan seluruh kekuatan. Kalau tadi hanya siswa-siswa yang berada satu meja dengan Tari yang bangkit berdiri dan pergi sambil membawa makanan masing-masing, kali ini semua siswa yang berada di dalam kantin bangkit dan bergegas meninggalkan meja masing-masing. Kabur ke luar ruangan. Sebagian dengan membawa serta piring dan gelas mereka, sebagian meninggalkannya begitu saja di atas meja.
“Lo cuma boleh sama gue! Dengar nggak lo!?” bentak Ari dengan suara menggelegar. Kedua matanya menatap Tari dengan kilatan nyalang.

Tari pucat pasi. Sesaat dia hanya bisa berdiri mematung, terhipnotis menyaksikan kemurkaan Ari yang benar-benar di luar dugaannya itu.
“Denger, nggak!?” bentak Ari lagi.

Tari tetap bungkam. Ari menggeram. Kedua tangannya menyambar tepi meja di dekatnya lalu membantingnya sampai terguling. Tak ayal beberapa piring dan gelas yang berada di atasnya terjun bebas dan hancur berkeping. Lantai kini bertabur pecahan beling dan potongan makanan.
Tari tersentak, tapi tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Meja berikutnya dengan dua buah bangku panjang yang mengapitnya, kini jadi satu-satunya penghalang antara dirinya dan Ari. Di luar para penonton jadi menahan napas ketika situasi di dalam jadi semakin panas.
Sementara itu daripada ikut campur, para pedagang di kantin lebih memilih mengamankan barang-barang mereka yang kira-kira berada dalam radius kemarahan Ari. Untungnya, karena semua meja dipakai bersama, para pedagang itu lebih memilih meletakkan semua perlengkapan seperti botol saus, kecap, sambal, dan cuka di gerobak masing-masing, sehingga peristiwa merugikan sekaligus membahayakan seperti barusan bisa diminimalisasi. Kecuali beberapa piring dan gelas yang tadi ditinggalkan para pemakainya menyelamatkan diri keluar ruangan.
“Denger!?” kembali Ari bertanya. Volume suaranya menurun, tapi intonasinya justru makin menajam. Tari tetap bungkam. Kebungkaman Tari itu membuat kemarahan Ari semakin menjadi. Karena dia bisa melihat, meskipun dicengkeram ketakutan, cewek itu melawannya habis-habisan.
“Lo bener-bener bikin gue marah!” geramnya sambil melompati meja. Tari menjerrit dan seketika menyusupkan diri ke kolong meja, berusaha mencapai pintu. Jalan pikirannya jelas terbaca.

“Oji, tutup pintunya!” seru Ari. Oji langsung melaksanakan perintah itu. Bukan karena taat, tapi murni karena refleks. Serentak, Fio dan Nyoman menggeser tubuh menjauhi pintu. Kini keduanya juga ikut terkurung di dalam ruangan kantin, dengan napas tertahan menyaksikan perjuangan Tari tanpa sanggup memberikan pertolongan. Posisi Fio dan Nyoman, juga Oji, kemudian ikut berpindah-pindah mengikuti pergerakan dua orang yang tengah terlibat dalam situasi mengejar versus melarikan diri itu.
Usaha Ari untuk mendekati Tari dan usaha Tari untuk menjauhkan diri tak ayal menyebabkan ruangan kantin di area makan jadi porak poranda. Meja dan bangku berganti-ganti posisi dari tegak jadi berguling kembali. Digeser ke satu sisi lalu dilempar ke sisi lain. Pecahan-pecahan piring dan gelas terinjak dan tertendang ke sana-sini. Potongan-potongan makanan, cipratan bumbu, kuah dan saus menutupi hampir seluruh permukaan lantai. Teriakan dan bentakan Ari terdengar berselang-seling dengan jerit dan tangis tertahan Tari. Adegan Ari dan Tari berlarian memutari meja dan bangku panjang silih berganti dengan adegan Ari melompatinya dan tari menyusup di bawahnya.
Semua penonton seperti terhipnotis menyaksikan peristiwa itu. Ari lepas kendali. Kemarahannya tak bisa dimengerti. Kekalapannya tak terpahami.
Tak seorang pun tahu, secara emosi Ari memang tidak bisa berpisah dengan dua kata itu. Dua kata yang mengikatnya sampai mati. Bahkan di saat dirinya belum mengetahui nama lengkap Tari, nuansa oranyenya telah membuat alam bawah sadarnya menggiringnya pada gadis itu.
Karena penonton yang berjubel di luar sudah semakin banyak, akhirnya Oji memutuskan untuk bertindak. Beberapa wajah kelas dua belas bahkan ditemuinya menyeruak kerumunan yang berjubel di depan deretan jendela itu. Dihampirinya Ari dari arah belakang, dicekalnya kedua lengannya dan diseretnya cowok itu menjauhi Tari.
“Apa sih lo!?” dengan kasar Ari melepaskan cekalan Oji dari kedua lengannya. Disentaknya tubuh kawan karibnya itu sampai terdorong mundur.

“Di luar udah banyak banget orang yang nonton, Ri…,” bisik Oji.
“Ck, peduli amat!” Ari berdecak. “Kalo mereka suka, biar mereka nonton!”
Ari kembali mendekati Tari, yang berdiri gemetar di belakang salah satu meja. Dengan kedua rahang terkatup rapat, Oji juga melakukan hal yang sama. Kembali dihampirinya Ari dari arah belakang dan direngkuhnya dengan kedua lengan. Kali ini Oji mengerahkan seluruh kekuatannya, sehingga ketika Ari memberontak, lingkaran kedua lengan Oji di dada Ari tetap ketat.
Dengan paksa kemudian Oji menjauhkan sang pentolan sekolah itu dari cewek pucat pasi di depannya.
“Lepas, Ji!” sesaat Ari berhenti berontak. Dimintanya Oji untuk melepaskan kedua tangannya dengan nada perintah khas siswa yang paling berkuasa di sekolah, yang selama ini selalu membuat Oji patuh. Tapi kali ini Oji tidak mengindahkan perintah itu.

“Lo udah jadi tontonan banyak orang, Ri. Anak kelas sepuluh pula!” Oji mengulang kalimatnya. Kali ini tepat di satu telinga Ari.
“Kalo mereka mau ngeliat, biar aja. Biar mereka ngeliat. Biar mereka nonton. Peduli apa sih lo!?”
Bersamaan dengan Oji yang dengan paksa menjauhkan Ari dari Tari, Fio dan Nyoman segera berlari mendapati Tari, merengkuhnya dari sisi kiri dan kanan, kemudian langsung menyeretnya ke balik etalase kaca milik Bu Een, pedagang kue.
Sebenarnya tak ada ruang yang cukup luas di balik etalase itu. Tapi karena itu satu-satunya tempat bersembunyi yang terdekat untuk mencapai pintu yang saat itu masih dalam keadaan tertutup, Fio dan Nyoman memaksa menyusupkan diri ke celah kecil sempit itu, dengan Tari di tengah-tengah keduanya. Bu Een terpaksa menggeser tubuh tambunnya ke tepi, setelah itu dia berbuat seolah-olah tidak terjadi sesuatu.
Sementara itu sekuat tenaga Ari berusaha melepaskan rangkulan ketat Oji di tubuhnya. Mulutnya mengeluarkan sumpah serapah dibarengi ancaman untuk sobat karibnya itu.
“Woi, bantuin gue!” Oji berseru pada para penonton yang berjubel di luar. Tapi sebagian besar penonton yang terdiri atas siswa-siswa kelas sepuluh dan sebelas itu hanya menanggapi seruan Oji itu dengan berdiri beku.

Yang sedang emngamuk di depan mereka adalah senior yang paling berkuasa dan ditakuti. Yang meminta tolong untuk bantu mengatasi adalah sahabat karibnya sendiri. Namun, akibat di kemudian harilah yang memenuhi benak setiap siswa cowok yang menyaksikan itu.
Kalau urusan hari ini berbuntut, apakah Kak Oji akan melindungi mereka dari Kak Ari? Kalo nggak… nah, ini baru masalah besar. Karena bisa bikin hari-hari ke depan bakalan runyam dan full of nightmare!

Sadar tidak seorang pun akan bergerak dari tempatnya, sambil terus memegangi Ari dengan satu tangan sekuatnya, Oji cepat-cepat mengeluarkan ponselnya dari saku celana.
“Dho, lo di mana?”

“Kantin. Kenapa?”
“Ke sini cepet!”
“Ada apa sih? Gue lagi makan nih.”
“Ari ngamuk. Gue nggak bisa nge-handle!”
Di seberang, Ridho tersentak. Kontan dia letakkan sendok dan bangkit berdiri. “Lo di mana, Ji?”
“Kantin kelas sepuluh.”
Sesaat kedua alis Ridho menyatu mendengar info itu. Bingung.
“Oke, gue ke sana.”
“Cepetan!”
“Iya.”
Dengan badan yang kalah tinggi, Oji memang tidak mungkin sanggup menangani Ari lebih lama. Ridho datang tak lama kemudian dan langsung merangkul Ari tepat di leher dengan satu tangan.
“Tahan diri lo,” bisiknya.

“Apa sih lo? Lepas!” seketika Ari berontak. Dengan marah dia enyahkan lengan Ridho yang melingkari lehernya. “Nggak usah ikut campur urusan gue! Pergi lo!”
“Elo di depan anak-anak kelas sepuluh, tau!” desis Ridho. Kedua matanya sampai menatap Ari dengan tajam. Tak percaya kawannya itu bisa lepas control hanya karena cewek dan di depan begitu banyak junior pula.
“Ck, aaah!” Ari mengibaskan tangan kanannya tak peduli. “Dia udah ngomong berkali-kali tau nggak?” dengan sepasang mata tertancap pada Ridho ditunjuknya muka Oji dengan ujung jari. “Dan gue udah bilang, gue nggak peduli. Biar aja mereka nonton! Biar mereka ngeliat! Peduli setan!”
Kemudian Ari balik badan dan langsung mencari-cari Tari. Kedua matanya memindai seluruh sudut ruangan dengan gerakan liar.
“Ke mana tu cewek?” tanyanya. Pertanyaan itu dilontarkannya dengan suara tinggi, karena dia tujukan untuk semua kepala yang berada di ruangan kantin, yang menatapnya dengan sorot tegang. Ketika tak seorang pun menjawab, Ari menggerbrak meja di depannya dengan berang. Dia yakin semua orang yang berada di dalam ruangan itu tahu keberadaan Tari tapi tidak ingin mengatakan.
“Ngumpet di belakang gerobak gorengan lo ya, Mas?” tatapan Ari berpindah ke Mas Wiji.

“Ndak ada. Yang ngumpet di sini cuma pisang satu tandan,” jawab Mas Wiji santai, karena memang begitulah kenyataannya.
“Di belakang gerobak lo, Mas Yad?” tuduhan Ari berpindah ke Mas Yadi, penjual mi ayam.
Ridho dan Oji sesaat saling pandang. Ridho mengangguk samar. Tiba-tiba kedua cowok itu bergerak bersamaan. Dengan gerakan cepat dan terlatih, Ridho menggunakan jurus mengunci lawan yang diperolehnya dari ilmu beladiri taekwondo yang dipelajarinya.
Kemudian dengan paksa dan cepat – karena Ari berontak hebat, bukan hanya dengan tenaga dan mulut – Ridho menyeret Ari keluar menuju toilet yang terletak di sebelah kantin. Oji berjalan rapat di belakang keduanya, menutupi apa yang dilakukan Ridho terhadap Ari dari pandangan para junior mereka. Begitu pintu toilet ditutup oleh Oji, Ridho melepaskan cekalannya.
“Bangsat lo! Mau pamer kekuatan? Minggir dari pintu. Gue bilang jangan ikut cam…”

PLAK!
Satu tamparan yang benar-benar keras dilayangkan Ridho di pipi kiri Ari. Ari sampai terdorong mundur beberapa langkah. Dipandangnya Ridho dengan tatap terkesima. Ridho balas menatapnya, dengan tubuh bersandar di pintu toilet dan kedua tangan terlipat di depan dada.
“Kenapa sih lo? Kalo lo emang bener-bener naksir tu cewek, biar gue yang pedekate. Lo tinggak terima beres. Lo sadar nggak, tadi jadi tontonan hampir semua anak kelas sepuluh?”

Ari tersadar. Kemarahnnya mulai menguap. Lunglai disandarkannya tubuhnya ke dinding. Tubuh itu kemudian meluruh di sana. Beberapa saat hanya pemandangan itu yang terjadi. Ambruknya Ari di hadapan dua orang teman terdekatnya. Yang menatapnya tertegun dan nyaris tidak bisa percaya.
“Namanya Matahari Jingga…”

Suara itu nyaris selirih embusan angin. Namun Oji dan Ridho bisa mendengarnya dengan jelas. Bahkan ketika terucap, keduanya bisa merasakan beratnya beban Ari saat mengeluarkan satu kalimat singkat itu dari keterbungkamannya selama ini. Satu kalimat yang menciptakan keheningan pekat. Yang bahkan tidak tertembus dengung pembicaraan yang terjadi di luar, yang pasti diakibatkan peristiwa di kantin barusan.
Ridho dan Oji saling tatap. Kedua alis mereka bertaut bersamaan, saling bertanya lewat sorot mata. Jelas-jelas mereka mendengar Ari menyebutkan “Matahari Jingga”, bukan “Jingga Matahari”. Jadi jelas bukan Tari yang dia maksud di sini.

Keduanya menggelengkan kepala bersamaan. Dan bersamaan pula, bola mata keduanya mengarah pada Ari. Sobat mereka itu terduduk di lantai dengan kepala menunduk dalam. Kedua
lututnya yang terlipat menyangga kedua lengannya. Kesepuluh jarinya bertaut erat. Ridho dan Oji menunggu kelanjutan kalimat Ari tadi.
Namun Ari bungkam. Tak mampu lagi meneruskan. Jauh di dalam, seluruh pertahanannya telah runtuh. Karena satu nama itu adalah bagian dari inti seluruh luka dan rasa frustasinya.
Lagi-lagi Ridho dan Oji saling pandang. Ketika hening yang tercipta berlanjut, harapan mereka akan satu penjelasan terhalau.
Matahari Jingga. Satu nama yang tercetus dari bibir Ari beberapa saat lalu. Hanya itu. Satu kalimat pendek yang tidak menjelaskan apa pun. Hanya memperbesar tanya dalam benak Ridho dan Oji.
Namun, keduanya sepakat untuk tidak bertanya. Pengertian bisu yang justru teramat dalam yang telah menyertai mereka sejak bertemu Ari di hari pertama masa SMA. Keduanya teramat sadar, pada Ari ada banyak rahasia. Ada banyak relung gelap yang tidak terbaca. Dan pengertian dalam diam adalah hal terbaik yang bisa mereka berikan.
Satu yang diyakini keduanya dengan pasti: satu nama dari masa lalu itu sepertinya sangat berarti untuk Ari. Berarti, itu alasan utama untuk keanehan sikap Ari hari-hari belakangan ini, dan untuk kalap juga control yang terlepas tadi. Persamaan nama. Bukan untuk Tari secara pribadi.
Ridho melirik jam tangannya. Ada batas keterpurukan bagi setiap orang, yang berbeda satu sama lain. Dan untuk Ari, batas itu tidak bisa terlalu lama. Karena di sini bukan hati yang dipakai untuk barometer, tapi reputasi.
“Udah hampir tiga menit, man,” ucap Ridho dengan suara halus. Ditepuknya bahu Ari pelan.

Dalam tunduknya Ari menghela napas lalu mengembuskannya kuat-kuat. Ketika wajahnya terangkat, keletihan panjang yang terakumulasi membuat kedua temannya kembali tertegun. Tapi mereka tetap tak ingin bertanya apa pun.
Ari bangkit berdiri lalu berjalan menuju wastafel. Dibasuhnya mukanya di sana. Berkali-kali.
Ketika kemudian dia keluar dari toilet, sang pentolan sekolah itu telah menemukan kembali ketenangannya. Ketenangan palsu yang berhasil menipu semua mata, karena kedua karibnya yang mengapit di kiri-kanan mengaburkan “kejatuhan” Ari dengan sangat sempurna.
***
Kejadian kemarin menjadi pembicaraan ramai. Dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas. Yang pasti di kalangan cewek.
Mungkin untuk semua murid cewek di SMA Airlangga termasuk Veronica, sosok Ari sudah nyaris seperti sosok pangeran dari negeri antah berantah. Riil sekaligus imajiner. Nyata namun juga maya.
Cakep. Cuma cewek yang selearanya abnormal yang nggak setuju kalo Ari cakep. Atau cewek desperate, yang karena yakin nggak mungkin bisa ngedapetin Ari sehingga melakukan penyangkalan. Bilanh tu cowok jelek, demi menjaga hati sendiri. Satu lagi, cewek buta. Kalau masih ada yang tega minta pendapat sama cewek kategori terakhir ini, sumpah tu orang nggak berperikemanusiaan banget.
Tinggi. Cowok jelek aja kalo tinggi kejelekannya masih akan di ampuni. Misalnya dengan pernyataan “Tu cowok emang tampangnya ancur, tapi tinggi brow.” Apalagi cowok cakep.

Bandel. Berani. Kombinasi yang benar-benar oke buat dua poin Ari sebelumnya.
Tajir. Nggak dimungkiri, poin ini yang makin mengukuhkan Ari di posisi tertinggi dalam jajaran cowok popular di SMA Airlangga. Apalagi dia nggak pelit, suka nraktir-nraktir gitu. Dan duitnya kebanyakan cuma dua warna, biru dan merah. Dua nominal tertinggi uang kertas yang dicetak Perum Peruri.
Gunung Es. Hati Beku. Salju. Abadi. Poin terakhir ini adalah poin Ari yang paling unik. Bikin satu sekolah jadi terbingung-bingung, dan akhirnya memunculkan banyak dugaan dan tanda tanya.
Dua tahun lebih tercatat sebagai siswa SMA Airlangga, dengan reputasi yang langsung mencolok sesaat setelah kehadirannya, juga dengan deretan poin yang bisa dijadikan faktor pendukung yang sangat potensial untuk jadi Cassanova, jelas jadi sesuatu yang sangat-sangat aneh, janggal, membingungkan, mengeherankan sekaligus mencurigakan, ketika sampai dengan hari ini Ari nggak juga punya pacar. Minimal gebetan deh. Itu juga nggak!
Masalahnya, Ari tuh nggak keliatan kayak cowok yang anticewek. Sebaliknya, dia welcome banget sama cewek. Dia bukan model cowok dingin yang galak sama cewek. Atau cowok dingin yang di sekitarnya adanya cowok melulu. Atau cowok dingin yang merasa dirinya kelewat keren. Jadi kesannya malah songong, belagu.
Di sekitar Ari justru banyak banget cewek. Datang dan pergi. Ya karena sikap Ari yang welcome itu. Mau ngintilin ke mana pun dia pergi, boleeeeh. Asal capek tanggung sendiri. Mau nebeng motornya asal searah, tu cowok juga no problem. Mau ngegandeng tangannya juga nggak
dilarang. Mau meluk atau ngerangkul juga nggak masalah. Nggak bakal ditolak. Tapi apa enaknya sih meluk-meluk cowok kalo tu cowok nggak bales meluk?
Mau ngasih bunga, cokelat, kue, atau makanan-makanan lain juga nggak akan ditolak. Pasti diterima. Meskipun tu bunga kemudian ada di tangan salah satu teman Ari atau bahkan di tangan orang yang nggak dikenal. Dan semua makanan itu masuknya juga bukan ke mulut Ari.
Jadi percuma aja tu bunga atau makanan sebelumnya dikasih mantra atau jampi-jampi. Nggak bakal tepat sasaran. Masih mending kalau menyimpangnya ke Oji atau Ridho. Tampangnya masih pada lumayan. Nah, kalo peletnya nemplok di Sarip? Yang selain mukanya ancur, kulitnya juga selegam pantat penggorengan. Wah, kudu buru-buru merapal mantra-mantra penangkal biar ilmu peletnya batal.
Cewek menggelayut di pundak atau lengan Ari, itu juga pemandangan yang sudah sangat biasa. Mendadak ada cewek nongol entah dari mana kemudian meluk Ari dari belakang, itu juga adegan yang sudah jamak banget.
Pokonya, sikap Ari tuh bikin cewek-cewek jadi gemes deh. Dekat tapi jauh. Hangat tapi dingin. Baik tapi galak.
Moto Ari memang “Do wathever you like, girls… except kiss!”

Thanks God karena telah menciptakan cewek model Veronica. The desperate Ari’s lover. Yang membuat semua cewek di SMA Airlangga jadi tahu bahwa ternyata ada lima tindakan yang diizinkan Ari mereka lakukan terhadap dirinya. Dan Ari tidak main-main dengan peringatannya itu.
Jadi anaknya ketua yayasan, selain itu sang bokap juga punya kerja sambilan sebagai direktur di sebuah perusahaan, membuat Veronica jadi merasa punya kans paling gede untuk mendapatkan Ari.
Gimana kansnya nggak gede kalo setiap cewek yang ngedeketin Ari langsung dia babat. Tapi, ternyata Vero ada di posisi yang sama seperti semua cewek yang lain. Soalnya uang dan jabatan bokap adalah dua hal yang juga dimiliki Ari.
Vero sama sekali tidak menyadari persamaan kasta itu sampai pada suatu siang dia melakukan tindakan itu. Mencium Ari! Tindakan nekat itu terjadi di area kelas dua belas, setengah jam setelah bel pulang berbunyi. Di depan segelinitr siswa kelas dua belas yang masih tersisa, Vero menghampiri Ari yang saat itu sedang berdiri di koridor bersama Oji dan Ridho, dan langusng memeluknya lalu menciumnya di salah satu pipi.
Semua mata yang melihat tindakan Vero itu kontan terkesima, termasuk Ari. Kemudian di depan segelintir saksi mata itu, Ari dengan geram menyeret Vero ke toilet cowok yang terletak tidak jauh dari situ dna menutup pintunya dengan bantingan.
Tidak ada yang tahu apa yang dilakukan Ari terhadap Vero di dalam ruangan tertutup itu. Yang jelas, ketika beberapa menit kemudian cewek pentolan The Scissors itu keluar, mukanya pucat dan kedua matanya terlihat jelas bekas dibanjiri air.
Keesokan harinya, berita itu menyebar dan jadi pembicaraan hangat siswa-siswa satu sekolah. Terdepaknya Veronica yang notebene cewek paling populer dan paling berkuasa di sekolah jelas makin meletakkan Ari di puncak menara popularitas.
Oleh karena itu, rentetan kejadian belakangan ini yang melibatkan Tari jelas membuat seisi sekolah jadi tercengang. Apalagi Tari juga tidak segan-segan menciptakan keributan yang menyeret para guru, kalau itu dilihatnya sebagai satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari Ari.
Kali ini bukan hanya Oji, Ridho juga ikut membayangi Ari meskipun tidak selalu. Mencegah agar Ari tidak sampai lepas control lagi, juga berharap agar kawan karibnya itu mau menceritakan masalah yang sebenarnya, jadi bisa mereka pikirkan jalan keluarnya.
***
Mendadak satu rencana terbersit di dalam kepala. Ari mematung. Sedetik kemudian cowok itu menutup bukunya.
Di tengah jam pelajaran, di tengah kesibukan Bu Ida memindahkan isi bukunya ke whiteboard, di tengah keseriusan teman-teman sekelasnya menyalin tulisan-tulisan itu ke dalam buku catatan masing-masing, Ari justru memebereskan buku-bukunya.
“Bos…?” bisik Oji dengan tatapan bingung.

Ari sama sekali tidak mengacuhkan keheranan teman semejanya itu. Setelah kelar bere-beres, baru cowok itu menoleh. Diberinya Oji sebentuk senyum. Juga Ridho, yang duduk berjarak dua bangku di sebelah Oji. Pada karibnya yang duduk terpisah jarak itu Ari mengucapkan kata “cabut” tanpa suara.
“Gue duluan,” bisiknya. Sambil menepuk punggung Oji, Ari bangkit berdiri dan berjalan ke arah pintu kelas, dengan ransel di punggung dan jaket di tangan kiri.
“Siang, Bu,” Dia mengucapkan salam ketika melewati Bu Ida, yang masih asyik memenuhi seluruh permukaan whiteboard dengan tulisan-tulisan. Bu Ida menoleh sekilas, sambil tetap menulis. Tapi seketika itu juga dia kembali menoleh, kali ini berhenti menulis.
“Mau ke mana kamu?” tanyanya dengan suara tajam. Melihat jaket dan tas yang disandang Ari, sepertinya cowok itu bukan mau permisi ke toilet.
“Pulang, Bu,” jawab Ari. Tanpa menoleh dan sambil membuka pintu.
Bu Ida terpengarah. “Kembali ke kursi kamu. Sekarang!” bentaknya.
“Ibu nih. Orang saya bilang saya mau pulang,”jawab Ari tak peduli. Di benar-benar berjalan ke luar kelas. Seketika Bu Ida mengejar keluar.
“ARI! ARIII!!!” Bu Ida berteriak keras di koridor.
Seisi kelas berhenti mencatat untuk menyaksikan kejadian itu. Mereka heran, kenapa sih guru-guru itu nggak pada belajar dari pengalaman ya? Ari tu nggak mempan bentakan atau teriakan. Pak Sitanggung, guru matematika, malah pernah memukulnya dengan penggaris besi. Nggak mempan juga. Tetep aja tu anak jalan ke luar kelas.
Ari berjalan menyusuri koridor dengan langkah cepat. Dituruninya undak-undakan di mulut koridor utama dengan sekali lompat. Sepuluh langkah menjelang sampai di tempat motornya diparkir, dikenakannya jaketnya sambil terus berjalan dengan langkah cepat. Setelah mengenakan helm, cowok itu menstater motornya sambil melihat jam di pergelangan tangan. Masih keburu. Dua petugas sekuriti yang berjaga di gerbang depan tidak berusaha mencegah ketika motor Ari menderu keluar dari area sekolah dan hilang di ujung jalan.
Cowok itu membelah lalu lintas Jakarta dengan kecepatan tinggi. Menuju satu-satunya temapt yang tersisa dalam ketenangan. Tak ingin kehilangan momen yang sebenarnya sudah disaksikannya ratusan kali itu.
Sampai di lokasi, dilihatnya matahari sedang dalam perjalanannya menuju bulatan bumi yang lain. Dalam kemegahannya, warna jingga yang memenuhi seluruh langit barat, dewa utama orang-orang Mesir kuno itu pulang ke peraduan.
Ari menghentikan motornya di depan saung lalu duduk bersila di terasnya. Mematung, kedua matanya menatap ke langit barat. Diikutinya kepergian benda langit dari mana namanya berasal itu. Sampai dia benar-benar pergi. Membuat langit perlahan menghitam.
Kemudian perlahan Ari bangkit berdiri dan berjalan ke tengah saung. Dikeluarkannya sebatang lilin dari tempat persembunyian. Dia memang selalu meninggalkan lilin dan korek api, terkadang sekotak biscuit dan beberapa butir permen, di persilangan rangka kayu penyangga atap. Cowok itu kembali duduk bersila di tempat semula. Dinyalakannya lilin yang baru saja diambilnya.
Dalam remang cahaya lilin, dia teringat kembali rencana yang membuatnya berlari ke tempat ini. Rencana berupa sekejap keinginan, yang muncul dan hilang berulang kali. Sudah sangat lama terbersit keinginan untuk kembali menjadi diri sendiri. Namun selalu gagal karena seketika itu juga ruang kosong dalam dirinya terbuka dan meneriakkan kesunyian.
Di samping itu, image-nya sudah buruk, sejak dirinya masih tercatat sebagai siswa baru. Kalau sekarang diubahnya tingkah lakunya, dipastikan diriya akan dituduh sedang main sandiwara. Dan itu hanya akan semakin menjauhkan gadis yang saat ini sangat ingin diraihnya.
Perlahan Ari memejamkan kedua matanya. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu diembuskannya kuat-kuat.
Namun…

Kalau dia menjadi diri sendiri di tempat lain, barangkali dirinya masih mungkin untuk berharap. Karena kini telah datang seorang yang menyandang nama yang nyaris sama. Gadis itu. Jingga Matahari.
Seandainya yang terjadi pada harapan kali ini sama seperti yang terjadi pada harapan yang dulu-dulu, barangkali saja kehadirannya mampu jadi penyangga di saat dirinya limbung dan terpuruk karenanya nanti.
Ari menelan ludah susah payah. Harapan ini adalah harapannya yang terbesar, tapi akan menjadi yang paling menghancurkan seandainya tidak terjadi. Dia memohon, dengan seluruh darah yang mengalir dalam tubuhnya, dengan seluruh hati dan hidup yang dimilikinya, seseorang yang bernama nyaris sama, yang hilang di masa lalu, akan kembali.
Namun, jika rencana ini pun gagal, dan gadis itu bahkan tak teraih, dipastikan dirinyalah yang akan hancur.
“Apa sih yang gue takutin?” Ari membuka kedua matanya, berbicara pada dirinya sendiri. “Toh gue udah lama ancur.”

Dua kalimat itu, yang dilanjut dengan sesaat perenungan, akhirnya meyakinkan Ari untuk melaksanakan rencananya.

Bersambung



Tidak ada komentar:

Posting Komentar